Bibir mungil Kimberly terlihat cemberut saat Feli dan Archer menjemputnya ke rumah Nicko. Anak itu menatap kedua orang tuanya dengan tatapan seakan-akan dia sudah siap menangis.“Kim, kenapa, hem? Papi sama mami jemputnya kelamaan ya?” Archer berjongkok di depan Kimberly dan menggenggam kedua tangan mungilnya.Kimberly tak menjawab. Ia membuang muka ke arah lain, membuat kedua orang tuanya saling tatap, merasa heran.Feli ikut berjongkok di samping anak berambut dikucir kuda poni itu. “Sayang, mau cerita sama Mami ada apa?”Kimberly tetap membisu.Feli akhirnya berdiri dan menghampiri Leica yang tengah menyeruput teh sambil membaca majalah fashion di meja bar.“Ma, apa Mama tahu Kimmy kenapa? Kami jemputnya kelamaan, ya?” tanya Feli dengan perasaan bersalah. Andai saja tadi Archer tidak memintanya untuk bercinta terlebih dulu, mereka pasti akan sampai ke rumah ini satu jam yang lalu.Leica menutup majalah dan menaruhnya di samping cangkir. Ia menatap Feli sembari terkekeh. “Anakmu mar
“Remote? Papi ngasih aku remote ini? Aku nggak suka remote!” Bibir Kimberly makin maju satu inci. Dia tidak suka hadiah dari ayahnya Archer terkekeh. “Kamu akan tahu ini kunci apa kalau ikut Papi. Ayo.”Ia menuntun Kimberly menuju garasi yang ada di lantai terbawah, letaknya ada di bawah tanah. Feli mengikutinya di belakang mereka. Garasi itu terlihat mewah, interiornya terbuat dari granit putih. lampunya menyala terang. Mereka berjalan melewati deretan mobil milik Archer.“Papi, kok mobil itu sama dengan mobil mainan yang Papi kasih ke aku?” Suara Kimberly menggema, ia menunjuk mini cooper berwarna pink putih yang terparkir di paling ujung.“Coba tekan remote-nya,” titah Archer.Kimberly menurut. Mini cooper itu berbunyi ketika Kimberly menekan remote pemberian Archer. Anak itu melongo.“Kok nyala sih, Pi? Ini kunci mobil ini, ya?”“Hm-hm.” Archer mengangguk. mereka berhenti di samping mobil tersebut. “Hadiah yang sesungguhnya dari Papi untukmu adalah mobil ini.”“Untukku?”“Ya, unt
“Ya Tuhan… seandainya saja semalam kamu membiarkan aku tidur, pagi ini aku nggak akan kesiangan, Archer,” gerutu Feli sambil keluar dari kamar mandi dengan tergesa-gesa.Jam delapan pagi ini ia ada meeting dengan klien penting. Sedangkan saat ini sudah pukul tujuh, ia baru selesai mandi. Semuanya gara-gara Archer yang semalam tak bisa menahan gairahnya, yang membuat Feli akhirnya kurang tidur dan kesiangan.“Sabar, Sunshine. Pelan-pelan saja jangan terburu-buru. Sini aku bantu mengeringkan rambut.” Archer meringis melihat Feli yang melepas handuk di hadapannya hingga tubuhnya polos sempurna. Ia harus menekan gairahnya yang terpancing gara-gara melihat pemandangan itu.“Gimana bisa aku pelan-pelan, Archer? Telat sedikit saja aku bisa kehilangan proyek besar ini.” Feli memakai celana dalam dan bra, tak peduli jika di ruangan itu ada Archer. Ia sudah tak punya banyak waktu.“Memangnya klien kamu itu siapa, hem? Barangkali aku kenal.” Archer mengambil hairdryer dari dalam lemari kosmetik.
