Setelah menghabiskan waktu tiga hari di Sydney—Auriga menyebutnya liburan tipis-tipis sekaligus menjadi babu, kini mereka sudah kembali ke Jakarta. Kimberly sempat merengek tidak mau pulang karena masih ingin berlibur, tapi Archer berjanji suatu saat nanti mereka akan kembali lagi dan liburan dengan waktu yang lama di sana.Hari ini semuanya sudah kembali pada rutinitas masing-masing. Kecuali Auriga, Feli pikir mungkin pria itu kebanyakan menghabiskan waktu di tempat tidur sebelum kembali ke penerbangan selanjutnya.“Selesai.”Feli akhirnya bisa menghela napas lega setelah semua kancing kemeja Archer terpasang. Setiap detiknya terasa amat lambat ketika ia berada di dekat pria itu.“Dasinya belum.”“Nggak bisa kamu memakainya sendiri?” protes Feli dengan wajah mengerut.“Bisa, tapi untuk apa ada kamu?”“Aku bukan tukang pasang dasi!”Archer mengulum senyum melihat istrinya pagi-pagi sudah mengomel. Well, ya dari dulu Feli seperti ini, tapi kenapa sekarang Archer malah menikmatinya alih
Honey?Ugh! Perut Feli tiba-tiba mual. Ia segera menutup mulutnya dengan telapak tangan saat ia merasa ingin muntah.Archer yang menyadari hal itu, segera mengalihkan tatapannya dari Belvina dan merangkul bahu sang istri.“Fel, kenapa? Kamu sakit?” tanya Archer dengan raut muka khawatir.Feli menggeleng. Lalu ia mengeluarkan parfum aroma rose kesukaannya dan menghirupnya. Aroma lebut dan segar parfum itu membuat perasaannya sedikit lebih baik.“Anak kamu kayaknya alergi sama wanita yang pengen dekat sama ayahnya, Archer,” jawab Feli dengan santai, ia melirik Belvina sekilas. “Makanya perut aku jadi mual-mual setelah wanita itu datang.”Archer ikut melirik Belvina, yang saat itu tengah terbengong-bengong melihat mereka berdua, senyuman di wajah Belvina pun seketika luntur.Pandangan Archer kembali beralih kepada Feli. “Kita nggak bisa menemukan air hangat di sini. Mau nyari dulu keluar?”“Nggak usah. Sekarang udah mendingan kok.”“Serius?” Archer merasa tak yakin.Feli mengangguk. “Iya
Dua belas hari lagi.Mata Feli memejam sambil mengingatkan dirinya berapa lama lagi ia dan Archer akan bersama. Ya, setelah dua belas hari kemudian, ia akan lepas dari lelaki yang baru saja memasuki sebuah kamar di samping kamar Belvina.Feli terdiam. Hatinya terasa begitu nyeri melihat Archer berkeliaran di rumah ini dengan bebas. Seolah-olah sedang berada di rumahnya sendiri. Kedua belah telapak tangan Feli yang gemetar, perlahan terkepal.Dalam keterdiamannya, Feli melihat Belvina keluar dari kamarnya dan masuk ke kamar yang barusan Archer masuki.Feli tak sanggup menahan rasa sesaknya lagi melihat mereka bebas berduaan padahal di sini ada dirinya, istri sahnya. Feli berdiri, dengan langkah penuh keyakinan ia menghampiri kamar tersebut.“Archer. Kamu… apa sudah nggak ada lagi cinta di hatimu untukku?”Langkah kaki Feli seketika terhenti di dekat pintu yang terbuka manakala mendengar suara Belvina. Tiba-tiba ia enggan masuk. Dan tak bisa dipungkiri, Feli penasaran akan jawaban Arche
Hujan mengguyur kota sejak semalam. Suara gemericiknya terdengar bagai relaksasi alami yang membuat Feli tertidur lelap dan enggan terbangun.Namun, sepertinya bukan itu saja yang membuat ia tidak mau bangun pagi ini. Pelukan hangat yang mendekapnya sejak semalam, membuat Feli enggan melakukan aktifitas yang lain. Padahal hari ini ia harus ke butik untuk meeting dengan karyawannya.“Hmmm….”Feli mendongak kala mendengar gumaman Archer yang masih terlelap. Ia memperhatikan setiap inci wajah tampan dan maskulin itu, yang beberapa hari terakhir ini selalu menjadi pemandangan pertama di kala Feli bangun tidur.“Archer… bangun. Aku mau ke kamar mandi, lepasin aku,” gumam Feli dengan niat membangunkan yang tidak sungguh-sungguh. Ia malas turun dari tempat tidur, tapi berdiam diri dalam pelukan Archer terus-menerus pun bukan sesuatu yang baik bagi dirinya.Feli takut dirinya akan ketergantungan, hingga saat mereka berpisah nanti hatinya merasa berat untuk melepaskan lelaki ini.“Begini dulu
