Siang harinya Feli sudah dibolehkan pulang ke rumah. Namun dokter menekankan agar Feli tidak banyak beraktifitas dulu, apalagi sampai merasa stres.Setibanya di rumah, Kimberly terus menempel kepada Feli. Anak itu sempat menangis dan tidak memberi kesempatan kepada Feli dan Archer untuk mengobrol berdua.“Aku mau ngejagain Mami sama adik bayi, biar Mami nggak masuk rumah sakit lagi,” rengek Kimberly dengan mata berkaca-kaca, yang membuat Feli terenyuh mendengarnya.Kimberly baru bisa lepas dari ibunya ketika anak itu sudah tertidur di malam hari. Feli mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Ia sempat mengecup kening Kimberly, membetulkan selimutnya, sebelum akhirnya keluar dari kamar anak itu.Kamar utama masih kosong ketika Feli masuk ke sana. Rupanya Archer masih ada di ruang kerja, pikir Feli.Feli merasa gamang, penjelasan Emily membuatnya merasa bersalah karena men-judge Archer begitu saja. Sejak tadi siang pun, Archer seperti ingin berbicara kepadanya tapi tak
Bunyi dering ponsel membangunkan Feli. Dengan malas ia mengulurkan tangan untuk mengambil benda tipis itu di nakas. Namun, Feli cukup kesulitan bergerak. Ia membuka mata dan menyadari kalau tubuhnya ada dalam pelukan Archer.“Archer, ada telepon ke handphone kamu,” bisiknya.Archer tetap bergeming. Napasnya terdengar teratur dan sepertinya akan sangat sulit untuk diganggu. Lagi pula Feli tidak mau mengganggu tidur Archer. Pria ini tampak kelelahan setelah aktifitas panas yang mereka lakukan beberapa saat lalu. Bahkan tubuh mereka pun masih sama-sama terlihat polos di bawah selimut.Deringan itu sempat berhenti. Namun tak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Karena penasaran siapa yang menelepon pada pukul empat dini hari begini, Feli pun memaksakan diri untuk mengambil ponsel Archer.Eden.Feli tertegun melihat nama Eden terpampang di layar. Ia berpikir sejenak sembari menimbang-nimbang, apakah harus mengangkatnya atau tidak. Namun saat Feli memutuskan untuk mengangkat panggila
Feli tidak tahu apa yang Archer rasakan ketika melihat nama Belvina terukir pada batu nisan. Apakah pria itu merasa sedih dan kehilangan? Atau justru merasa biasa-biasa saja?Entahlah.Feli tidak bisa menebak isi hati dan pikirannya. Ekspresi Archer terlalu sulit untuk dibaca.Di permukaan Archer terlihat biasa-biasa saja. Namun Feli tak berani bertanya mengenai perasaannya. Feli takut jika jawaban yang nanti dia dengar akan melukai hatinya dan membuatnya kecewa.Biarlah… hari ini Feli membiarkan rasa penasarannya menggantung begitu saja. Bukankah lebih baik tidak tahu, daripada tahu segalanya tapi hal itu mampu melukainya?Tidak banyak yang mengantar Belvina ke tempat peristirahatan terakhirnya, selain Feli, Archer, Eden dan beberapa orang karyawan Blossom Boutique.“Ayo kita pulang. Meeting-ku akan dimulai sebentar lagi.”Feli menoleh ke arah pria berkemeja putih di sampingnya yang barusan berbisik sembari menggenggam tangannya. Feli mengangguk.“Tapi tunggu dulu sebentar,” ucap Fel
Sampai Feli selesai menjemput Kimberly, ia masih menimbang-nimbang apakah harus membaca surat itu atau tidak. Feli masih ragu dan takut. Takut jika apa yang ia baca nanti akan melukai hatinya.Namun, rasa penasaran Feli semakin tak terbendung lagi. Ia pun memberanikan diri membuka laci dan mengeluarkan sepucuk surat yang tadi ia taruh di sana.Feli sempat melihat Kimberly yang asyik menggambar di sofa, sebelum akhirnya membuka lipatan surat tersebut yang ia keluarkan dari amplop putih.Feli menghela napas panjang, kemudian larut membaca tulisan tangan Belvina yang sedikit tidak rapi. Mungkin wanita itu menulisnya dalam kondisi tangan tremor.*Teruntuk kamu, yang pernah menjadi matahariku. Archer.Matahari? Apa aku terlalu berlebihan ya? Ah, tapi menurutku sama sekali tidak. Kehadiranmu dalam hidupku memang sepenting itu. Duniaku menjadi berwarna dan hangat saat kamu hadir di sisiku, tapi menjadi gelap dan dingin ketika kamu menghilang.Sayang sekali aku hanya memiliki matahari, sehin
