“Aku perhatikan… tujuh tahun nggak ketemu ternyata nggak ada yang berubah dalam dirimu. Masih sama seperti dulu.”Feli menatap wanita berambut sebahu nan tipis di hadapannya. Lipstik merahnya seolah ingin menyembunyikan bibir pucatnya, tapi mata Belvina tak bisa berbohong. Kelopak matanya yang cekung membuat siapapun yang melihatnya akan tahu kalau Belvina sedang sakit.“Terima kasih pujianmu.” Sebuah senyuman terukir di bibir Belvina. “Aku tahu, walaupun aku sakit tapi penampilan adalah segalanya. Archer nggak pernah absen membawaku ke salon untuk melakukan perawatan tubuh.”Feli tersenyum samar ketika dengan bangganya Belvina menyebut nama Archer. Seolah-olah pria itu memang miliknya seutuhnya.“Maksudku bukan penampilanmu yang nggak berubah,” ralat Feli, “tapi… sifatmu. Tamak dan manipulatif. Kamu nggak menyadarinya?”Mata Belvina seketika membulat tajam. Hilang sudah kelembutan dan keramahan yang sejak tadi Belvina tunjukkan di depan Feli. Toh, tidak ada siapa-siapa di café ini, p
SUV hitam itu melaju dengan lambat karena terjebak dalam kemacetan yang amat panjang. Padahal saat ini ingin sekali Archer mempercepat laju kendaraannya agar mereka segera tiba di apartemen Belvina, lalu setelah itu ia bergegas pergi lagi menemui Feli.Tapi kemacetan ini membuat Archer harus menghemat stok kesabarannya untuk mendengarkan keluh kesah Belvina yang kini duduk di sampingnya.Rambut Belvina tampak kasar dan kumal karena espressonya sudah mengering. Sesekali wanita itu sesenggukan, lalu memeluk lengan Archer dan menyandarkan kepala di bahu bidangnya.Archer hanya diam. Fokus pada kemudi tanpa benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Belvina.Kalau dipikir-pikir, sejak dulu Belvina selalu mengeluhkan penyakitnya setiap kali mereka bersama, menangis dan bermanja. Archer selalu menghadapinya dengan sabar, karena ia mengerti beban yang dirasakan Belvina benar-benar berat.Namun kini, Archer merasa bosan mendengar keluhan yang sama. Percakapan mereka tidak ber
“Mami belum pulang?”Kimberly menggeleng lucu, rambut panjangnya yang dikucir dua ikut bergerak-gerak. Dia tidak menjawab karena mulutnya penuh makanan yang baru saja dimasukan oleh sang ayah ke mulutnya.Beberapa menit yang lalu Archer baru pulang dari kantor dan mendapati Kimberly sedang disuapi oleh Dewi. Lalu saat itu juga ia mengambil alih putrinya karena sudah rindu sejak seharian tidak bertemu.“Memangnya tadi Kimmy dijemput sama siapa, hem?” tanya Archer lagi dengan perasaan tak sabar, tapi ia harus pelan-pelan dan bersabar menunggu putrinya menelan dulu makanannnya.“Sama mami, Pi,” jawab Kimberly pada akhirnya. “Tapi tadi Mami pergi lagi. Katanya mau ke butik lagi karena mami ada pekerjaan.”Tampak kerutan di kening Archer. Ia menarik tangan kirinya yang memeluk perut Kimberly, mengecek arloji.Sudah pukul setengah enam sore, mungkinkah Feli masih lembur di butik sampai jam segini?Archer bertanya-tanya dalam hati, lalu memasukkan suapan terakhir ke mulut putrinya.Setelah m
“Sudah makan malam?” Feli tidak menggubris pertanyaan Archer yang bernada lembut itu, jauh lebih lembut daripada saat Archer menelepon Belvina. Tapi siapa tahu saat sepasang kekasih itu bertemu, suara Archer akan jauh lebih lembut dari ini, kan? “Aku belum makan dari siang,” lanjut Archer lagi saat Feli tak kunjung menjawab. Satu tangannya memegangi kemudi, tangan yang lain mengelus-elus perut ratanya. “Tadi nggak kerasa lapar sama sekali, tapi kenapa sekarang lapar banget, ya?” Archer terkekeh samar, sejak tadi hatinya dirundung perasaan gelisah, khawatir dan merasa bersalah, sampai-sampai ia tidak merasakan hal lain yang didera tubuhnya. Mulut Feli masih bungkam. Ingin rasanya ia menghilang saja dari hadapan Archer untuk selama-lamanya. Andai dia tidak memikirkan Kimberly, orang tuanya dan saudara-saudaranya, mungkin tadi dia sudah melompat dari jembatan yang di bawahnya ada sungai. Dia bisa mati tenggelam di situ lalu terbawa arus. “Kita mampir dulu di McD ya, drive thru aja,"
