Matahari semakin menggelincir ke arah barat. Di bawah sana tampak jelas riak air laut yang terhempas angin. Namun, sayang, kali ini Feli belum bisa menikmati keindahan panorama di depan matanya itu. Hentakan Archer yang tak berujung, di belakangnya, membuat akal sehatnya hanya terpusat pada kenikmatan yang pria itu berikan.“Archer…,” lirih Feli disela-sela desahannya. Jari jemarinya tengah berusaha mencengkeram dinding kaca di hadapannya, tapi Feli tahu itu mustahil. Desahan saja seolah tak cukup untuk melampiaskan rasa luar biasa yang Archer berikan kepadanya lagi dan lagi.“Archer…,” desah Feli lagi.Archer mengangkat wajah dari ceruk leher sang istri. “Yes, Sunshine?” sahutnya dengan suara berat dan serak. Napasnya terasa memburu. “Maaf kalau kamu lelah, tapi aku nggak bisa berhenti.”Archer mengeratkan pelukannya pada perut rata Feli. Sedang satu tangan yang lain aktif menggoda setiap inci tubuh Feli dengan seduktif. Kulitnya terasa halus dan lembut. Melihat tubuh polos milik ist
“Apa yang kamu pikirkan?”“Huh?” Feli seketika menoleh begitu mendengar suara dan sentuhan telapak tangan Archer di puncak kepalanya. Pria itu baru kembali dari toilet. Feli lantas menggeleng. “Nggak. Nggak ada yang aku pikirkan.”“Lalu kenapa melamun, hem?” Archer menatap Feli dengan tatapan tak percaya.“Siapa yang melamun? Aku cuma lagi mandangin mereka.”Tampak kerutan di kening Archer. Ia mengikuti ke mana arah pandangan Feli tertuju. Detik itu juga ekspresi Archer berubah mengeras.Bagaimana tidak? Pemandangan yang Feli lihat adalah kumpulan para lelaki Arab yang memakai abaya putih dengan serban putih merah bermotif seperti kotak-kotak, melilit di kepala mereka. Ada sekitar empat lelaki di meja paling ujung café ini. Semuanya tampak muda dan tampan.Bukan hanya di sana, melainkan hampir di setiap sudut café berinterior perak luxury ini, ada pria berpenampilan seperti mereka.Dengan menukik sebelah alis, Archer menatap Feli kembali. “Kenapa? Kamu tertarik pada mereka?”“Iya.” Fe
Feli memasukkan tiram menggunakan sumpit ke dalam mulutnya dengan ragu-ragu. Ia mengerutkan kening, lalu menaikkan pandangannya dari piring putih berisi tiram di hadapannya, ke arah Archer.Feli lantas menjepit sumpit di antara kedua bibirnya yang mengatup, ia bergidik ngeri melihat Archer yang sejak tadi terus menerus menatapnya sembari tersenyum sendiri.“Kenapa? Kamu seperti melihat hantu saja, Fel,” gerutu Archer.“Kamu lebih menakutkan daripada hantu, Archer.” Sekali lagi Feli bergidik, lalu menjepit daging tiram berikutnya dengan sumpit dan memasukkannya lagi ke mulut. “Kenapa menatapku dan senyum-senyum terus, sih? Aku jadi takut tahu!”“Kamu cantik.”Uhuk!!!Feli tersedak. Tenggorokannya seketika terasa sakit hingga ia terbatuk-batuk.Archer panik melihatnya, ia segera menyerahkan air miliknya yang masih utuh. “Minum dulu.”Tanpa banyak berpikir, Feli langsung meneguk air itu sampai tenggorokannya terasa lega. Wajahnya sedikit memerah. Archer menyambar selembar tisu lalu menge
“Hentikan!”Archer dan wanita yang memakai dress merah menyala itu serentak menoleh ke arah Feli.“Sunshine, ada apa? Kenapa tiba-tiba teriak?” tanya Archer dengan raut muka penuh kebingungan.Sementara wanita bule itu sama sekali tak mengerti apa yang mereka berdua ucapkan barusan.Ditatap dengan tatapan penuh tanya oleh Archer dan wanita itu, Feli jadi gelagapan. Pipinya memerah. Antara malu dan geram melihat Archer diam saja saat wanita itu menyentuhnya.“Nggak, gak apa-apa,” kilah Feli.“Aku kepanasan dan pakaianku jadi basah, kamu bawa tisu?”Feli tak menyahut, perasaannya mendadak dongkol dan berharap pintu lift segera terbuka.“Pakaianmu masih kotor, sebagai permintaan maafku kau bisa menghubungiku di nomor ini.” Wanita itu menyerahkan selembar kartu nama kepada Archer. “Aku akan membawa pakaianmu ke binatu dan menggantinya dengan yang baru.”Archer menghela napas berat dan menerima kartu nama tersebut. “Ini tidak masalah bagiku. Lain waktu berhati-hatilah.”Raut muka Feli semak
