“Langsung ke Pondok Indah, Tuan?”
Kai menggeleng. “Kita ke kantor dulu.”
Rangga mengerutkan keningnya dengan bingung, namun tetap menginstruksikan sopir yang hari ini menjemput mereka di Soekarno-Hatta untuk mengubah tujuan mereka ke kantor Big Screen.
“Nggak jadi pulang, Tuan?”
“Nanti aja.” Kai menggeleng pelan. “Aku belum terlalu lelah.”
Rangga ingin mengatakan apakah Kai memilih untuk ke kantor dulu karena ini hari Jumat dan Kristal ada di Big Screen, tapi ia tahu Kai akan menendangnya keluar dari mobil walau di tengah jalan tol sekalipun.
Dua hari kemarin mereka memang melakukan perjalanan dinas ke Malaysia guna membahas perihal proyek kerja sama untuk produksi film dan mem
“Aku lapar,” keluh Kai saat mereka keluar dari mobil.“Sama.” Kristal menggerutu sambil menapaki paving block di halaman rumah mereka. “Kamu, sih, tadi ngelarang aku mampir di McD.”“Kamu mau makan junk food tiap hari? Aku tahu, ya, kalau tiap malam kamu delivery McD.”“Tahu dari mana?” Kristal mengernyit. Ia selalu delivery order setelah Mbak Jia tidur. Jadi tIDak mungkin juga perempuan paruh baya itu melapor pada Kai.“Aku bisa liat CCTV pos satpam kapan aja,” jawab Kai dengan bangga sambil mengayunkan ponselnya.“Huh, curang.”Kai tertawa melihat Kristal yang menghentakkan kakinya seraya berjalan mendahuluinya.
“Halo, Kai. Ini aku… Cessa.”Kai seperti tak percaya saat mendengar hal tersebutu. Ia sampai menjauhkan layar ponselnya untuk melihat nomor yang menghubunginya. Tapi memang benar… nomor dengan kode telepon dari negara Amerika-lah yang meneleponnya saat ini“Iya… aku tahu,” jawab Kai dengan suara yang tiba-tiba berubah serak.Rasanya seperti ada yang menyangkut di kerongkongannya. Sesuatu yang membuatnya ingin bicara banyak tapi tak bisa.“Tadi aku ngirimin sesuatu ke kantormu,” kata Cessa dengan tenang. “Besok kamu cek, ya.”“Ka-kamu—”Sebelum Kai bisa meneruskan kalimatnya, Cessa sudah lebih dulu menyela, “Di sana udah malem, ya? Kalau gitu aku
Kristal berguling ke kanan dan ke kiri. Kemudian mencoba untuk memejamkan matanya, namun tetap saja kantuk tidak segera menyergapnya.Lelah karena usahanya sia-sia, akhirnya Kristal memutuskan untuk pasrah dan membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar dan mencoba menajamkan telinga. Siapa tahu sebentar lagi mobil Kai akan terdengar masuk dan ternyata laki-laki itu pulang. Iyakan?“Hhh, ke mana sih dia?” Kristal bergumam sambil menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari ranjang.Kristal benar-benar tak tahu ke mana Kai pergi. Ketika ia bertanya, lelaki itu hanya menatapnya kemudian pergi begitu saja. Saat ia mengecek pada satpam yang berjaga, mereka bilang Kai hanya sendirian dan tanpa sopir.Sejak tadi Kristal berpikir apakah sebaiknya ia menelepon Kai atau tidak. Lelaki itu tidak bi