Feli ternganga melihat pemandangan di depan matanya. Kelopak matanya tak berkedip. Ia merasa seperti masih ada di alam mimpi.Bagaimana tidak?Di depan kabinet dapur ia melihat Archer memakai celemek tengah mengiris-iris bawang bombay dengan gerakan sedikit kaku. Lalu di depan wastafel, Kimberly berdiri di atas kursi sambil mencuci tomat.Feli mengerjapkan matanya, mencoba menyadarkan diri kalau ia sudah terbangun dari tidurnya. Ia memang bangun kesiangan hari ini. Kehamilannya yang sekarang membuatnya mudah mengantuk dan tidur yang lama.“Papi, lihat tomatnya sudah bersih belum?”Celotehan Kimberly membuat Feli sadar kalau ini bukan mimpi. Ia lantas bersandar pada kusen pintu, memilih memperhatikan mereka berdua dari kejauhan.“Sudah. Sini, bawa tomatnya. Mau Papi iris.” Archer menoleh pada putrinya sejenak.Kimberly turun dari kursi, lalu mendorong kursi itu ke dekat sang ayah, ia menaikinya lagi untuk menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan table counter. Kimberly menyerahkan tomat pad
Kedua sudut bibir Archer terangkat samar. Jari telunjuk dan ibu jarinya mengusap-usap dagu. Ia duduk bersandar pada kursi kebesarannya dengan pandangan menerawang jauh.Vicky menatap bosnya dengan kening berkerut. Seharian ini kerjaan sang CEO kebanyakan melamun, kadang senyum-senyum sendiri, dan tak jarang terlihat kehilangan fokus. Aneh. Vicky merasa ini seperti bukan bosnya yang biasanya. Bahkan, tadi pagi saja Archer terlambat datang hampir satu jam.Vicky berdehem. “Tuan, apa pembahasannya akan dilanjutkan nanti saja?”Pertanyaan Vicky membuat Archer terkejut. Ia membetulkan posisi duduknya, lalu memfokuskan pandangan pada layar MacBook di hadapannya, berusaha mengalihkan ingatannya tentang percintaan panasnya bersama Feli tadi pagi di ruangan istrinya itu yang terus memenuhi kepalanya.Dan ya, itu pengalaman pertama mereka melakukannya selain di rumah. Selama ini Archer selalu meminta haknya tanpa memedulikan perasaan Feli dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Namun tadi pa
Feli menurunkan kedua kaki polosnya ke lantai, lalu ia duduk di tepian ranjang. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi tapi Archer sudah tidak terlihat di sebelahnya.Feli lalu mendapati ada secarik kertas menggantung di ujung lampu tidur, ditempelkan menggunakan solatif. Ia mencabutnya lalu membaca tulisan tangan Archer.‘Ada urusan yang harus aku kerjakan pagi-pagi. Nanti sore aku jemput kamu. Oh ya, jangan lupa diminum susunya.’Tatapan Feli lalu tertuju pada segelas susu khusus kehamilan di dekat lampu itu. Ia baru sadar ada susu di sana.“Dia kenapa?” gumam Feli sembari mengambil minuman tersebut. Sudah agak dingin. Itu artinya Archer sudah cukup lama perginya. “Setiap hari kelakuannya makin aneh aja.”Ah ya, Feli baru sadar kalau ada janin di perutnya. Archer berubah akhir-akhir ini karena demi darah dagingnya di dalam perut.Setelah Feli menghabiskan setengah gelas susu itu, ia menyempatkan diri mengecek ponsel. Tumben pesan masuknya banyak banget, pikirnya.Ia merasa terkejut
Feli memperhatikan Kimberly dan Aurora yang tengah asyik melihat ikan di kolam buatan, yang ada di terminal tiga keberangkatan internasional. Ia harus memastikan kedua anak itu berdiri di jembatan, aman dan tidak terjatuh.Hari ini Feli sengaja mengenakan pakaian simpel. Hanya memakai celana jeans pensil dengan panjang sedikit di atas mata kaki, dipadukan dengan kaos putih kedodoran, berlengan pendek. Kakinya dibalut sneakers. Rambut panjangnya dicepol asal ala-ala wanita di dalam drama Korea.Ia bersedekap dada, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling yang sudah dipenuhi penumpang yang menunggu tempat check-in dibuka. Mungkin sekitar 10 menit lagi baru bisa check-in? pikir Feli sembari melirik arloji.Pandangan Feli lalu tertuju pada sekumpulan pramugari berseragam navy, tampak cantik, elegan dan stylish, menggeret koper masing-masing, berjalan beriringan di belakang dua pria berjas hitam dengan pin lambang maskapai di bagian dada kiri dan garis tegas di bagian ujung lengan.Pria ya