Dengan perasaan kacau, Archer kembali ke ballroom. Pandangannya mengedar ke sekeliling ruangan, lalu terhenti pada sosok wanita berambut pirang yang duduk di salah satu meja, tengah berbincang dengan seorang pria. Archer menyeret langkah mendekatinya.Emily sudah menyadari kedatangan Archer, wanita itu menghentikan obrolannya dan tersenyum ke arah Archer.“Emily, bisa kita bicara sebentar?”“Oke.” Emily bicara pada pria di sebelahnya sejenak, lalu beranjak dari kursi dan mengikuti langkah Archer ke tempat yang lebih sepi. “Ada apa? Nggak mungkin membicarakan pekerjaan di saat seperti ini, ‘kan?”“Ini tentang istriku,” tukas Archer dengan cepat, ekspresi wajahnya tampak datar, tak seramah biasanya ketika mengobrol dengan klien. “Maksudku Feli. Hanya dia satu-satunya istriku.”“Oh, ya. Jadi… apa yang dikatakan wanita bernama Belvina waktu itu nggak benar?”“Belvina yang mengakui itu tapi kenapa kamu bilang kalau aku yang mengakuinya?” Archer mengusap wajahnya dengan gusar. “Maksudku di
“Kondisi kandungan istri Anda cukup rentan, Pak. Bu Feli harus banyak istirahat. Dan yang paling penting, jangan biarkan istri Anda stres. Apalagi ini masih trimester awal, di mana kandungan sangat rentan terkena resiko yang tidak diinginkan.”Ucapan dokter beberapa jam yang lalu terngiang-ngiang di telinga Archer, membuat wajah Archer semakin kuyu.Sekarang sudah pukul dua pagi, tapi Archer sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya kacau dan semrawut. Ia kepikiran tentang kesalahpahaman di antara mereka berdua. Khawatir kalau Feli masih tidak mau memaafkannya. Belum lagi kondisi tubuh Feli sekarang, yang membuat Archer semakin gelisah.Kepada dokter Feli mengeluh perutnya sakit dan mual, tubuhnya lemas dan tremor. Namun, wanita itu sama sekali tidak mau jujur kepada Archer mengenai hal tersebut.“Kim… Kimmy….”Gumaman Feli membuat Archer keluar dari lamunannya. Ia mengeratkan genggaman tangan Feli, yang sejak tadi ia genggam.“Jangan khawatir, Sunshine, Kimmy sekarang bersam
Archer keluar dari mobil sembari tersenyum senang. Di tangannya tergenggam sebuah bingkisan berisi dua porsi mie tek-tek yang diinginkan istrinya. Penjual itu sengaja membuatkan dua porsi dengan harga yang sama—sebanyak pendapatan dia hari itu.Setibanya di depan ruangan rawat Feli, Archer sudah mempersiapkan diri dengan segala tanggapan yang akan diberikan istrinya itu setelah mendapat apa yang dia inginkan.Archer tersenyum. Ia yakin Feli akan senang. Dengan begitu Archer akan mudah merayunya agar Feli memaafkannya lagi.Didorongnya pintu di hadapannya. Tidak terkunci. Archer mengembuskan napas kasar, ia sedikit kesal karena Feli tidak menuruti ucapannya untuk mengunci pintu. Bagaimana kalau ada orang yang tiba-tiba masuk?“Sunshine, lihat! Aku bawa apa untukmu?” seru Archer dengan raut muka cerah. Dengan langkah cepat dihampirinya sang istri.Namun, saat melihat pemandangan di hadapannya senyuman Archer pun perlahan lenyap. Semangat yang semula menggebu-gebu pun akhirnya sirna.Bag
“Please… jangan mengabaikan aku,” pinta Archer dengan penuh permohonan. “Kamu boleh marah-marah, meneriaki aku, atau memukuliku sepuas kamu, tapi jangan mengabaikan dan mendiamkan aku seperti ini, Sunshine.”Melihat ekspresi Archer yang tampak memelas, Feli nyaris goyah dan merasa tak tega mendiamkan Archer terlalu lama. Namun ucapan Emily yang terus terngiang-ngiang membuat Feli bersikeras pada pendiriannya.Pada saat yang sama, pintu terdengar diketuk, membuat Archer urung untuk berbicara lagi. Ia pun menaruh makanannya yang tinggal separuh ke atas rak. Kemudian membuka pintu dan mendapati wanita berambut pirang di sana.Archer menyapa wanita itu dan memintanya masuk.Feli terkejut melihat siapa yang datang. Emily. Dia menghampiri Feli sambil tersenyum canggung. Semakin jelas saja ucapan Emily tadi malam saat Feli melihat sosoknya sekarang, membuat hati Feli semakin merasa tak karuan.“Bagaimana kondisimu? Tidak ada sesuatu yang serius, bukan?” tanya Emily.Feli berusaha untuk terse
