Feli menurunkan kedua kaki polosnya ke lantai, lalu ia duduk di tepian ranjang. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi tapi Archer sudah tidak terlihat di sebelahnya.Feli lalu mendapati ada secarik kertas menggantung di ujung lampu tidur, ditempelkan menggunakan solatif. Ia mencabutnya lalu membaca tulisan tangan Archer.‘Ada urusan yang harus aku kerjakan pagi-pagi. Nanti sore aku jemput kamu. Oh ya, jangan lupa diminum susunya.’Tatapan Feli lalu tertuju pada segelas susu khusus kehamilan di dekat lampu itu. Ia baru sadar ada susu di sana.“Dia kenapa?” gumam Feli sembari mengambil minuman tersebut. Sudah agak dingin. Itu artinya Archer sudah cukup lama perginya. “Setiap hari kelakuannya makin aneh aja.”Ah ya, Feli baru sadar kalau ada janin di perutnya. Archer berubah akhir-akhir ini karena demi darah dagingnya di dalam perut.Setelah Feli menghabiskan setengah gelas susu itu, ia menyempatkan diri mengecek ponsel. Tumben pesan masuknya banyak banget, pikirnya.Ia merasa terkejut
Feli memperhatikan Kimberly dan Aurora yang tengah asyik melihat ikan di kolam buatan, yang ada di terminal tiga keberangkatan internasional. Ia harus memastikan kedua anak itu berdiri di jembatan, aman dan tidak terjatuh.Hari ini Feli sengaja mengenakan pakaian simpel. Hanya memakai celana jeans pensil dengan panjang sedikit di atas mata kaki, dipadukan dengan kaos putih kedodoran, berlengan pendek. Kakinya dibalut sneakers. Rambut panjangnya dicepol asal ala-ala wanita di dalam drama Korea.Ia bersedekap dada, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling yang sudah dipenuhi penumpang yang menunggu tempat check-in dibuka. Mungkin sekitar 10 menit lagi baru bisa check-in? pikir Feli sembari melirik arloji.Pandangan Feli lalu tertuju pada sekumpulan pramugari berseragam navy, tampak cantik, elegan dan stylish, menggeret koper masing-masing, berjalan beriringan di belakang dua pria berjas hitam dengan pin lambang maskapai di bagian dada kiri dan garis tegas di bagian ujung lengan.Pria ya
A-apa? Sayang?Ugh! Ingin rasanya Feli mengeluarkan seluruh isi perutnya di depan Archer saat ini juga!Panggilan sayang yang keluar dari mulut pria berjas hitam itu membuat perutnya melilit.“Ngapain kamu di sini?” desis Feli dengan tatapan tak suka.Archer menaruh majalah ke atas meja. Lalu ia mendongak, menatap Feli dengan tatapan tak terbaca, rahangnya tampak mengeras. Feli merasa genggaman tangan Archer semakin erat di tangannya.“Alasan apa yang membuatmu pergi ke luar negeri tanpa izin padaku, hem?”Feli cukup terkejut mendengar suara lembut itu. Ia pikir, Archer akan ngamuk seperti yang sudah-sudah. Tapi kali ini sebaliknya. Alih-alih marah, Archer malah menanyakan alasannya yang membuat Feli berpikir kalau pria di hadapannya itu seperti bukan Archer.“Aku ingin menghindarimu,” jawab Feli apa adanya.Seketika Archer terdiam.“Jadi tolong, kalau nggak ada kepentingan, lebih baik pulang lagi saja. Beri aku waktu untuk sendiri.” Feli membuang muka ketika tatapan Archer terasa beg
“Kamu cuma mau memberikan alasannya, ‘kan? Kenapa kita malah jauh-jauh ke sini? Bilang sekarang memangnya nggak bisa?” Archer bertanya dengan nada tak sabar ketika mereka turun dari mobil yang mereka sewa selama tiga hari di Sydney.Sang sopir menutup pintu kembali setelah kaki Feli menapaki jalan.“Ikut aja.” Feli berjalan mendahului Archer.Di depan matanya ada deretan toko dengan bangunan bergaya modern. Semua toko yang saling berdampingan itu memiliki dinding kaca di bagian depan.Mereka baru tiba di Sydney tadi pagi. Istirahat sebentar di hotel, lalu melakukan city tour di daerah dekat hotel, berempat, sedangkan Auriga memilih tidur untuk memulihkan energi setelah hampir 8 jam berada di udara.Kini, waktu sudah menjelang sore. Feli menitipkan Kimberly pada Auriga bersama Aurora. Sementara dirinya membawa Archer yang terus menerus menagih janjinya untuk mengatakan apa alasan Feli tidak pernah menatapnya setiap kali mereka bercinta.Oh, ralat. Feli merasa mereka tak pernah bercinta