“Wah, kamu beneran menuju gila, ya, Ta?”Kristal mengedikkan bahunya. “Mungkin.”“Kalau aja kita nggak cepet-cepet ngeralat statement kita, kita pasti bakal kalah, Ta.”Kristal tahu hal itu benar. Ia hampir saja membuat kliennya harus membayar denda miliaran dan hukuman masa percobaan selama dua tahun karena ia yang salah bicara.Beruntung timnya langsung sigap meralat statement-nya dan membuatnya selamat dari amukan klien dan keluarganya.Jean sadar kalau mungkin saja pertanyaannya tadi terlalu kasar. Ia menghela napas sambil menarik persneling mobilnya dari P ke D. “Sorry. You look distant these few days, Ta. What’s wrong?”“Everything
Begitu Kai masuk ke dalam rumah, ia tidak menemukan siapa pun. Ruang tengah yang biasanya dihuni Kristal yang jadwalnya tiap weekend adalah menonton film chick flick bergantian dengan CNN, kini kosong.Lelaki itu memutuskan untuk naik ke lantai dua. Mungkin Kristal masih di dalam kamarnya.“Ta,” panggil Kai sembari mengetuk pintu kamar Kristal. “Ta, udah bangun?”Kai mengetuk dan memanggil Kristal beberapa kali, namun tetap tidak ada jawaban. Khawatir kalau Kristal sakit hingga tidak sanggup bangun dari ranjang—karena ia melihat sendiri bagaimana lesunya Kristal kemarin—Kai pun masuk ke kamar Kristal.Aroma green tea yang menenangkan langsung dapat ia rasakan begitu memasuki kamar dengan dinding berwarna violet tersebut.
“Kamu di mana, sih, Ta? Kayak ramai banget gitu.”Kristal memejamkan mata sambil meringis. “Lagi di mall,” jawabnya asal. Padahal ia baru saja mengambil kopernya di conveyor belt.Tubuhnya yang kecil dan seringnya tidak kuat mengangkat kopernya untuk menaruh di kabin pesawat, membuat Kristal lebih sering membeli bagasi lebih agar hanya tinggal mengambil di conveyor belt.“Oh, gitu.” Mamanya, Julia, percaya saja dengan kata-katanya. “Kamu udah lama, deh, nggak main ke rumah, Mama kangen, tahu.”“Oh, iya juga, ya.” Kristal tertawa kecil mendengar komentar mamanya. “Ya udah, hari ini aku ke rumah, ya.”“Sama Kai juga, kan?” tanya Julia penuh harap.
“Duh, akhirnya anak Mama dateng juga!”Kristal sudah merentangkan tangannya untuk memeluk Julia, namun perempuan paruh baya itu malah memeluk Kai dengan antusias.“Lho, yang anak Mama kan aku,” sungut Kristal kesal.Julia yang berhasil menjahili putrinya, segera melepas pelukannya pada Kai yang tertawa karena tingkahnya dan beralih pada putri tunggalnya itu.“Duh, gitu aja ngambek,” gumam Julia dalam pelukannya. Setelahnya, ia merangkul pinggang Kristal dan mengarahkannya ke ruang keluarga.“Kamu bawa, kan, donat Mama?”“Bawa, itu di Kai.”Julia langsung menghentikan langkahnya dan menepuk lengan Kristal hingga Kristal mengaduh.
“Nona Kristal ke Bali, Tuan.”“Ke rumah sahabatnya, Renjana?”Rangga mengangguk. Menjadi asisten Kai berarti nyaris tidak ada hari libur. Hari ini salah satunya. Sabtu pagi ia sudah diminta Kai mencari tahu ke mana istrinya pergi.Kai mengangguk paham. “I see.” Lelaki itu pun duduk di sofa ruang tengah. “Baiklah, kalau begitu kamu bisa pulang. Maaf mengganggu waktu liburmu.”“Bukan masalah.” Akhir-akhir ini ia sudah terbiasa dengan sikap Kai yang aneh semenjak patah hati.Rangga pun berlalu meninggalkan Kai sendiri di ruang tengah. Walaupun sebenarnya ia heran kenapa Kai tidak menyuruhnya mencari orang agar menjemput Kristal atau memesankan tiket untuknya menyusul ke sana.