Bunyi dering ponsel membangunkan Feli. Dengan malas ia mengulurkan tangan untuk mengambil benda tipis itu di nakas. Namun, Feli cukup kesulitan bergerak. Ia membuka mata dan menyadari kalau tubuhnya ada dalam pelukan Archer.“Archer, ada telepon ke handphone kamu,” bisiknya.Archer tetap bergeming. Napasnya terdengar teratur dan sepertinya akan sangat sulit untuk diganggu. Lagi pula Feli tidak mau mengganggu tidur Archer. Pria ini tampak kelelahan setelah aktifitas panas yang mereka lakukan beberapa saat lalu. Bahkan tubuh mereka pun masih sama-sama terlihat polos di bawah selimut.Deringan itu sempat berhenti. Namun tak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Karena penasaran siapa yang menelepon pada pukul empat dini hari begini, Feli pun memaksakan diri untuk mengambil ponsel Archer.Eden.Feli tertegun melihat nama Eden terpampang di layar. Ia berpikir sejenak sembari menimbang-nimbang, apakah harus mengangkatnya atau tidak. Namun saat Feli memutuskan untuk mengangkat panggila
Feli tidak tahu apa yang Archer rasakan ketika melihat nama Belvina terukir pada batu nisan. Apakah pria itu merasa sedih dan kehilangan? Atau justru merasa biasa-biasa saja?Entahlah.Feli tidak bisa menebak isi hati dan pikirannya. Ekspresi Archer terlalu sulit untuk dibaca.Di permukaan Archer terlihat biasa-biasa saja. Namun Feli tak berani bertanya mengenai perasaannya. Feli takut jika jawaban yang nanti dia dengar akan melukai hatinya dan membuatnya kecewa.Biarlah… hari ini Feli membiarkan rasa penasarannya menggantung begitu saja. Bukankah lebih baik tidak tahu, daripada tahu segalanya tapi hal itu mampu melukainya?Tidak banyak yang mengantar Belvina ke tempat peristirahatan terakhirnya, selain Feli, Archer, Eden dan beberapa orang karyawan Blossom Boutique.“Ayo kita pulang. Meeting-ku akan dimulai sebentar lagi.”Feli menoleh ke arah pria berkemeja putih di sampingnya yang barusan berbisik sembari menggenggam tangannya. Feli mengangguk.“Tapi tunggu dulu sebentar,” ucap Fel
Sampai Feli selesai menjemput Kimberly, ia masih menimbang-nimbang apakah harus membaca surat itu atau tidak. Feli masih ragu dan takut. Takut jika apa yang ia baca nanti akan melukai hatinya.Namun, rasa penasaran Feli semakin tak terbendung lagi. Ia pun memberanikan diri membuka laci dan mengeluarkan sepucuk surat yang tadi ia taruh di sana.Feli sempat melihat Kimberly yang asyik menggambar di sofa, sebelum akhirnya membuka lipatan surat tersebut yang ia keluarkan dari amplop putih.Feli menghela napas panjang, kemudian larut membaca tulisan tangan Belvina yang sedikit tidak rapi. Mungkin wanita itu menulisnya dalam kondisi tangan tremor.*Teruntuk kamu, yang pernah menjadi matahariku. Archer.Matahari? Apa aku terlalu berlebihan ya? Ah, tapi menurutku sama sekali tidak. Kehadiranmu dalam hidupku memang sepenting itu. Duniaku menjadi berwarna dan hangat saat kamu hadir di sisiku, tapi menjadi gelap dan dingin ketika kamu menghilang.Sayang sekali aku hanya memiliki matahari, sehin
Archer sengaja pulang lebih awal sore ini. Rasanya ia tak dapat menahan rasa rindunya lagi untuk dua wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya.Setibanya di lobi Blossom Boutique, ia bergegas menaiki tangga sebab jika dia menunggu lift terlalu lama. Archer tidak melihat Dania di meja kerjanya. Ia pun membuka pintu ruangan Feli yang kebetulan tidak terkunci.Namun, apa yang Archer lihat saat pintu terbuka membuat darahnya seketika mendidih. Rahang Archer mendadak berubah mengeras. “Apa-apaan ini? Lepaskan istriku!”Suaranya yang lantang dan berat itu sontak membuat Feli menjauhkan diri dari Rafi. Kimberly yang sedang menyusun peralatan masak di kitchen set miliknya pun langsung menoleh pada sang ayah.“Papi!” seru anak itu sambil berlari menghampiri Archer.Raut muka Archer yang tegang pun seketika mencair, dia tersenyum pada Kimberly, memeluknya, menggendongnya lalu memberikan kecupan di kening dan pipi putrinya itu.“Papi, aku punya mainan baru dari Om Rafi. Bagus nggak?”Dada Arch