Meeting hari itu berlangsung lancar dan teratur sesuai dengan harapan Feli. Kini ia mengantarkan kliennya yang ditemani asistennya, keluar dari ruangan meeting. “Terima kasih atas kesempatan yang Anda berikan Mr. Han. Suatu kehormatan bagi saya dapat bekerjasama dengan pengusaha profesional seperti Anda.” Feli menaruh tangan kirinya di depan perut saat ia menyalami pria bermata sipit dan berambut setengah botak itu. “Sama-sama, Nona Felicia. Saya senang bisa berdiskusi dengan designer berbakat, muda dan cantik sepertimu.” Mr. Han tertawa, tawa khas pria matang yang terdengar formal. “Ngomong-ngomong, saya punya anak laki-laki yang baru menyelesaikan program doktor di Harvard. Dia sedang mencari calon istri. Saya rasa… kamu adalah tipe yang dia cari-cari. Dia pasti akan langsung menyukaimu.” Feli tersenyum, pipinya tersipu-sipu. “Ah… itu… terima kasih pujiannya Mr. Han, tapi saya berharap suami saya tidak mendengar hal ini, kalau dia tahu, kemungkinan dia akan cemburu,” kelakar Feli
Bukan sesuatu yang mudah memaafkan orang yang telah menyakitinya bertahun-tahun, bahkan sampai membuat hatinya hancur berantakan. Feli tidak menolak, tapi juga tidak menjawab permintaan maaf Belvina. Ia hanya langsung pergi dari hadapan wanita itu tanpa mengucapkan satu patah katapun.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Suara lembut Archer mengeluarkan Feli dari ingatannya tentang hari kemarin.Feli menoleh ke samping. Ia tersenyum kecil pada Archer yang menghampirinya dengan langkah tegap. Pria itu terlihat semakin maskulin dengan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu di lehernya.“Cuma lagi memandangi taman aja, kok.” Feli menunjuk taman hotel yang ada di bawah mereka. Sudah sepuluh menit ia berdiam diri di sini, di balkon hotel bintang lima ini.Archer menoleh ke arah yang ditunjuk Feli sekilas. “Apapun itu yang sedang kamu pikirkan, aku harap kamu bukan memikirkan laki-laki lain.”Feli memutar bola matanya malas. Rupanya Archer tidak percaya dengan jawabannya barusan. “Acaranya mau dimula
“Emily, kenalkan, ini Feli istriku.”Feli yang sudah merasa kecewa pun berjuang keras untuk menyunggingkan senyuman simpul. Di saat seperti ini ia dituntut untuk profesional.Archer lalu menoleh ke arah Feli. “Fel, ini Emily, klienku.”Oh, klien? Hebat ya, klien tapi bisa sampai cium pipi kiri dan kanan.Feli ingin sekali menyuarakan kalimat tersebut di depan Archer dan Emily. Namun ia masih punya rasa malu. Ia bukan anak kecil yang asal tabrak saja demi perasaannya sendiri.Seulas senyum simpul tersungging di bibir Feli. Ia menjulurkan tangan kanan dan menjabat tangan Emily yang terulur lebih dulu.“Hai, Emily. Senang bertemu denganmu,” dusta Feli. Ia tetap harus profesional, bukan?“Oh? Ya, salam kenal, Feli. Saya dan suamimu cukup akrab setelah bekerjasama dalam beberapa proyek." Bibir merah cabai Emily tersungging amat manis. Lalu mengerutkan kening, mengamati Feli cukup lama, yang membuat Feli merasa risih. “Archer, bukankah sebelumnya aku pernah bertemu dengan istrimu? Tapi… kura
“Feli, kamu masih di dalam?!”Seruan Archer yang baru saja membuka pintu toilet, membuat mata Feli perlahan terbuka. Tidak. Feli tidak tidur. Ia hanya masih berusaha menghilangkan mualnya dengan mengatur napas.“Aaa! Kenapa ada laki-laki masuk ke toilet perempuan?!” seru seseorang yang sedang mencuci tangan di wastafel.“Maaf, saya sedang mencari istri saya.”Bunyi air kran berhenti. Feli tersenyum kecut mendengar suara Archer yang terdengar panik. Namun Feli enggan keluar untuk menemuinya.“Oh, istri Bapak lagi hamil, ya?”“Ibu tahu?”“Iya, soalnya tadi saya dengar ada yang muntah-muntah di situ. Saya rasa belum keluar.”Feli memutar bola matanya ketika derap langkah kaki Archer terdengar mendekat. Disusul dengan ketukan di pintu berulang kali.“Sunshine, kamu di dalam?” lirih Archer, “kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?”Nggak kenapa-napa gimana? Hatinya yang kecewa dan sakit! Feli menggerutu dalam hati, lalu berusaha bangkit berdiri.“Fel, please… aku tahu kamu di dalam. Kamu dengar suar
Dengan perasaan kacau, Archer kembali ke ballroom. Pandangannya mengedar ke sekeliling ruangan, lalu terhenti pada sosok wanita berambut pirang yang duduk di salah satu meja, tengah berbincang dengan seorang pria. Archer menyeret langkah mendekatinya.Emily sudah menyadari kedatangan Archer, wanita itu menghentikan obrolannya dan tersenyum ke arah Archer.“Emily, bisa kita bicara sebentar?”“Oke.” Emily bicara pada pria di sebelahnya sejenak, lalu beranjak dari kursi dan mengikuti langkah Archer ke tempat yang lebih sepi. “Ada apa? Nggak mungkin membicarakan pekerjaan di saat seperti ini, ‘kan?”“Ini tentang istriku,” tukas Archer dengan cepat, ekspresi wajahnya tampak datar, tak seramah biasanya ketika mengobrol dengan klien. “Maksudku Feli. Hanya dia satu-satunya istriku.”“Oh, ya. Jadi… apa yang dikatakan wanita bernama Belvina waktu itu nggak benar?”“Belvina yang mengakui itu tapi kenapa kamu bilang kalau aku yang mengakuinya?” Archer mengusap wajahnya dengan gusar. “Maksudku di