“Kamu pernah ketemu sama yang mantannya Kai nggak?”
“UHUK!” Hafi tersedak potongan alpukat dari salad yang baru saja ia makan.
“Ck, lebay,” gerutu Kristal sambil menepuk bagian belakang tengkuk Hafi.
“Kita tadi lagi bahas pergerakan sahamku,” keluh Hafi setelah merasa lebih baik. “Dari ngomongin saham Unilever jadi ngomongin mantannya suamimu, ya, jelas aku kagetlah.”
Selain bekerja di dunia entertainment dan membantu perusahaan keluarganya, Hafi yang juga punya gelar di bidang International Banking and Finance dari University of Glasgow, selalu tertarik dengan pasar valas dan pasar saham.
Ia sendiri suka mengajak Kristal diskusi mengenai kondisi politik Indonesia yang tentunya mempengar
“Langsung ke Pondok Indah, Tuan?”Kai menggeleng. “Kita ke kantor dulu.”Rangga mengerutkan keningnya dengan bingung, namun tetap menginstruksikan sopir yang hari ini menjemput mereka di Soekarno-Hatta untuk mengubah tujuan mereka ke kantor Big Screen.“Nggak jadi pulang, Tuan?”“Nanti aja.” Kai menggeleng pelan. “Aku belum terlalu lelah.”Rangga ingin mengatakan apakah Kai memilih untuk ke kantor dulu karena ini hari Jumat dan Kristal ada di Big Screen, tapi ia tahu Kai akan menendangnya keluar dari mobil walau di tengah jalan tol sekalipun.Dua hari kemarin mereka memang melakukan perjalanan dinas ke Malaysia guna membahas perihal proyek kerja sama untuk produksi film dan mem
“Aku lapar,” keluh Kai saat mereka keluar dari mobil.“Sama.” Kristal menggerutu sambil menapaki paving block di halaman rumah mereka. “Kamu, sih, tadi ngelarang aku mampir di McD.”“Kamu mau makan junk food tiap hari? Aku tahu, ya, kalau tiap malam kamu delivery McD.”“Tahu dari mana?” Kristal mengernyit. Ia selalu delivery order setelah Mbak Jia tidur. Jadi tIDak mungkin juga perempuan paruh baya itu melapor pada Kai.“Aku bisa liat CCTV pos satpam kapan aja,” jawab Kai dengan bangga sambil mengayunkan ponselnya.“Huh, curang.”Kai tertawa melihat Kristal yang menghentakkan kakinya seraya berjalan mendahuluinya.
“Halo, Kai. Ini aku… Cessa.”Kai seperti tak percaya saat mendengar hal tersebutu. Ia sampai menjauhkan layar ponselnya untuk melihat nomor yang menghubunginya. Tapi memang benar… nomor dengan kode telepon dari negara Amerika-lah yang meneleponnya saat ini“Iya… aku tahu,” jawab Kai dengan suara yang tiba-tiba berubah serak.Rasanya seperti ada yang menyangkut di kerongkongannya. Sesuatu yang membuatnya ingin bicara banyak tapi tak bisa.“Tadi aku ngirimin sesuatu ke kantormu,” kata Cessa dengan tenang. “Besok kamu cek, ya.”“Ka-kamu—”Sebelum Kai bisa meneruskan kalimatnya, Cessa sudah lebih dulu menyela, “Di sana udah malem, ya? Kalau gitu aku
Kristal berguling ke kanan dan ke kiri. Kemudian mencoba untuk memejamkan matanya, namun tetap saja kantuk tidak segera menyergapnya.Lelah karena usahanya sia-sia, akhirnya Kristal memutuskan untuk pasrah dan membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar dan mencoba menajamkan telinga. Siapa tahu sebentar lagi mobil Kai akan terdengar masuk dan ternyata laki-laki itu pulang. Iyakan?“Hhh, ke mana sih dia?” Kristal bergumam sambil menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari ranjang.Kristal benar-benar tak tahu ke mana Kai pergi. Ketika ia bertanya, lelaki itu hanya menatapnya kemudian pergi begitu saja. Saat ia mengecek pada satpam yang berjaga, mereka bilang Kai hanya sendirian dan tanpa sopir.Sejak tadi Kristal berpikir apakah sebaiknya ia menelepon Kai atau tidak. Lelaki itu tidak bi
