Feli terdiam. Ia bisa membaca isi pesan Eden melalui ujung matanya. Dan Archer pun hanya diam. Feli jadi penasaran langkah apa yang akan pria itu ambil selanjutnya. Jika memang Archer sudah benar-benar melupakan Belvina… maka Feli pikir, Archer akan menghiraukan pesan tersebut.Namun yang terjadi, ibu jari Archer malah mengetik pesan balasan untuk Eden. Kali ini Feli tidak bisa membacanya dengan jelas. Sebab pria itu sedikit menjauhkan ponsel darinya, yang membuat Feli mendadak dongkol.“Archer, ayo kita lanjut jalannya.”“Hmm….”Hmm?Pria itu hanya menanggapinya dengan gumaman? Bahkan tanpa melirik Feli sama sekali?Raut muka Feli terlihat semakin suram. Tanpa menghiraukan Archer lagi, ia segera menyeret langkahnya dengan cepat, meninggalkan Archer. Menyalip di antara kerumunan para mahasiswa yang sedang berlibur.Setelah cukup jauh berjalan, Feli pun tercenung. Archer tidak mengejarnya. Pria itu tidak sadar ia pergi dan lebih mementingkan kondisi Belvina di tanah air.Feli mengira A
“Mom…,” lirih Feli saat ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah Gendarly, yang tengah duduk di sofa samping ranjang pasien. “Aku… kenapa ada di sini? Ini di mana?”“Syukurlah kamu sudah sadar, Fel.” Gendarly tersenyum lembut, lalu menyingkirkan helaian rambut Feli di dahi. “Tadi kamu pingsan waktu di taman.”“Pingsan?”“Hm-hm.”Tampak kerutan di kening Feli. Kemudian ia ingat kalau tadi ia haus dan kepalanya mendadak pening, setelah itu ia tak ingat apapun lagi.“Dokter bilang kamu dehidrasi. Mungkin tubuhmu syok dengan cuaca di sini, jadi harus lebih banyak lagi minum air putihnya ya?”“Iya, Mom.”Pada saat yang sama pintu ruangan dibuka dari luar. Feli berharap itu Archer, tapi ia harus menelan kekecewaannya ketika yang muncul adalah ayah mertuanya. Lalu tak lama kemudian disusul Kimberly dan Aurora.Archer… apa sampai saat ini pria itu masih belum menemuinya? Masih asyik berhubungan dengan Eden untuk menanyai kabar Belvina?Feli semakin tak mengerti kenapa pera
“Kejadian malam itu masih aku ingat dengan jelas, bahkan aku masih bisa merasakan bagaimana sakitnya perutku saat mereka memukulnya. Aku gagal melindungi dia, Archer," lirih Feli, yang membuat Archer tercenung seketika.Sudut hati Archer terasa bagai diremas-remas. Nyeri hingga ke dasar hatinya. Semua ini mungkin terlalu cepat bagi Feli. Kebahagiaan membuncah yang Archer rasakan saat mendengar kabar kehamilan Feli dari dokter, tidak serta merta Feli akan merasakannya. Archer baru sadar kalau wanita ini mungkin saja memiliki trauma akan kejadian malam itu.“Aku nggak bisa membiarkan dia tumbuh di rahimku, Archer.” Air mata Feli tiba-tiba menetes tanpa dapat ia cegah. Namun dengan cepat Feli mengelapnya lagi dengan punggung tangan.Archer meraih tangan itu, lalu menangkupnya dengan kedua telapak tangannya yang lebar. “Lalu apa yang mau kamu lakukan sekarang, hem?” tanya Archer dengan suara lembut, yang membuat Feli seketika terdiam. “Menggugurkannya?”“Nggak!” sanggah Feli sembari mengg
Dua minggu kemudian.“Fel, stop! Stop! Jangan lakukan itu!”Feli mengurungkan niatnya yang akan menaiki tangga. Ia menoleh, menatap Archer dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa nggak boleh? Aku cuma mau masangin balon hurufnya ke situ, Archer.”“Aku bilang nggak boleh, ya nggak boleh.” Archer berdecak lidah. Kemudian menaruh gulungan lampu hias yang ia pegang, ke atas meja. “Sini! Kamu duduk aja di sini dan jauhi tangga itu.”“Aku bisa melakukannya sendiri. Kita kan lagi bagi tugas biar cepat selesai. Nanti kalau Kimmy keburu minta pulang gimana?”“Jangan ngeyel.” Archer menyentil dahi Feli dengan amat pelan, yang membuat Feli cemberut. “Selama kita belum jemput ke rumah mama, Kimmy pasti nggak ngotot ingin pulang.”Archer mengambil balon huruf H dari tangan Feli, kemudian menarik tangan istrinya itu agar ikut dengannya ke sofa. “Duduk. Jangan banyak bergerak, Sunshine. Ingat di perutmu ada anakku sekarang.”Mata Feli merotasi malas. “Aku wanita hamil, Archer. Bukan orang pesakitan yang