Siang harinya Feli sudah dibolehkan pulang ke rumah. Namun dokter menekankan agar Feli tidak banyak beraktifitas dulu, apalagi sampai merasa stres.Setibanya di rumah, Kimberly terus menempel kepada Feli. Anak itu sempat menangis dan tidak memberi kesempatan kepada Feli dan Archer untuk mengobrol berdua.“Aku mau ngejagain Mami sama adik bayi, biar Mami nggak masuk rumah sakit lagi,” rengek Kimberly dengan mata berkaca-kaca, yang membuat Feli terenyuh mendengarnya.Kimberly baru bisa lepas dari ibunya ketika anak itu sudah tertidur di malam hari. Feli mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Ia sempat mengecup kening Kimberly, membetulkan selimutnya, sebelum akhirnya keluar dari kamar anak itu.Kamar utama masih kosong ketika Feli masuk ke sana. Rupanya Archer masih ada di ruang kerja, pikir Feli.Feli merasa gamang, penjelasan Emily membuatnya merasa bersalah karena men-judge Archer begitu saja. Sejak tadi siang pun, Archer seperti ingin berbicara kepadanya tapi tak
Bunyi dering ponsel membangunkan Feli. Dengan malas ia mengulurkan tangan untuk mengambil benda tipis itu di nakas. Namun, Feli cukup kesulitan bergerak. Ia membuka mata dan menyadari kalau tubuhnya ada dalam pelukan Archer.“Archer, ada telepon ke handphone kamu,” bisiknya.Archer tetap bergeming. Napasnya terdengar teratur dan sepertinya akan sangat sulit untuk diganggu. Lagi pula Feli tidak mau mengganggu tidur Archer. Pria ini tampak kelelahan setelah aktifitas panas yang mereka lakukan beberapa saat lalu. Bahkan tubuh mereka pun masih sama-sama terlihat polos di bawah selimut.Deringan itu sempat berhenti. Namun tak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Karena penasaran siapa yang menelepon pada pukul empat dini hari begini, Feli pun memaksakan diri untuk mengambil ponsel Archer.Eden.Feli tertegun melihat nama Eden terpampang di layar. Ia berpikir sejenak sembari menimbang-nimbang, apakah harus mengangkatnya atau tidak. Namun saat Feli memutuskan untuk mengangkat panggila
Feli tidak tahu apa yang Archer rasakan ketika melihat nama Belvina terukir pada batu nisan. Apakah pria itu merasa sedih dan kehilangan? Atau justru merasa biasa-biasa saja?Entahlah.Feli tidak bisa menebak isi hati dan pikirannya. Ekspresi Archer terlalu sulit untuk dibaca.Di permukaan Archer terlihat biasa-biasa saja. Namun Feli tak berani bertanya mengenai perasaannya. Feli takut jika jawaban yang nanti dia dengar akan melukai hatinya dan membuatnya kecewa.Biarlah… hari ini Feli membiarkan rasa penasarannya menggantung begitu saja. Bukankah lebih baik tidak tahu, daripada tahu segalanya tapi hal itu mampu melukainya?Tidak banyak yang mengantar Belvina ke tempat peristirahatan terakhirnya, selain Feli, Archer, Eden dan beberapa orang karyawan Blossom Boutique.“Ayo kita pulang. Meeting-ku akan dimulai sebentar lagi.”Feli menoleh ke arah pria berkemeja putih di sampingnya yang barusan berbisik sembari menggenggam tangannya. Feli mengangguk.“Tapi tunggu dulu sebentar,” ucap Fel
Sampai Feli selesai menjemput Kimberly, ia masih menimbang-nimbang apakah harus membaca surat itu atau tidak. Feli masih ragu dan takut. Takut jika apa yang ia baca nanti akan melukai hatinya.Namun, rasa penasaran Feli semakin tak terbendung lagi. Ia pun memberanikan diri membuka laci dan mengeluarkan sepucuk surat yang tadi ia taruh di sana.Feli sempat melihat Kimberly yang asyik menggambar di sofa, sebelum akhirnya membuka lipatan surat tersebut yang ia keluarkan dari amplop putih.Feli menghela napas panjang, kemudian larut membaca tulisan tangan Belvina yang sedikit tidak rapi. Mungkin wanita itu menulisnya dalam kondisi tangan tremor.*Teruntuk kamu, yang pernah menjadi matahariku. Archer.Matahari? Apa aku terlalu berlebihan ya? Ah, tapi menurutku sama sekali tidak. Kehadiranmu dalam hidupku memang sepenting itu. Duniaku menjadi berwarna dan hangat saat kamu hadir di sisiku, tapi menjadi gelap dan dingin ketika kamu menghilang.Sayang sekali aku hanya memiliki matahari, sehin
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”