“Hey! Kamu pernah juara MotoGP?!” tanya Kimberly sekali lagi, kali ini sembari melongokan kepalanya di pintu.“Kamu pasti tinggal di planet lain, makanya baru tahu.” Malik menjawab datar, yang membuat bibir Kimberly cemberut.Kimberly tak berhenti berdecak kagum memperhatikan piala-piala yang tersimpan di lemari transparan. Karena sudah menyisir semua sudut ruangan itu dan Malik masih belum selesai memasak, Kimberly pun bergegas membongkar koper dan mengeluarkan kameranya lagi. Perutnya terus berbunyi apalagi saat mencium aroma makanan yang menggugah selera, tapi Kimberly harus bersabar sedikit lagi.Mendengar suara pintu yang digeser dan pekikan riang serta bunyi shutter kamera yang berulang-ulang, Malik hanya bisa menghela napas pasrah. Padahal dia sudah melarang wanita—yang belum ia ketahui namanya itu, untuk tidak membuka pintu balkon. Malik tidak suka wanita yang ‘ngeyel’ dan tidak mendengarkan ucapannya.Setelah makanan terhidang di atas meja makan, Malik menyeret langkahnya men
“Apa sekarang nomornya sudah aktif?” Feli menatap cemas pada Archer yang tengah menempelkan ponsel di telinga.Archer menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar seraya mengusap wajahnya, gusar. “Belum, Sunshine. Masih belum aktif,” jawabnya, yang membuat Feli seketika terduduk lemas di sofa.“Ke mana dia? Kenapa dari kemarin malam nggak bisa dihubungi? Nggak biasanya Kimmy seperti ini, Yang,” keluh Feli dengan raut muka khawatir, ia berdiri, berjalan mondar-mandir, kemudian duduk lagi seolah tidak menemukan kenyamanan.“Kakak tersesat kali, Mi.”“Adek!” sergah Feli dengan cepat. “Hati-hati kalau ngomong, Sayang.”Pemuda tanggung yang mirip dengan Archer saat kecil itupun meringis, tanpa menunjukkan perasaan bersalahnya di depan sang ibu. “Ya… kan Kakak teledor orangnya, Mi. Atau bisa jadi handphone-nya hilang. Emang udah paling bener diam di rumah aja Kak Kimmy tuh.”“Mami juga berpikiran seperti itu, Nak, kemungkinan besar handphone-nya Kimmy hilang.” Feli menggigit bib
“Bodoh! Bodoh! Kenapa aku nggak pinjam handphone dia buat telepon papi?!”Kimberly terus menggerutu, menyesali kebodohannya, sambil terus berjalan menyeret koper di tengah-tengah terjangan udara dingin.Akan lebih mudah lagi jika ia hapal nomor Nancy. Sayang, Kimberly hanya hapal dua nomor telepon orang tuanya saja. Bahkan nomor Ernest saja dia tidak ingat.Kimberly terus melangkah di jalanan yang hanya cukup dilewati satu mobil dan lengang, melewati rumah-rumah unik yang dindingnya terlihat seperti tumpukan batu-batu kecil.Andorra memiliki pemandangan yang menakjubkan. Harapan Kimberly bermain ski di negara ini hancur sudah akibat keteledorannya.Rencana Kimberly sudah tersusun rapi untuk hari ini. Ia akan mencari telepon umum lebih dulu untuk menelepon orang tuanya supaya mereka tidak khawatir.Kemudian datang ke kantor polisi, menindaklanjuti kasus kehilangan tasnya. Setelah itu pergi ke hotel yang sudah dia pesan saat masih di Spanyol—hotel yang mengusirnya pergi karena tidak ada
Seorang pria berdiri di depan dinding kaca, bersedekap dada, kaos katunnya mampu mencetak otot lengannya yang tidak terlalu besar tapi padat. Mata hitamnya memandangi salju yang berjatuhan ke atap rumah-rumah yang letaknya lebih rendah dari rumahnya.Ini salju pertama di hari liburnya, setelah berbulan-bulan keliling dunia untuk kompetisi balapan yang sudah ia geluti sejak delapan tahun lalu.Rozano Malik Novhar—pria berusia 27 tahun itu telah sukses menjadi pembalap profesional.Menjadi pembalap adalah cita-cita yang sengaja ia pendam semenjak kecil. Karena keterbatasan hidup yang ia jalani, membuat cita-citanya itu menjadi sangat mustahil untuk digapai. Apalagi ketika ia hidup seorang diri setelah ditinggalkan keluarganya dengan cara mengenaskan.Sekarang… semua kesulitan itu telah terlewati. Di panti asuhan, ia mendapat banyak kesempatan untuk berkembang.Malik mendapatkan beasiswa SMP dan SMA di salah satu sekolah internasional favorit, di Jakarta. Lalu, saat ia menginjak bangku k
