Hujan mengguyur kota sejak semalam. Suara gemericiknya terdengar bagai relaksasi alami yang membuat Feli tertidur lelap dan enggan terbangun.Namun, sepertinya bukan itu saja yang membuat ia tidak mau bangun pagi ini. Pelukan hangat yang mendekapnya sejak semalam, membuat Feli enggan melakukan aktifitas yang lain. Padahal hari ini ia harus ke butik untuk meeting dengan karyawannya.“Hmmm….”Feli mendongak kala mendengar gumaman Archer yang masih terlelap. Ia memperhatikan setiap inci wajah tampan dan maskulin itu, yang beberapa hari terakhir ini selalu menjadi pemandangan pertama di kala Feli bangun tidur.“Archer… bangun. Aku mau ke kamar mandi, lepasin aku,” gumam Feli dengan niat membangunkan yang tidak sungguh-sungguh. Ia malas turun dari tempat tidur, tapi berdiam diri dalam pelukan Archer terus-menerus pun bukan sesuatu yang baik bagi dirinya.Feli takut dirinya akan ketergantungan, hingga saat mereka berpisah nanti hatinya merasa berat untuk melepaskan lelaki ini.“Begini dulu
“Aku dengar, Om Roy kemarin di Bangkok.” Archer berbasa-basi setelah mempersilahkan Roy dan Belvina duduk di ruangannya.“Iya. Sorenya Om sudah pulang lagi.” Ekspresi pria berambut sedikit memutih itu tampak datar. Dalam duduknya saja Roy terlihat wibawa dan berkarisma.Archer mengangguk-angguk paham. Lalu menatap Belvina dan bertanya, “Kondisimu sudah baikan, Vin?”“Fisikku sudah baikan karena dokter memberiku obat.” Raut Belvina tampak kelam. “Tapi hatiku sama sekali nggak baik setelah kamu tinggal pergi tadi malam.”Helaan napas Archer terasa kasar, lalu ia membetulkan duduknya menjadi lebih tegak. “Vin, semalam bukannya kita sudah—”“Nak Archer,” potong Roy tiba-tiba. “Sebenarnya kami datang ke sini bukan tanpa maksud,” katanya sambil menghela napas berat. “Saya sudah tahu semuanya dari Belvina.”Tampak kerutan di kening Archer. “Maksud Om?” tanyanya tak mengerti.“Tentang masa lalu kalian berdua.” Roy menatap Archer dengan tatapan tegas. “Tentang hubungan kalian, tentang anak kal
“Permisi, Bu. Ada tamu yang ingin bertemu Bu Feli.” Dania berdiri di dekat pintu yang baru saja dia buka, setelah sebelumnya diketuk terlebih dulu.Feli menghela napas panjang. Sorot matanya yang mendung sejak semalam, beralih dari layar iPad yang hanya dia pandangi dengan tatapan kosong, ke arah sekretarisnya.“Siapa, Nia?”“Em… itu wanita yang pernah datang ke sini beberapa hari yang lalu.” Dania tampak mengingat-ingat. “Namanya Belvina.”Feli terdiam cukup lama. Sebelum akhirnya mengangguk, menyuruh Dania mempersilahkan Belvina masuk.Oke. Dia memang malas bertemu dengan orang lain hari ini, karena mood-nya jelek sejak Archer mengabaikan makanannya tadi malam. Namun, bertemu Belvina barangkali bisa menjadi hiburan, pikirnya.“Sepertinya… datang ke kantorku mulai menjadi hobimu.” Feli tersenyum samar. Ia menjulurkan tangan kanan ke arah sofa. “Silahkan duduk.”“Nggak perlu,” timpal wanita yang memakai dress putih selutut itu. Riasannya terlihat glowing, shimmering, splendid, membuat
Lampu ruangan itu terlihat remang-remang. Feli duduk di sofa, bersedekap dada. Suara presenter wanita pada salah satu acara berita malam di televisi, mengalun dalam volume sedang. Tapi Feli tak benar-benar mendengarkan. Matanya memandangi layar televisi itu dengan tatapan kosong.Suara pintu yang dibuka dengan perlahan dan derap langkah kaki yang mendekat, membuat Feli tersadar dari lamunannya.Ia lantas berdiri dan mengambil sesuatu dari atas meja, berbalik badan, lalu mendapati pria yang sudah mencabik-cabik hatinya hingga tak terbentuk, baru saja memasuki rumah.“Fel? Belum tidur?” Archer nampak terkejut melihat keberadaan istrinya di tengah malam masih menonton televisi.“Baru pulang?” Ekspresi dan suara Feli terdengar dingin.“Mm-hm. Ada pekerjaan di kantor yang membuatku harus lembur.”Kaki pria itu melangkah mendekati Feli. Di bawah remang-remang lampu, Feli bisa melihat wajah Archer nampak kusut dan sorot matanya terlihat tak berdaya. Kemejanya sudah keluar dari celana, dasiny