“Wah, kamu beneran menuju gila, ya, Ta?”Kristal mengedikkan bahunya. “Mungkin.”“Kalau aja kita nggak cepet-cepet ngeralat statement kita, kita pasti bakal kalah, Ta.”Kristal tahu hal itu benar. Ia hampir saja membuat kliennya harus membayar denda miliaran dan hukuman masa percobaan selama dua tahun karena ia yang salah bicara.Beruntung timnya langsung sigap meralat statement-nya dan membuatnya selamat dari amukan klien dan keluarganya.Jean sadar kalau mungkin saja pertanyaannya tadi terlalu kasar. Ia menghela napas sambil menarik persneling mobilnya dari P ke D. “Sorry. You look distant these few days, Ta. What’s wrong?”“Everything
Begitu Kai masuk ke dalam rumah, ia tidak menemukan siapa pun. Ruang tengah yang biasanya dihuni Kristal yang jadwalnya tiap weekend adalah menonton film chick flick bergantian dengan CNN, kini kosong.Lelaki itu memutuskan untuk naik ke lantai dua. Mungkin Kristal masih di dalam kamarnya.“Ta,” panggil Kai sembari mengetuk pintu kamar Kristal. “Ta, udah bangun?”Kai mengetuk dan memanggil Kristal beberapa kali, namun tetap tidak ada jawaban. Khawatir kalau Kristal sakit hingga tidak sanggup bangun dari ranjang—karena ia melihat sendiri bagaimana lesunya Kristal kemarin—Kai pun masuk ke kamar Kristal.Aroma green tea yang menenangkan langsung dapat ia rasakan begitu memasuki kamar dengan dinding berwarna violet tersebut.
“Kamu di mana, sih, Ta? Kayak ramai banget gitu.”Kristal memejamkan mata sambil meringis. “Lagi di mall,” jawabnya asal. Padahal ia baru saja mengambil kopernya di conveyor belt.Tubuhnya yang kecil dan seringnya tidak kuat mengangkat kopernya untuk menaruh di kabin pesawat, membuat Kristal lebih sering membeli bagasi lebih agar hanya tinggal mengambil di conveyor belt.“Oh, gitu.” Mamanya, Julia, percaya saja dengan kata-katanya. “Kamu udah lama, deh, nggak main ke rumah, Mama kangen, tahu.”“Oh, iya juga, ya.” Kristal tertawa kecil mendengar komentar mamanya. “Ya udah, hari ini aku ke rumah, ya.”“Sama Kai juga, kan?” tanya Julia penuh harap.
“Duh, akhirnya anak Mama dateng juga!”Kristal sudah merentangkan tangannya untuk memeluk Julia, namun perempuan paruh baya itu malah memeluk Kai dengan antusias.“Lho, yang anak Mama kan aku,” sungut Kristal kesal.Julia yang berhasil menjahili putrinya, segera melepas pelukannya pada Kai yang tertawa karena tingkahnya dan beralih pada putri tunggalnya itu.“Duh, gitu aja ngambek,” gumam Julia dalam pelukannya. Setelahnya, ia merangkul pinggang Kristal dan mengarahkannya ke ruang keluarga.“Kamu bawa, kan, donat Mama?”“Bawa, itu di Kai.”Julia langsung menghentikan langkahnya dan menepuk lengan Kristal hingga Kristal mengaduh.
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha
[Kehamilan Kristal. Minggu kelima.]Kai yang baru pulang bekerja memanggil Kristal, saat ia tidak menemukannya di ruang tengah atau di ruang makan. “Tata?”Karena tidak ada sahutan, Kai berpikir mungkin Kristal ada di kamar. Mengingat akhir-akhir ini istrinya mudah sekali merasa mengantuk.“Mas?”Panggilan itu membuat langkahnya terhenti dan kembali turun dari dua anak tangga yang sudah ia naiki. Matanya menangkap sosok Kristal yang melongok ke arahnya dari teras samping.“Lho, di sini kamu ternyata,” ucap Kai saat menghampiri istrinya dan memeluknya. Kemudian ia mencium kening dan bibirnya seperti biasa. “Ngapain malem-malem di luar?”“Lihatin bintang.” Krista
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya