“Hai, Baby. Boleh aku duduk di sini?”Feli nyaris tersedak oleh ramen yang tengah ia masukkan ke mulut ketika seseorang tiba-tiba menghampirinya. Feli lantas mendongak, lalu matanya membelalak.“Eden?!!” serunya, terkejut.“Ah… kamu masih ingat namaku rupanya.” Laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka, yang melapisi kaos putih di dalamnya itu pun terkekeh. “Jadi? Boleh aku duduk di sini?”“Bebas. Kursi itu kosong, kok.”“Thanks. Di mana suamimu?”Mata Feli mengerjap, lalu tersenyum samar. "Lagi di kantor," dustanya. Akan sangat menyedihkan di mata pria itu jika Feli jujur bahwa Archer sedang mengurusi wanita lain saat ini.Golden—yang terbiasa dipanggil Eden, mendecak pelan. Ia mendaratkan bokongnya di kursi, di hadapan Feli. Mata abu-abunya menyipit pada Feli sambil menjawab, “Kamu tahu? Aku patah hati setelah mendengar kabar kamu akan menikah dengan Archer.”Feli meringis mendengarnya. Tapi tak menanggapi kalimat itu dengan serius, karena ia tahu Eden bercand
“Jadi Mami boleh jalan-jalan dulu, nih? Nggak apa-apa pulangnya kesorean?” Feli berjalan dengan santai sembari menempelkan ponsel di telinga kirinya. “Hm? Boleh? Serius? Nggak bakal nyuruh Mami pulang cepat-cepat?”Feli terkekeh ketika mendengar jawaban Kimberly yang menggemaskan di ujung telepon. Anak itu sedang dibawa Leica ke rumah Tante Cindy, sahabat ibunya sejak remaja.Feli memasukkan ponselnya ke sling bag setelah panggilannya berakhir. Lalu tersenyum kecil begitu melihat gambar hasil USG tadi pagi di dalam tasnya. Rasanya ia tak sabar untuk memberitahu Kimberly bahwa dia akan memiliki adik.“Siapa?” tanya Eden yang masih mengekori Feli setelah dari restoran.Kini mereka sedang berkeliling mall sejak satu jam yang lalu. Selain hanya melihat-lihat dan membeli beberapa stel pakaian, Feli juga ingin membeli skin care-nya yang sudah menipis. Ia tidak menolak ketika Eden menawarkan diri untuk menemani. Toh, Feli memang butuh teman saat ini untuk mengalihkan pikirannya yang sejak ta
“Apa… sakitnya sudah separah itu?” Tatapan Roy terlihat sendu usai mendengar semua cerita tentang kondisi Belvina dari Archer.Archer mengangguk. Ia menyesap espressonya sesaat sebelum menjawab, “Ya, seperti yang Om lihat di cacatan medis yang saya tunjukkan.”Hubungan Roy dan Belvina hanya sekadar status ayah dan anak sejak dulu. Namun, Archer tahu sebagai sesama seorang ayah, Roy menyayangi Belvina. Sejak dulu Roy selalu memberikan apapun yang Belvina inginkan kecuali keluarga. Namun Belvina tidak mau menerima uluran tangan Roy. Bahkan Belvina sendiri yang meminta Archer agar merahasiakan penyakitnya dari ayahnya itu.Archer juga sudah menjelaskan hal itu terhadap Roy barusan.“Maaf saya baru kasih tahu Om sekarang. Selama ini saya menghargai keputusan Belvina untuk tidak menceritakannya pada Om Roy,” jelas Archer, “lalu sekarang… saya tidak bisa terus-menerus berada di sekitar Belvina. Ada anak dan istri saya yang harus saya prioritaskan. Sedangkan satu-satunya orang yang menyayang
“Aku perhatikan… tujuh tahun nggak ketemu ternyata nggak ada yang berubah dalam dirimu. Masih sama seperti dulu.”Feli menatap wanita berambut sebahu nan tipis di hadapannya. Lipstik merahnya seolah ingin menyembunyikan bibir pucatnya, tapi mata Belvina tak bisa berbohong. Kelopak matanya yang cekung membuat siapapun yang melihatnya akan tahu kalau Belvina sedang sakit.“Terima kasih pujianmu.” Sebuah senyuman terukir di bibir Belvina. “Aku tahu, walaupun aku sakit tapi penampilan adalah segalanya. Archer nggak pernah absen membawaku ke salon untuk melakukan perawatan tubuh.”Feli tersenyum samar ketika dengan bangganya Belvina menyebut nama Archer. Seolah-olah pria itu memang miliknya seutuhnya.“Maksudku bukan penampilanmu yang nggak berubah,” ralat Feli, “tapi… sifatmu. Tamak dan manipulatif. Kamu nggak menyadarinya?”Mata Belvina seketika membulat tajam. Hilang sudah kelembutan dan keramahan yang sejak tadi Belvina tunjukkan di depan Feli. Toh, tidak ada siapa-siapa di café ini, p