Archer keluar dari kamar mandi sembari bersiul dan mengeringkan rambutnya yang basah, menggunakan handuk kecil. Bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambut halus yang tumbuh pada dada bidangnya.Pria itu melangkah penuh percaya diri ke arah ranjang meski tubuhnya hanya dibalut handuk putih sepinggang, yang bisa dengan mudah terlepas kapan saja.Ia mendaratkan bokongnya di tepian ranjang dengan hati-hati, seolah khawatir gerakannya akan membangunkan Feli, yang masih bergelung di bawah selimut. Wanita itu hanya terlihat kepalanya dan bahunya yang telanjang.“Fel, bangun,” bisik Archer. Suara dan sikapnya bertolak belakang. Ia membangunkan Feli tapi dengan suara sehalus hembusan angin, yang cukup mustahil bisa membuat Feli terbangun.“Ini sudah jam sembilan. Kamu pasti ngomel-ngomel kalau baru bangun jam segini,” bisik Archer lagi.Feli tetap bergeming. Napasnya terdengar teratur.Archer lantas terkekeh sendiri melihatnya. Akhirnya ia bangkit setelah sebelumnya mengecup pundak polos Fel
Feli terdiam. Ia bisa membaca isi pesan Eden melalui ujung matanya. Dan Archer pun hanya diam. Feli jadi penasaran langkah apa yang akan pria itu ambil selanjutnya. Jika memang Archer sudah benar-benar melupakan Belvina… maka Feli pikir, Archer akan menghiraukan pesan tersebut.Namun yang terjadi, ibu jari Archer malah mengetik pesan balasan untuk Eden. Kali ini Feli tidak bisa membacanya dengan jelas. Sebab pria itu sedikit menjauhkan ponsel darinya, yang membuat Feli mendadak dongkol.“Archer, ayo kita lanjut jalannya.”“Hmm….”Hmm?Pria itu hanya menanggapinya dengan gumaman? Bahkan tanpa melirik Feli sama sekali?Raut muka Feli terlihat semakin suram. Tanpa menghiraukan Archer lagi, ia segera menyeret langkahnya dengan cepat, meninggalkan Archer. Menyalip di antara kerumunan para mahasiswa yang sedang berlibur.Setelah cukup jauh berjalan, Feli pun tercenung. Archer tidak mengejarnya. Pria itu tidak sadar ia pergi dan lebih mementingkan kondisi Belvina di tanah air.Feli mengira A
“Mom…,” lirih Feli saat ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah Gendarly, yang tengah duduk di sofa samping ranjang pasien. “Aku… kenapa ada di sini? Ini di mana?”“Syukurlah kamu sudah sadar, Fel.” Gendarly tersenyum lembut, lalu menyingkirkan helaian rambut Feli di dahi. “Tadi kamu pingsan waktu di taman.”“Pingsan?”“Hm-hm.”Tampak kerutan di kening Feli. Kemudian ia ingat kalau tadi ia haus dan kepalanya mendadak pening, setelah itu ia tak ingat apapun lagi.“Dokter bilang kamu dehidrasi. Mungkin tubuhmu syok dengan cuaca di sini, jadi harus lebih banyak lagi minum air putihnya ya?”“Iya, Mom.”Pada saat yang sama pintu ruangan dibuka dari luar. Feli berharap itu Archer, tapi ia harus menelan kekecewaannya ketika yang muncul adalah ayah mertuanya. Lalu tak lama kemudian disusul Kimberly dan Aurora.Archer… apa sampai saat ini pria itu masih belum menemuinya? Masih asyik berhubungan dengan Eden untuk menanyai kabar Belvina?Feli semakin tak mengerti kenapa pera
“Kejadian malam itu masih aku ingat dengan jelas, bahkan aku masih bisa merasakan bagaimana sakitnya perutku saat mereka memukulnya. Aku gagal melindungi dia, Archer," lirih Feli, yang membuat Archer tercenung seketika.Sudut hati Archer terasa bagai diremas-remas. Nyeri hingga ke dasar hatinya. Semua ini mungkin terlalu cepat bagi Feli. Kebahagiaan membuncah yang Archer rasakan saat mendengar kabar kehamilan Feli dari dokter, tidak serta merta Feli akan merasakannya. Archer baru sadar kalau wanita ini mungkin saja memiliki trauma akan kejadian malam itu.“Aku nggak bisa membiarkan dia tumbuh di rahimku, Archer.” Air mata Feli tiba-tiba menetes tanpa dapat ia cegah. Namun dengan cepat Feli mengelapnya lagi dengan punggung tangan.Archer meraih tangan itu, lalu menangkupnya dengan kedua telapak tangannya yang lebar. “Lalu apa yang mau kamu lakukan sekarang, hem?” tanya Archer dengan suara lembut, yang membuat Feli seketika terdiam. “Menggugurkannya?”“Nggak!” sanggah Feli sembari mengg
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”