“Mami! Papi! Kenapa lama banget di dalamnya?!”Seruan melengking Kimberly yang diiringi ketukan pintu berkali-kali, membuat Archer terperanjat lalu berguling ke samping istrinya.“Shit,” umpatnya lirih sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Feli terkekeh melihat raut muka frustrasi di wajah suaminya itu. “Kan? Apa aku bilang tadi? Kena kan sekarang?” Ia bangkit duduk sembari membetulkan kancing pakaiannya yang sudah terlepas semua. Sementara ketukan di pintu terus berulang-ulang. “Iya, sebentar, Nak! Papi sama Mami kesitu!” seru Feli.Archer mendecak kesal. Ia terpaksa bangkit duduk. Satu telapak tangannya meraih pipi sang istri dan menatapnya dengan tatapan sayu. “Kita selesaikan di rumah nanti malam."“Aku nggak punya kesempatan untuk menolak, bukan?” Feli berdecak lidah, lantas menahan tangan Archer yang akan membantu memasangkan kancing kemejanya. “Nggak usah, ini biar aku saja. Kamu temui Kimmy, kasihan dia sendirian.”Ah, Archer jadi merasa bersalah sudah mengabaikan putrinya de
Feli rasa, sudah saatnya ia jujur mengenai perasaannya yang sesungguhnya. Archer berhak tahu. Apalagi saat ia melihat sorot mata Archer yang penuh harap, Feli jadi merasa tak tega untuk terus menggantungkan perasaannya.“Hm? Kenapa nggak jawab?” gumam Archer sembari menyelipkan helaian rambut Feli ke belakang telinga. “Apa sulit bagimu untuk mencintaiku, Fel?”Feli sedikit menunduk, belum jujur saja pipinya sudah terasa panas. Ia lantas menatap Archer dengan lekat. “Em… Archer, sebenarnya—”Ucapan Feli seketika terhenti saat ponsel Archer terdengar berdering.“Sunshine, tunggu sebentar,” ucap Archer, lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. “Ada apa malam-malam kepala cabang telepon?”“Ada yang penting kali.” Feli ikut melihat layar ponsel sang suami. “Angkat aja. Nggak mungkin malam-malam nelepon kalau nggak ada yang penting.”Archer mengangguk, mengiakan saran istrinya. Karena di sekitar mereka berisik, Archer lantas memindahkan Kimberly ke pangkuan ibunya lalu be
Jemari Feli bergetar. Wajahnya terlihat pucat memikirkan segala kemungkinan buruk yang terjadi kepada suaminya. Di tengah kepanikannya, ia berusaha untuk tetap berpikir jernih. Kemudian menghubungi Vicky, asisten pribadi Archer yang juga ikut ke Surabaya.Feli berjalan mondar-mandir sembari menggigit bibir bawah dengan raut muka khawatir. Ia mengumpat pelan ketika panggilan Vicky pun tidak terangkat.“Sayang, ayo kita pulang. Mama nggak akan ikut acaranya sampai—Fel? Ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah?” Leica yang semula berjalan dengan santai dan anggun, seketika terkejut dan melangkah tergesa menghampiri putrinya yang tengah menempelkan ponsel di telinga dan tampak gelisah.“Ma, Archer… Archer nggak bisa dihubungi.” Mata Feli berkaca-kaca, dia menatap layar ponselnya dan memainkannya, lalu menempelkannya lagi di telinganya.“Sebentar, sebentar. Kamu tenang dulu, Sayang.” Leica merangkul bahu Feli dengan penuh kebingungan. “Coba ceritakan sama Mama apa yang terjadi? Bukannya Arche
“Mas, kenapa kejadian seperti ini harus menimpa anak kita?”Axl tak bisa menjawab pertanyaan istrinya yang selama dalam perjalanan tak berhenti meneteskan air mata. Tak ada yang bisa Axl lakukan selain menggenggam tangan dan memeluk Gendarly untuk memberinya ketenangan.“Kita berdo’a saja, semoga Tuhan memberikan keselamatan pada Archer,” ujar Axl seadanya, pikirannya semrawut dan kacau, sehingga tak bisa berpikir jernih untuk mencari kata-kata lain selain kalimat tersebut.“Mas pikir dari tadi aku nggak berdo’a?” Gendarly menarik tangannya dari genggaman suaminya. “Mas! Setiap menit aku selalu berdo’a di dalam hati untuk keselamatan anak kita. Memangnya seperti Mas? Dari tadi kamu terlihat tenang-tenang saja seolah-olah nggak ada yang terjadi.”Axl menghela napas panjang sembari mengelus dada. “Memangnya Mas harus gimana? Nangis-nangis seperti kamu sampai seisi pesawat tahu kalau lelaki tua ini cengeng?”“Nggak gitu juga, Mas!” Raut muka Gendarly terlihat semakin keruh. Ia memalingkan
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”