Archer sengaja pulang lebih awal sore ini. Rasanya ia tak dapat menahan rasa rindunya lagi untuk dua wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya.Setibanya di lobi Blossom Boutique, ia bergegas menaiki tangga sebab jika dia menunggu lift terlalu lama. Archer tidak melihat Dania di meja kerjanya. Ia pun membuka pintu ruangan Feli yang kebetulan tidak terkunci.Namun, apa yang Archer lihat saat pintu terbuka membuat darahnya seketika mendidih. Rahang Archer mendadak berubah mengeras. “Apa-apaan ini? Lepaskan istriku!”Suaranya yang lantang dan berat itu sontak membuat Feli menjauhkan diri dari Rafi. Kimberly yang sedang menyusun peralatan masak di kitchen set miliknya pun langsung menoleh pada sang ayah.“Papi!” seru anak itu sambil berlari menghampiri Archer.Raut muka Archer yang tegang pun seketika mencair, dia tersenyum pada Kimberly, memeluknya, menggendongnya lalu memberikan kecupan di kening dan pipi putrinya itu.“Papi, aku punya mainan baru dari Om Rafi. Bagus nggak?”Dada Arch
“Mami! Papi! Kenapa lama banget di dalamnya?!”Seruan melengking Kimberly yang diiringi ketukan pintu berkali-kali, membuat Archer terperanjat lalu berguling ke samping istrinya.“Shit,” umpatnya lirih sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Feli terkekeh melihat raut muka frustrasi di wajah suaminya itu. “Kan? Apa aku bilang tadi? Kena kan sekarang?” Ia bangkit duduk sembari membetulkan kancing pakaiannya yang sudah terlepas semua. Sementara ketukan di pintu terus berulang-ulang. “Iya, sebentar, Nak! Papi sama Mami kesitu!” seru Feli.Archer mendecak kesal. Ia terpaksa bangkit duduk. Satu telapak tangannya meraih pipi sang istri dan menatapnya dengan tatapan sayu. “Kita selesaikan di rumah nanti malam."“Aku nggak punya kesempatan untuk menolak, bukan?” Feli berdecak lidah, lantas menahan tangan Archer yang akan membantu memasangkan kancing kemejanya. “Nggak usah, ini biar aku saja. Kamu temui Kimmy, kasihan dia sendirian.”Ah, Archer jadi merasa bersalah sudah mengabaikan putrinya de
Feli rasa, sudah saatnya ia jujur mengenai perasaannya yang sesungguhnya. Archer berhak tahu. Apalagi saat ia melihat sorot mata Archer yang penuh harap, Feli jadi merasa tak tega untuk terus menggantungkan perasaannya.“Hm? Kenapa nggak jawab?” gumam Archer sembari menyelipkan helaian rambut Feli ke belakang telinga. “Apa sulit bagimu untuk mencintaiku, Fel?”Feli sedikit menunduk, belum jujur saja pipinya sudah terasa panas. Ia lantas menatap Archer dengan lekat. “Em… Archer, sebenarnya—”Ucapan Feli seketika terhenti saat ponsel Archer terdengar berdering.“Sunshine, tunggu sebentar,” ucap Archer, lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. “Ada apa malam-malam kepala cabang telepon?”“Ada yang penting kali.” Feli ikut melihat layar ponsel sang suami. “Angkat aja. Nggak mungkin malam-malam nelepon kalau nggak ada yang penting.”Archer mengangguk, mengiakan saran istrinya. Karena di sekitar mereka berisik, Archer lantas memindahkan Kimberly ke pangkuan ibunya lalu be
Jemari Feli bergetar. Wajahnya terlihat pucat memikirkan segala kemungkinan buruk yang terjadi kepada suaminya. Di tengah kepanikannya, ia berusaha untuk tetap berpikir jernih. Kemudian menghubungi Vicky, asisten pribadi Archer yang juga ikut ke Surabaya.Feli berjalan mondar-mandir sembari menggigit bibir bawah dengan raut muka khawatir. Ia mengumpat pelan ketika panggilan Vicky pun tidak terangkat.“Sayang, ayo kita pulang. Mama nggak akan ikut acaranya sampai—Fel? Ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah?” Leica yang semula berjalan dengan santai dan anggun, seketika terkejut dan melangkah tergesa menghampiri putrinya yang tengah menempelkan ponsel di telinga dan tampak gelisah.“Ma, Archer… Archer nggak bisa dihubungi.” Mata Feli berkaca-kaca, dia menatap layar ponselnya dan memainkannya, lalu menempelkannya lagi di telinganya.“Sebentar, sebentar. Kamu tenang dulu, Sayang.” Leica merangkul bahu Feli dengan penuh kebingungan. “Coba ceritakan sama Mama apa yang terjadi? Bukannya Arche