Archer menatap pantulan dirinya yang setengah telanjang di depan cermin. Menatap tato kecil di dada kirinya.Pikirannya terasa penuh dan semrawut. Letupan emosional istrinya tadi sore dan tatapan terlukanya, membuat Archer tak bisa diam dengan tenang. Entah mengapa. Bahkan dadanya pun kini mendadak terasa sesak.Archer ingat, tato ini sudah ada sejak tujuh tahun lalu. Tiga bulan setelah kecelakaan Belvina terjadi. Ketika itu Belvina terus merajuk karena tidak percaya jika Archer benar-benar mencintainya setelah kehilangan anak mereka dan Belvina insecure karena fisiknya cacat.Dengan kondisi fisik yang belum stabil, Belvina membawa Archer ke tattoo studio—seperti yang Feli lakukan tadi, membawanya tanpa Archer ketahui apa maksudnya. Setelah mereka berada di tempat itu, Belvina meminta Archer agar membuktikan cintanya dengan membuat tato di dadanya.Suara deringan ponsel membuyarkan lamunan pria yang hanya memakai handuk itu. Ia mengambil ponsel dari dekat wastafel.Belvina.Archer ter
Feli baru kembali ke kamarnya pagi itu setelah mengantarkan Kimberly ke kamar Aurora dan Auriga.Begitu menutup pintu, Feli melihat Archer tengah duduk di tepian ranjang, hanya mengenakan celana jeans dan kaos singlet. Pria itu lantas berdiri dan menjulurkan kemeja putih di tangannya saat Feli menghampirinya.“Pakaikan kemeja ini untukku.”Feli ternganga. “Sejak kapan kamu nggak bisa pakai kemeja sendiri?”“Sejak pagi ini.” Archer lantas memakai kemeja itu tanpa mengancingkannya. “Karena mulai sekarang tugasmu yang menautkan semua kancingnya.”Hell! Feli mengumpat di dalam hati dengan mata membelalak. Maunya apa sih laki-laki yang hatinya sudah dibutakan wanita lain bertahun-tahun ini?!“Kamu masih punya jari-jari yang masih berfungsi.” Feli menghiraukan Archer dan memilih menghampiri kaca rias. “Atau kalau kamu masih nggak bisa pakai sendiri, minta bantuan saja sama wanita yang selalu ada di hatimu itu. Aku bukan boneka yang bisa kamu kendalikan sesuka hati.” Dengan santai Feli menyah
Setelah menghabiskan waktu tiga hari di Sydney—Auriga menyebutnya liburan tipis-tipis sekaligus menjadi babu, kini mereka sudah kembali ke Jakarta. Kimberly sempat merengek tidak mau pulang karena masih ingin berlibur, tapi Archer berjanji suatu saat nanti mereka akan kembali lagi dan liburan dengan waktu yang lama di sana.Hari ini semuanya sudah kembali pada rutinitas masing-masing. Kecuali Auriga, Feli pikir mungkin pria itu kebanyakan menghabiskan waktu di tempat tidur sebelum kembali ke penerbangan selanjutnya.“Selesai.”Feli akhirnya bisa menghela napas lega setelah semua kancing kemeja Archer terpasang. Setiap detiknya terasa amat lambat ketika ia berada di dekat pria itu.“Dasinya belum.”“Nggak bisa kamu memakainya sendiri?” protes Feli dengan wajah mengerut.“Bisa, tapi untuk apa ada kamu?”“Aku bukan tukang pasang dasi!”Archer mengulum senyum melihat istrinya pagi-pagi sudah mengomel. Well, ya dari dulu Feli seperti ini, tapi kenapa sekarang Archer malah menikmatinya alih
Honey?Ugh! Perut Feli tiba-tiba mual. Ia segera menutup mulutnya dengan telapak tangan saat ia merasa ingin muntah.Archer yang menyadari hal itu, segera mengalihkan tatapannya dari Belvina dan merangkul bahu sang istri.“Fel, kenapa? Kamu sakit?” tanya Archer dengan raut muka khawatir.Feli menggeleng. Lalu ia mengeluarkan parfum aroma rose kesukaannya dan menghirupnya. Aroma lebut dan segar parfum itu membuat perasaannya sedikit lebih baik.“Anak kamu kayaknya alergi sama wanita yang pengen dekat sama ayahnya, Archer,” jawab Feli dengan santai, ia melirik Belvina sekilas. “Makanya perut aku jadi mual-mual setelah wanita itu datang.”Archer ikut melirik Belvina, yang saat itu tengah terbengong-bengong melihat mereka berdua, senyuman di wajah Belvina pun seketika luntur.Pandangan Archer kembali beralih kepada Feli. “Kita nggak bisa menemukan air hangat di sini. Mau nyari dulu keluar?”“Nggak usah. Sekarang udah mendingan kok.”“Serius?” Archer merasa tak yakin.Feli mengangguk. “Iya
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”