Feli terperangah ketika mobil berhenti di parkiran bandara. Ia langsung menoleh dan menatap Archer dengan mata membulat.“Apa seseorang yang kamu temui baru saja datang dari luar negeri? Siapa di-Auwh!” Feli mengaduh ketika Archer tiba-tiba menyentil dahinya.“Sejak kapan kamu jadi kurang pintar begini, hem?”Feli mendelik. “Apa maksudmu?”Satu detik setelah melisankan pertanyaan itu kening Feli seketika berkerut saat melihat Dewi turun dari mobil Archer yang lain, yang terparkir di sampingnya. Lalu sang sopir menurunkan dua koper besar dan satu koper cabin dari bagasi mobil itu.“Mengerti sekarang?”Pertanyaan Archer yang diiringi usapan lembut di puncak kepalanya, membuat Feli menoleh lagi ke arah suaminya. “Maksudmu… kita akan pergi? Sekarang?”Archer mengangguk.“Ke mana?”“Ke salah satu kota di Timur Tengah yang ingin banget kamu kunjungi sejak dulu,” jawab Archer sembari menyelipkan helaian rambut Feli ke belakang telinga dan menatap wajahnya lamat-lamat.“Du…bai?” tanya Feli ra
Hembusan udara panas yang kering terasa menerpa wajah Feli ketika keluar dari bandara dan menghampiri sebuah mobil mewah yang telah menunggu mereka.Dari perkiraan cuaca yang Feli lihat di ponselnya, hari ini suhu udara di kota ini mencapai 39 derajat celcius. Suhu yang sangat panas bagi orang-orang yang berasal dari daerah tropis seperti mereka. Bahkan, Jakarta saja tak sampai sepanas ini.Archer berbicara dengan sopir berwajah khas India yang keluar dari mobil tersebut. Lantas memperkenalkan Feli dan Kimberly kepadanya. Sopir itu bernama Rajeev. Dia yang akan mengantar ke manapun mereka pergi selama berada di Dubai.“Wuaah….” Feli tak henti-hentinya berdecak kagum begitu melihat bangunan-bangunan artistik yang dilewati sepanjang perjalanan. Kimberly pun sama.Sampai-sampai Archer tertawa kecil melihat dua perempuan itu persis seperti orang dari kampung yang datang ke kota.Saat Archer melihat ke belakang, Dewi sibuk video call dengan keluarganya sambil mengarahkan kamera ke kiri dan
Matahari semakin menggelincir ke arah barat. Di bawah sana tampak jelas riak air laut yang terhempas angin. Namun, sayang, kali ini Feli belum bisa menikmati keindahan panorama di depan matanya itu. Hentakan Archer yang tak berujung, di belakangnya, membuat akal sehatnya hanya terpusat pada kenikmatan yang pria itu berikan.“Archer…,” lirih Feli disela-sela desahannya. Jari jemarinya tengah berusaha mencengkeram dinding kaca di hadapannya, tapi Feli tahu itu mustahil. Desahan saja seolah tak cukup untuk melampiaskan rasa luar biasa yang Archer berikan kepadanya lagi dan lagi.“Archer…,” desah Feli lagi.Archer mengangkat wajah dari ceruk leher sang istri. “Yes, Sunshine?” sahutnya dengan suara berat dan serak. Napasnya terasa memburu. “Maaf kalau kamu lelah, tapi aku nggak bisa berhenti.”Archer mengeratkan pelukannya pada perut rata Feli. Sedang satu tangan yang lain aktif menggoda setiap inci tubuh Feli dengan seduktif. Kulitnya terasa halus dan lembut. Melihat tubuh polos milik ist
“Apa yang kamu pikirkan?”“Huh?” Feli seketika menoleh begitu mendengar suara dan sentuhan telapak tangan Archer di puncak kepalanya. Pria itu baru kembali dari toilet. Feli lantas menggeleng. “Nggak. Nggak ada yang aku pikirkan.”“Lalu kenapa melamun, hem?” Archer menatap Feli dengan tatapan tak percaya.“Siapa yang melamun? Aku cuma lagi mandangin mereka.”Tampak kerutan di kening Archer. Ia mengikuti ke mana arah pandangan Feli tertuju. Detik itu juga ekspresi Archer berubah mengeras.Bagaimana tidak? Pemandangan yang Feli lihat adalah kumpulan para lelaki Arab yang memakai abaya putih dengan serban putih merah bermotif seperti kotak-kotak, melilit di kepala mereka. Ada sekitar empat lelaki di meja paling ujung café ini. Semuanya tampak muda dan tampan.Bukan hanya di sana, melainkan hampir di setiap sudut café berinterior perak luxury ini, ada pria berpenampilan seperti mereka.Dengan menukik sebelah alis, Archer menatap Feli kembali. “Kenapa? Kamu tertarik pada mereka?”“Iya.” Fe