Bibir mungil Kimberly terlihat cemberut saat Feli dan Archer menjemputnya ke rumah Nicko. Anak itu menatap kedua orang tuanya dengan tatapan seakan-akan dia sudah siap menangis.“Kim, kenapa, hem? Papi sama mami jemputnya kelamaan ya?” Archer berjongkok di depan Kimberly dan menggenggam kedua tangan mungilnya.Kimberly tak menjawab. Ia membuang muka ke arah lain, membuat kedua orang tuanya saling tatap, merasa heran.Feli ikut berjongkok di samping anak berambut dikucir kuda poni itu. “Sayang, mau cerita sama Mami ada apa?”Kimberly tetap membisu.Feli akhirnya berdiri dan menghampiri Leica yang tengah menyeruput teh sambil membaca majalah fashion di meja bar.“Ma, apa Mama tahu Kimmy kenapa? Kami jemputnya kelamaan, ya?” tanya Feli dengan perasaan bersalah. Andai saja tadi Archer tidak memintanya untuk bercinta terlebih dulu, mereka pasti akan sampai ke rumah ini satu jam yang lalu.Leica menutup majalah dan menaruhnya di samping cangkir. Ia menatap Feli sembari terkekeh. “Anakmu mar
“Remote? Papi ngasih aku remote ini? Aku nggak suka remote!” Bibir Kimberly makin maju satu inci. Dia tidak suka hadiah dari ayahnya Archer terkekeh. “Kamu akan tahu ini kunci apa kalau ikut Papi. Ayo.”Ia menuntun Kimberly menuju garasi yang ada di lantai terbawah, letaknya ada di bawah tanah. Feli mengikutinya di belakang mereka. Garasi itu terlihat mewah, interiornya terbuat dari granit putih. lampunya menyala terang. Mereka berjalan melewati deretan mobil milik Archer.“Papi, kok mobil itu sama dengan mobil mainan yang Papi kasih ke aku?” Suara Kimberly menggema, ia menunjuk mini cooper berwarna pink putih yang terparkir di paling ujung.“Coba tekan remote-nya,” titah Archer.Kimberly menurut. Mini cooper itu berbunyi ketika Kimberly menekan remote pemberian Archer. Anak itu melongo.“Kok nyala sih, Pi? Ini kunci mobil ini, ya?”“Hm-hm.” Archer mengangguk. mereka berhenti di samping mobil tersebut. “Hadiah yang sesungguhnya dari Papi untukmu adalah mobil ini.”“Untukku?”“Ya, unt
“Ya Tuhan… seandainya saja semalam kamu membiarkan aku tidur, pagi ini aku nggak akan kesiangan, Archer,” gerutu Feli sambil keluar dari kamar mandi dengan tergesa-gesa.Jam delapan pagi ini ia ada meeting dengan klien penting. Sedangkan saat ini sudah pukul tujuh, ia baru selesai mandi. Semuanya gara-gara Archer yang semalam tak bisa menahan gairahnya, yang membuat Feli akhirnya kurang tidur dan kesiangan.“Sabar, Sunshine. Pelan-pelan saja jangan terburu-buru. Sini aku bantu mengeringkan rambut.” Archer meringis melihat Feli yang melepas handuk di hadapannya hingga tubuhnya polos sempurna. Ia harus menekan gairahnya yang terpancing gara-gara melihat pemandangan itu.“Gimana bisa aku pelan-pelan, Archer? Telat sedikit saja aku bisa kehilangan proyek besar ini.” Feli memakai celana dalam dan bra, tak peduli jika di ruangan itu ada Archer. Ia sudah tak punya banyak waktu.“Memangnya klien kamu itu siapa, hem? Barangkali aku kenal.” Archer mengambil hairdryer dari dalam lemari kosmetik.
Meeting hari itu berlangsung lancar dan teratur sesuai dengan harapan Feli. Kini ia mengantarkan kliennya yang ditemani asistennya, keluar dari ruangan meeting. “Terima kasih atas kesempatan yang Anda berikan Mr. Han. Suatu kehormatan bagi saya dapat bekerjasama dengan pengusaha profesional seperti Anda.” Feli menaruh tangan kirinya di depan perut saat ia menyalami pria bermata sipit dan berambut setengah botak itu. “Sama-sama, Nona Felicia. Saya senang bisa berdiskusi dengan designer berbakat, muda dan cantik sepertimu.” Mr. Han tertawa, tawa khas pria matang yang terdengar formal. “Ngomong-ngomong, saya punya anak laki-laki yang baru menyelesaikan program doktor di Harvard. Dia sedang mencari calon istri. Saya rasa… kamu adalah tipe yang dia cari-cari. Dia pasti akan langsung menyukaimu.” Feli tersenyum, pipinya tersipu-sipu. “Ah… itu… terima kasih pujiannya Mr. Han, tapi saya berharap suami saya tidak mendengar hal ini, kalau dia tahu, kemungkinan dia akan cemburu,” kelakar Feli
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”