SUV hitam itu melaju dengan lambat karena terjebak dalam kemacetan yang amat panjang. Padahal saat ini ingin sekali Archer mempercepat laju kendaraannya agar mereka segera tiba di apartemen Belvina, lalu setelah itu ia bergegas pergi lagi menemui Feli.Tapi kemacetan ini membuat Archer harus menghemat stok kesabarannya untuk mendengarkan keluh kesah Belvina yang kini duduk di sampingnya.Rambut Belvina tampak kasar dan kumal karena espressonya sudah mengering. Sesekali wanita itu sesenggukan, lalu memeluk lengan Archer dan menyandarkan kepala di bahu bidangnya.Archer hanya diam. Fokus pada kemudi tanpa benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Belvina.Kalau dipikir-pikir, sejak dulu Belvina selalu mengeluhkan penyakitnya setiap kali mereka bersama, menangis dan bermanja. Archer selalu menghadapinya dengan sabar, karena ia mengerti beban yang dirasakan Belvina benar-benar berat.Namun kini, Archer merasa bosan mendengar keluhan yang sama. Percakapan mereka tidak ber
“Mami belum pulang?”Kimberly menggeleng lucu, rambut panjangnya yang dikucir dua ikut bergerak-gerak. Dia tidak menjawab karena mulutnya penuh makanan yang baru saja dimasukan oleh sang ayah ke mulutnya.Beberapa menit yang lalu Archer baru pulang dari kantor dan mendapati Kimberly sedang disuapi oleh Dewi. Lalu saat itu juga ia mengambil alih putrinya karena sudah rindu sejak seharian tidak bertemu.“Memangnya tadi Kimmy dijemput sama siapa, hem?” tanya Archer lagi dengan perasaan tak sabar, tapi ia harus pelan-pelan dan bersabar menunggu putrinya menelan dulu makanannnya.“Sama mami, Pi,” jawab Kimberly pada akhirnya. “Tapi tadi Mami pergi lagi. Katanya mau ke butik lagi karena mami ada pekerjaan.”Tampak kerutan di kening Archer. Ia menarik tangan kirinya yang memeluk perut Kimberly, mengecek arloji.Sudah pukul setengah enam sore, mungkinkah Feli masih lembur di butik sampai jam segini?Archer bertanya-tanya dalam hati, lalu memasukkan suapan terakhir ke mulut putrinya.Setelah m
“Sudah makan malam?” Feli tidak menggubris pertanyaan Archer yang bernada lembut itu, jauh lebih lembut daripada saat Archer menelepon Belvina. Tapi siapa tahu saat sepasang kekasih itu bertemu, suara Archer akan jauh lebih lembut dari ini, kan? “Aku belum makan dari siang,” lanjut Archer lagi saat Feli tak kunjung menjawab. Satu tangannya memegangi kemudi, tangan yang lain mengelus-elus perut ratanya. “Tadi nggak kerasa lapar sama sekali, tapi kenapa sekarang lapar banget, ya?” Archer terkekeh samar, sejak tadi hatinya dirundung perasaan gelisah, khawatir dan merasa bersalah, sampai-sampai ia tidak merasakan hal lain yang didera tubuhnya. Mulut Feli masih bungkam. Ingin rasanya ia menghilang saja dari hadapan Archer untuk selama-lamanya. Andai dia tidak memikirkan Kimberly, orang tuanya dan saudara-saudaranya, mungkin tadi dia sudah melompat dari jembatan yang di bawahnya ada sungai. Dia bisa mati tenggelam di situ lalu terbawa arus. “Kita mampir dulu di McD ya, drive thru aja,"
Feli ternganga melihat pemandangan di depan matanya. Kelopak matanya tak berkedip. Ia merasa seperti masih ada di alam mimpi.Bagaimana tidak?Di depan kabinet dapur ia melihat Archer memakai celemek tengah mengiris-iris bawang bombay dengan gerakan sedikit kaku. Lalu di depan wastafel, Kimberly berdiri di atas kursi sambil mencuci tomat.Feli mengerjapkan matanya, mencoba menyadarkan diri kalau ia sudah terbangun dari tidurnya. Ia memang bangun kesiangan hari ini. Kehamilannya yang sekarang membuatnya mudah mengantuk dan tidur yang lama.“Papi, lihat tomatnya sudah bersih belum?”Celotehan Kimberly membuat Feli sadar kalau ini bukan mimpi. Ia lantas bersandar pada kusen pintu, memilih memperhatikan mereka berdua dari kejauhan.“Sudah. Sini, bawa tomatnya. Mau Papi iris.” Archer menoleh pada putrinya sejenak.Kimberly turun dari kursi, lalu mendorong kursi itu ke dekat sang ayah, ia menaikinya lagi untuk menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan table counter. Kimberly menyerahkan tomat pad
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”