Feli memasukkan tiram menggunakan sumpit ke dalam mulutnya dengan ragu-ragu. Ia mengerutkan kening, lalu menaikkan pandangannya dari piring putih berisi tiram di hadapannya, ke arah Archer.Feli lantas menjepit sumpit di antara kedua bibirnya yang mengatup, ia bergidik ngeri melihat Archer yang sejak tadi terus menerus menatapnya sembari tersenyum sendiri.“Kenapa? Kamu seperti melihat hantu saja, Fel,” gerutu Archer.“Kamu lebih menakutkan daripada hantu, Archer.” Sekali lagi Feli bergidik, lalu menjepit daging tiram berikutnya dengan sumpit dan memasukkannya lagi ke mulut. “Kenapa menatapku dan senyum-senyum terus, sih? Aku jadi takut tahu!”“Kamu cantik.”Uhuk!!!Feli tersedak. Tenggorokannya seketika terasa sakit hingga ia terbatuk-batuk.Archer panik melihatnya, ia segera menyerahkan air miliknya yang masih utuh. “Minum dulu.”Tanpa banyak berpikir, Feli langsung meneguk air itu sampai tenggorokannya terasa lega. Wajahnya sedikit memerah. Archer menyambar selembar tisu lalu menge
“Hentikan!”Archer dan wanita yang memakai dress merah menyala itu serentak menoleh ke arah Feli.“Sunshine, ada apa? Kenapa tiba-tiba teriak?” tanya Archer dengan raut muka penuh kebingungan.Sementara wanita bule itu sama sekali tak mengerti apa yang mereka berdua ucapkan barusan.Ditatap dengan tatapan penuh tanya oleh Archer dan wanita itu, Feli jadi gelagapan. Pipinya memerah. Antara malu dan geram melihat Archer diam saja saat wanita itu menyentuhnya.“Nggak, gak apa-apa,” kilah Feli.“Aku kepanasan dan pakaianku jadi basah, kamu bawa tisu?”Feli tak menyahut, perasaannya mendadak dongkol dan berharap pintu lift segera terbuka.“Pakaianmu masih kotor, sebagai permintaan maafku kau bisa menghubungiku di nomor ini.” Wanita itu menyerahkan selembar kartu nama kepada Archer. “Aku akan membawa pakaianmu ke binatu dan menggantinya dengan yang baru.”Archer menghela napas berat dan menerima kartu nama tersebut. “Ini tidak masalah bagiku. Lain waktu berhati-hatilah.”Raut muka Feli semak
Archer keluar dari kamar mandi sembari bersiul dan mengeringkan rambutnya yang basah, menggunakan handuk kecil. Bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambut halus yang tumbuh pada dada bidangnya.Pria itu melangkah penuh percaya diri ke arah ranjang meski tubuhnya hanya dibalut handuk putih sepinggang, yang bisa dengan mudah terlepas kapan saja.Ia mendaratkan bokongnya di tepian ranjang dengan hati-hati, seolah khawatir gerakannya akan membangunkan Feli, yang masih bergelung di bawah selimut. Wanita itu hanya terlihat kepalanya dan bahunya yang telanjang.“Fel, bangun,” bisik Archer. Suara dan sikapnya bertolak belakang. Ia membangunkan Feli tapi dengan suara sehalus hembusan angin, yang cukup mustahil bisa membuat Feli terbangun.“Ini sudah jam sembilan. Kamu pasti ngomel-ngomel kalau baru bangun jam segini,” bisik Archer lagi.Feli tetap bergeming. Napasnya terdengar teratur.Archer lantas terkekeh sendiri melihatnya. Akhirnya ia bangkit setelah sebelumnya mengecup pundak polos Fel
Feli terdiam. Ia bisa membaca isi pesan Eden melalui ujung matanya. Dan Archer pun hanya diam. Feli jadi penasaran langkah apa yang akan pria itu ambil selanjutnya. Jika memang Archer sudah benar-benar melupakan Belvina… maka Feli pikir, Archer akan menghiraukan pesan tersebut.Namun yang terjadi, ibu jari Archer malah mengetik pesan balasan untuk Eden. Kali ini Feli tidak bisa membacanya dengan jelas. Sebab pria itu sedikit menjauhkan ponsel darinya, yang membuat Feli mendadak dongkol.“Archer, ayo kita lanjut jalannya.”“Hmm….”Hmm?Pria itu hanya menanggapinya dengan gumaman? Bahkan tanpa melirik Feli sama sekali?Raut muka Feli terlihat semakin suram. Tanpa menghiraukan Archer lagi, ia segera menyeret langkahnya dengan cepat, meninggalkan Archer. Menyalip di antara kerumunan para mahasiswa yang sedang berlibur.Setelah cukup jauh berjalan, Feli pun tercenung. Archer tidak mengejarnya. Pria itu tidak sadar ia pergi dan lebih mementingkan kondisi Belvina di tanah air.Feli mengira A