Kimberly terpaksa membongkar koper untuk mengeluarkan tisu. Ia panik, telapak tangannya sudah dipenuhi darah yang terus keluar dari hidung.Dengan satu tangan yang masih bersih, dia cukup kesulitan mengambil tisu di antara tumpukan pakaian. Dia membongkar kopernya di pinggir jalan yang agak sepi. Salju membasahi baju-baju di dalam koper.Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kimberly menutup koper itu lalu menyambar beberapa lembar tisu. Sambil terisak-isak, ia lantas menyumpal hidung dan membersihkan tangan dengan tisu basah.Malang sekali nasibnya. Kala ingat dirinya yang kini sendirian dalam kondisi seperti ini, tangisan Kimberly semakin deras. Menumpahkan kekesalan, kesedihan dan kesepiannya dalam tangisan itu.“Mami… Papi… aku ingin pulang,” lirihnya sembari membenamkan wajah di atas lutut. Bahunya bergetar. “Aku takut di sini sendirian.”Kimberly terus menangis tanpa peduli ia ada di mana saat ini. Hingga tiba-tiba ia mendengar suara kopernya yang diresletingkan.Sontak, Kimberl
“Telepon dari siapa?” tanya Feli dengan suara serak khas orang bangun tidur, saat Archer menghampiri ranjang.Archer mengulum senyum. Feli tahu senyuman itu terlihat dipaksakan untuk membuat dirinya tidak khawatir.Sejak mendengar kabar dari Nancy beberapa saat yang lalu, bahwa Nancy tidak menemukan Kimberly di hotel yang sudah disewa—di Andorra, Feli tak berhenti menangis hingga ia kelelahan dan akhirnya tertidur. Suara Archer yang terdengar agak panik saat bicara di telepon barusan, di balkon, membuat tidur Feli terganggu hingga terbangun.“Kimmy, Sunshine,” jawab Archer.Feli terkejut, ia segera bangkit duduk dengan tatapan penuh tanya. “Kimmy?” ulangnya tak percaya. “Barusan Kimmy nelepon kamu? Serius? Kamu nggak sedang bercanda, ‘kan?”Archer duduk di samping sang istri, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Sebisa mungkin Archer berusaha tetap tenang dan tidak menunjukkan kekhawatirannya, demi membuat Feli tenang.“Hm-hm, barusan anak kita yang telepon. Dia pakai telepon um
“Bagaimana? Temanmu ada di sini?” tanya Malik tak sabar, perasaannya mendadak tidak enak. Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi kepadanya hari ini.Dengan bibir cemberut, Kimberly menjawab, “Sepertinya aku emang ditakdirkan nggak ketemu temanku lagi di sini,” rengeknya, matanya berkaca-kaca.Malik ternganga. “Jadi maksudmu… kamu nggak akan pergi hari ini?”Alih-alih menjawab, Kimberly malah duduk di samping Malik, menatapnya dengan ekspresi memelas dan berkata, “Bisakah malam ini kamu memberiku tumpangan menginap lagi? Uangku nggak cukup untuk bertahan hidup sampai aku menemukan pasporku.”Rahang Malik berkedut. Seharusnya ia sudah menyadari hal ini sejak melihat wanita ini di jalan tadi; liburan musim ini ia malah mendapatkan kesialan.“Tidak. Kamu menginap di hotel ini saja. Aku akan memberimu uang untuk menginap beberapa malam.”“Tapi aku takut sendirian,” keluh Kimberly, masih dengan ekspresinya yang keruh dan bahunya yang lemas. Kimberly bersin, dia menyambar tisu dari meja
Malik pikir, Kimberly akan cemberut—seperti yang sudah-sudah, atau menangis dan marah setelah mendengar kata-kata sarkasnya barusan.Akan tetapi, wanita itu justru malah mengerjapkan mata dengan ekspresi polos. Kemudian Kimberly berdiri, melangkah memutari meja dan berdiri tepat di hadapan Malik. Jarak mereka hanya dipisahkan meja kayu berbentuk bundar ukuran sedang.“Apa yang sedang kamu lakukan?” desis Malik saat Kimberly berkacak pinggang di hadapannya.“Kamu bilang, aku lebih berbahaya daripada virus,” timpal Kimberly dengan suara berdengung karena hidungnya tersumbat. “Aku cuma mau buktiin ke kamu, kalau aku ini aman, nggak bawa senjata tajam atau sesuatu yang akan membahayakan kamu. Kamu nggak percaya? Periksa aja sendiri di dalam koperku atau di seluruh tubuhku, kali aja kamu ngira aku nyembunyiin pisau di sini,” ocehnya sembari menunjuk pinggangnya.Tubuhnya hanya dibalut celana hitam ketat dan sweater wool yang juga sama-sama ketat, berwarna merah marun. Lehernya model turtle