Feli menghela napas berat setelah menarik rem tangan. Ia memperhatikan gerbang sekolah dan terlihat masih sepi. Pertanda anak-anak belum keluar kelas.Pada saat yang sama ponselnya berdering. Feli mengeluarkan benda itu dari sling bag dan mendapati nama Cecilia. Ini yang dia tunggu-tunggu.“Halo, Mbak? Sudah baca pesan dari aku?” tanya Feli sambil menempelkan ponselnya di telinga kiri.Terdengar helaan napas berat dari Cecilia. “Aku baru membuka pesanmu barusan, Fel. Dan di saat yang sama aku juga mau meneleponmu untuk mengabarkan sesuatu yang….” Cecilia mendecakan lidahnya pelan. “Kabar buruk, untukmu.”Tampak kerutan di kening Feli yang terlihat glowing. Perasaannya mulai tidak enak mendengar dua kata itu; kabar buruk.“Kamu siap mendengarnya?” tanya Cecilia saat Feli belum menanggapi ucapannya.“Apa… ini tentang surat gugatan yang kita ajukan ke pengadilan?” Feli menggigit bibir bawah, berharap dugaannya tidak benar. Tersisa waktu satu minggu lagi sampai persidangan dilaksanakan da
Beberapa jam yang lalu.Archer keluar dari ruangan Cecilia dengan ekspresi keras dan tatapan yang tajam. Tangannya mengepal. Sang sopir segera membukakan pintu lalu Archer masuk ke kursi belakang.Ia melemparkan jasnya ke kursi sebelah dengan penuh emosi.“Jadi benar, dia menggugatku tanpa sepengetahuanku?” desis Archer dengan rahang mengetat. Kepalan tangannya semakin bergetar. “Vicky,” panggilnya dingin pada sang asisten di samping sopir.Vicky menoleh. “Ya, Tuan?”“Hubungi seseorang yang paling berpengaruh di pengadilan itu. Sampaikan aku ingin bertemu dengannya!”Pria berpenampilan klimis itu mengangguk, mengiakan perintah bosnya.“Shit!”Entah untuk yang ke berapa kalinya Archer mengumpat, sejak ia mendapat kabar dari seseorang yang ia tugaskan untuk selalu mencari tahu apa saja yang dilakukan Feli, tadi pagi.Orang itu tidak mengikuti Feli kemanapun. Hanya melihat aktifitas dari jejak digital, dengan siapa Feli bertemu lalu ada keperluan apa.Archer mengeluarkan ponsel dan meman
“Bukankah sudah pernah aku katakan padamu? Jaga anakku baik-baik! Tapi apa yang kamu lakukan, hah? Kamu malah membunuhnya, kamu sengaja menabrakkan dirimu ke mobil itu, Belvina!”“Lalu kenapa?” Belvina mencengkeram selimut kuat-kuat. Napasnya memburu. “Aku sama sekali tidak menginginkan janin itu. Dia hanya akan menjadi penghalang dalam hubunganku dan Archer kalau dibiarkan lahir. Kita sudah—”Kalimat Belvina seketika terhenti, matanya membelalak penuh ketakutan, tangannya mendadak tremor. “A-Archer?” gumamnya terbata-bata.Di ambang pintu yang baru saja terbuka, Archer berdiri dengan ekspresi mengerikan, matanya menatap penuh amarah. Ia melangkahkan kakinya ke arah ranjang tanpa melepas tatapan tajamnya dari Belvina.“Benar janin itu bukan anakku?” Suara Archer terdengar dingin, yang mampu membekukan Belvina yang mendengarnya.Belvina menggeleng cepat, air matanya tiba-tiba meleleh deras. “Archer, aku mohon, dengarkan aku dulu. Apa yang barusan kamu dengar nggak seperti yang—”“Jawab
Tak hanya ada Nicko dan Leica di depan ruang operasi itu. Melainkan ada Xavier, Noah dan juga Nolan. Hanya Kanaya yang tidak ada. Putri kedua keluarga Ferlando itu sedang menjalani perannya sebagai koas di salah satu rumah sakit yang ada di Surabaya.Archer dengan wajah menegang dan pucat, baru saja menghentikan langkahnya tak jauh dari keluarga mertuanya itu. Raut wajah mereka tampak mendung, Leica masih terisak di pelukan Noah. Nicko duduk tenang, tapi Archer yakin hati mertuanya itu tak benar-benar tenang.Di samping Leica, Xavier duduk dengan kedua siku bertumpu pada lutut, kepalan tangannya bergetar, darah yang mengering di tangan dan kemeja putihnya seolah menandakan kalau dirinyalah yang sempat memangku tubuh Feli. Lalu Nolan, laki-laki itu berdiri menyandarkan kepala ke tembok sambil memejamkan mata.“Apa yang terjadi?” lirih Archer. Hanya tiga kata itu yang mampu terucap dari sepasang bibirnya.Semua mata langsung tertuju kepadanya. Archer bisa merasakan tatapan kebencian dar