“Aku dengar, Om Roy kemarin di Bangkok.” Archer berbasa-basi setelah mempersilahkan Roy dan Belvina duduk di ruangannya.“Iya. Sorenya Om sudah pulang lagi.” Ekspresi pria berambut sedikit memutih itu tampak datar. Dalam duduknya saja Roy terlihat wibawa dan berkarisma.Archer mengangguk-angguk paham. Lalu menatap Belvina dan bertanya, “Kondisimu sudah baikan, Vin?”“Fisikku sudah baikan karena dokter memberiku obat.” Raut Belvina tampak kelam. “Tapi hatiku sama sekali nggak baik setelah kamu tinggal pergi tadi malam.”Helaan napas Archer terasa kasar, lalu ia membetulkan duduknya menjadi lebih tegak. “Vin, semalam bukannya kita sudah—”“Nak Archer,” potong Roy tiba-tiba. “Sebenarnya kami datang ke sini bukan tanpa maksud,” katanya sambil menghela napas berat. “Saya sudah tahu semuanya dari Belvina.”Tampak kerutan di kening Archer. “Maksud Om?” tanyanya tak mengerti.“Tentang masa lalu kalian berdua.” Roy menatap Archer dengan tatapan tegas. “Tentang hubungan kalian, tentang anak kal
“Permisi, Bu. Ada tamu yang ingin bertemu Bu Feli.” Dania berdiri di dekat pintu yang baru saja dia buka, setelah sebelumnya diketuk terlebih dulu.Feli menghela napas panjang. Sorot matanya yang mendung sejak semalam, beralih dari layar iPad yang hanya dia pandangi dengan tatapan kosong, ke arah sekretarisnya.“Siapa, Nia?”“Em… itu wanita yang pernah datang ke sini beberapa hari yang lalu.” Dania tampak mengingat-ingat. “Namanya Belvina.”Feli terdiam cukup lama. Sebelum akhirnya mengangguk, menyuruh Dania mempersilahkan Belvina masuk.Oke. Dia memang malas bertemu dengan orang lain hari ini, karena mood-nya jelek sejak Archer mengabaikan makanannya tadi malam. Namun, bertemu Belvina barangkali bisa menjadi hiburan, pikirnya.“Sepertinya… datang ke kantorku mulai menjadi hobimu.” Feli tersenyum samar. Ia menjulurkan tangan kanan ke arah sofa. “Silahkan duduk.”“Nggak perlu,” timpal wanita yang memakai dress putih selutut itu. Riasannya terlihat glowing, shimmering, splendid, membuat
Lampu ruangan itu terlihat remang-remang. Feli duduk di sofa, bersedekap dada. Suara presenter wanita pada salah satu acara berita malam di televisi, mengalun dalam volume sedang. Tapi Feli tak benar-benar mendengarkan. Matanya memandangi layar televisi itu dengan tatapan kosong.Suara pintu yang dibuka dengan perlahan dan derap langkah kaki yang mendekat, membuat Feli tersadar dari lamunannya.Ia lantas berdiri dan mengambil sesuatu dari atas meja, berbalik badan, lalu mendapati pria yang sudah mencabik-cabik hatinya hingga tak terbentuk, baru saja memasuki rumah.“Fel? Belum tidur?” Archer nampak terkejut melihat keberadaan istrinya di tengah malam masih menonton televisi.“Baru pulang?” Ekspresi dan suara Feli terdengar dingin.“Mm-hm. Ada pekerjaan di kantor yang membuatku harus lembur.”Kaki pria itu melangkah mendekati Feli. Di bawah remang-remang lampu, Feli bisa melihat wajah Archer nampak kusut dan sorot matanya terlihat tak berdaya. Kemejanya sudah keluar dari celana, dasiny
Feli menghela napas berat setelah menarik rem tangan. Ia memperhatikan gerbang sekolah dan terlihat masih sepi. Pertanda anak-anak belum keluar kelas.Pada saat yang sama ponselnya berdering. Feli mengeluarkan benda itu dari sling bag dan mendapati nama Cecilia. Ini yang dia tunggu-tunggu.“Halo, Mbak? Sudah baca pesan dari aku?” tanya Feli sambil menempelkan ponselnya di telinga kiri.Terdengar helaan napas berat dari Cecilia. “Aku baru membuka pesanmu barusan, Fel. Dan di saat yang sama aku juga mau meneleponmu untuk mengabarkan sesuatu yang….” Cecilia mendecakan lidahnya pelan. “Kabar buruk, untukmu.”Tampak kerutan di kening Feli yang terlihat glowing. Perasaannya mulai tidak enak mendengar dua kata itu; kabar buruk.“Kamu siap mendengarnya?” tanya Cecilia saat Feli belum menanggapi ucapannya.“Apa… ini tentang surat gugatan yang kita ajukan ke pengadilan?” Feli menggigit bibir bawah, berharap dugaannya tidak benar. Tersisa waktu satu minggu lagi sampai persidangan dilaksanakan da