“Bodoh! Bodoh! Kenapa aku nggak pinjam handphone dia buat telepon papi?!”Kimberly terus menggerutu, menyesali kebodohannya, sambil terus berjalan menyeret koper di tengah-tengah terjangan udara dingin.Akan lebih mudah lagi jika ia hapal nomor Nancy. Sayang, Kimberly hanya hapal dua nomor telepon orang tuanya saja. Bahkan nomor Ernest saja dia tidak ingat.Kimberly terus melangkah di jalanan yang hanya cukup dilewati satu mobil dan lengang, melewati rumah-rumah unik yang dindingnya terlihat seperti tumpukan batu-batu kecil.Andorra memiliki pemandangan yang menakjubkan. Harapan Kimberly bermain ski di negara ini hancur sudah akibat keteledorannya.Rencana Kimberly sudah tersusun rapi untuk hari ini. Ia akan mencari telepon umum lebih dulu untuk menelepon orang tuanya supaya mereka tidak khawatir.Kemudian datang ke kantor polisi, menindaklanjuti kasus kehilangan tasnya. Setelah itu pergi ke hotel yang sudah dia pesan saat masih di Spanyol—hotel yang mengusirnya pergi karena tidak ada
Seorang pria berdiri di depan dinding kaca, bersedekap dada, kaos katunnya mampu mencetak otot lengannya yang tidak terlalu besar tapi padat. Mata hitamnya memandangi salju yang berjatuhan ke atap rumah-rumah yang letaknya lebih rendah dari rumahnya.Ini salju pertama di hari liburnya, setelah berbulan-bulan keliling dunia untuk kompetisi balapan yang sudah ia geluti sejak delapan tahun lalu.Rozano Malik Novhar—pria berusia 27 tahun itu telah sukses menjadi pembalap profesional.Menjadi pembalap adalah cita-cita yang sengaja ia pendam semenjak kecil. Karena keterbatasan hidup yang ia jalani, membuat cita-citanya itu menjadi sangat mustahil untuk digapai. Apalagi ketika ia hidup seorang diri setelah ditinggalkan keluarganya dengan cara mengenaskan.Sekarang… semua kesulitan itu telah terlewati. Di panti asuhan, ia mendapat banyak kesempatan untuk berkembang.Malik mendapatkan beasiswa SMP dan SMA di salah satu sekolah internasional favorit, di Jakarta. Lalu, saat ia menginjak bangku k
Kimberly terpaksa membongkar koper untuk mengeluarkan tisu. Ia panik, telapak tangannya sudah dipenuhi darah yang terus keluar dari hidung.Dengan satu tangan yang masih bersih, dia cukup kesulitan mengambil tisu di antara tumpukan pakaian. Dia membongkar kopernya di pinggir jalan yang agak sepi. Salju membasahi baju-baju di dalam koper.Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kimberly menutup koper itu lalu menyambar beberapa lembar tisu. Sambil terisak-isak, ia lantas menyumpal hidung dan membersihkan tangan dengan tisu basah.Malang sekali nasibnya. Kala ingat dirinya yang kini sendirian dalam kondisi seperti ini, tangisan Kimberly semakin deras. Menumpahkan kekesalan, kesedihan dan kesepiannya dalam tangisan itu.“Mami… Papi… aku ingin pulang,” lirihnya sembari membenamkan wajah di atas lutut. Bahunya bergetar. “Aku takut di sini sendirian.”Kimberly terus menangis tanpa peduli ia ada di mana saat ini. Hingga tiba-tiba ia mendengar suara kopernya yang diresletingkan.Sontak, Kimberl
“Telepon dari siapa?” tanya Feli dengan suara serak khas orang bangun tidur, saat Archer menghampiri ranjang.Archer mengulum senyum. Feli tahu senyuman itu terlihat dipaksakan untuk membuat dirinya tidak khawatir.Sejak mendengar kabar dari Nancy beberapa saat yang lalu, bahwa Nancy tidak menemukan Kimberly di hotel yang sudah disewa—di Andorra, Feli tak berhenti menangis hingga ia kelelahan dan akhirnya tertidur. Suara Archer yang terdengar agak panik saat bicara di telepon barusan, di balkon, membuat tidur Feli terganggu hingga terbangun.“Kimmy, Sunshine,” jawab Archer.Feli terkejut, ia segera bangkit duduk dengan tatapan penuh tanya. “Kimmy?” ulangnya tak percaya. “Barusan Kimmy nelepon kamu? Serius? Kamu nggak sedang bercanda, ‘kan?”Archer duduk di samping sang istri, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Sebisa mungkin Archer berusaha tetap tenang dan tidak menunjukkan kekhawatirannya, demi membuat Feli tenang.“Hm-hm, barusan anak kita yang telepon. Dia pakai telepon um
“Bagaimana? Temanmu ada di sini?” tanya Malik tak sabar, perasaannya mendadak tidak enak. Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi kepadanya hari ini.Dengan bibir cemberut, Kimberly menjawab, “Sepertinya aku emang ditakdirkan nggak ketemu temanku lagi di sini,” rengeknya, matanya berkaca-kaca.Malik ternganga. “Jadi maksudmu… kamu nggak akan pergi hari ini?”Alih-alih menjawab, Kimberly malah duduk di samping Malik, menatapnya dengan ekspresi memelas dan berkata, “Bisakah malam ini kamu memberiku tumpangan menginap lagi? Uangku nggak cukup untuk bertahan hidup sampai aku menemukan pasporku.”Rahang Malik berkedut. Seharusnya ia sudah menyadari hal ini sejak melihat wanita ini di jalan tadi; liburan musim ini ia malah mendapatkan kesialan.“Tidak. Kamu menginap di hotel ini saja. Aku akan memberimu uang untuk menginap beberapa malam.”“Tapi aku takut sendirian,” keluh Kimberly, masih dengan ekspresinya yang keruh dan bahunya yang lemas. Kimberly bersin, dia menyambar tisu dari meja
Malik pikir, Kimberly akan cemberut—seperti yang sudah-sudah, atau menangis dan marah setelah mendengar kata-kata sarkasnya barusan.Akan tetapi, wanita itu justru malah mengerjapkan mata dengan ekspresi polos. Kemudian Kimberly berdiri, melangkah memutari meja dan berdiri tepat di hadapan Malik. Jarak mereka hanya dipisahkan meja kayu berbentuk bundar ukuran sedang.“Apa yang sedang kamu lakukan?” desis Malik saat Kimberly berkacak pinggang di hadapannya.“Kamu bilang, aku lebih berbahaya daripada virus,” timpal Kimberly dengan suara berdengung karena hidungnya tersumbat. “Aku cuma mau buktiin ke kamu, kalau aku ini aman, nggak bawa senjata tajam atau sesuatu yang akan membahayakan kamu. Kamu nggak percaya? Periksa aja sendiri di dalam koperku atau di seluruh tubuhku, kali aja kamu ngira aku nyembunyiin pisau di sini,” ocehnya sembari menunjuk pinggangnya.Tubuhnya hanya dibalut celana hitam ketat dan sweater wool yang juga sama-sama ketat, berwarna merah marun. Lehernya model turtle
Kimberly duduk lagi di sofa, sementara Malik pergi ke luar. Entah ke mana. Pria itu tidak bilang apa-apa sebelum pergi dan hanya mengenakan coat serta membawa payung.“Sepertinya ini benar-benar handphone baru,” gumam Kimberly seraya meneliti ponsel yang diberikan Malik beberapa saat yang lalu.Namun, ada hal yang lebih penting ketimbang menebak-nebak apakah Malik sengaja membeli ponsel ini untuknya atau memang sudah ada sebelumnya, yaitu menelepon orang tuanya di Indonesia.Segera saja Kimberly menyimpan nomor telepon papi dan maminya. Ia semakin yakin ini ponsel baru karena tidak ada nomor kontak sama sekali di dalam daftar kontaknya. Dan handphone itu sudah dibekali layanan internet, aplikasi WhatsApp pun sudah bisa langsung digunakan.Saat akan menelepon nomor sang ayah, Kimberly ragu sejenak, ia tidak mau mengganggu tidur orang tuanya sebab di Jakarta sudah dini hari saat ini.Ia memutuskan mengirim pesan saja, jikalau mereka sudah tidur pun, chat-nya akan terbaca esok hari.[“Se
Entah karena dia terlalu lelah atau karena pengaruh obat, pagi itu Kimberly terbangun pukul sembilan. Terlambat dua jam dari yang sudah ia rencanakan. Ia tidur di sofa, semalaman, sendirian. Namun Kimberly bersyukur ia masih bisa tidur di tempat yang layak, ketimbang di pinggir jalan seperti kemarin malam.Saat ia bangun, ia tidak menemukan sosok Malik di manapun. Dan sepertinya di kamar pun tidak ada, sebab ia tidak melihat sepatu pria itu di rak.“Mungkin dia sedang keluar,” gumamnya sembari menyeret langkahnya ke dapur.Di atas meja ia menemukan omelet yang sudah dingin dan ada sticky notes menempel di meja itu, tepat di samping piring berisi omelet.‘Sarapanmu.’Kimberly tersenyum kecil saat membaca tulisan tangan Malik yang kurang rapi pada notes itu. Lalu menarik kursi untuk ia duduki. Ia menuangkan air putih dari pitcher ke dalam gelas kosong—yang sudah teronggok di tengah-tengah meja.Sebelum kemudian melahap omelet itu meski selera makannya hilang akibat flu yang menyerang. N