Tanpa menanggapi lagi ucapan Mayang, Adnan segera beranjak keluar kamar. Pria itu melangkah tergesa-gesa menuju ruang kerja yang terkunci. Setelah masuk, ayahanda Marinka tersebut langsung memeriksa ke bawah meja. Dia mengangkat penutup dengan cantelan besi, tempat dirinya menyembunyikan brankas hasil curian dari kamar Reswara. Benar saja, ‘peti harta karun’ itu tidak ada di sana.
“Aarrgghh! Kurang ajar!” gerutu Adnan kesal. Dia lalu memeriksa CCTV beberapa jam yang lalu. Namun, dirinya tak melihat pergerakan Laila dan Widura dalam rekaman. “Percuma kalian mematikan sistem keamanan. Ulah kalian berdua tetap ketahuan. Dasar orang-orang bodoh!” geram pria itu.
Karena tak ada lagi yang bisa dilakukan di sana, Adnan kembali ke kamar untuk menemui Mayang. “Brankasnya memang sudah hilang dari bawah meja. Sialan!” gerutu adik kandung Reswara tersebut. Dia berkali-kali mendengkus kesal.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Mayang.
Sekitar tiga jam telah berlalu. Mayang dan Adnan telah mencari ke setiap sudut kamar Laila. Namun, keduanya tak dapat menemukan brankas yang mereka cari sejak tadi. Mayang bahkan sudah terlihat putus asa. “Bagaimana ini, Pa? Mama takut Marinka dan Laila keburu pulang,” ucap wanita paruh baya itu gelisah.“Kita sudahi saja. Benda itu pasti tidak ada di sini. Jika ada, pasti sudah kita temukan sejak tadi,” balas Adnan sambil berkacak pinggang. Dia juga mulai lelah.“Jadi, bagaimana?” tanya Mayang dengan raut kecewa.“Kita atur rencana lagi. Jangan ambil risiko dengan tetap berada di sini,” jawab Adnan. Pria paruh baya tersebut memastikan, bahwa tak ada satu pun benda yang bergeser dari tempatnya. Setelah dirasa aman, barulah dia mengajak Mayang keluar d
Laila bergerak mundur. Dia bergegas menuju kamar Widura, untuk memberitahukan apa yang terjadi dan dirinya dengar barusan. Namun, ternyata Widura tak ada di sana. Entah ke mana pria paruh baya itu. Karena tak berhasil bertemu dengan Widura, Laila kembali ke kamarnya. Dia masuk ke kamar mandi. lalu membuka meja wastafel. Laila mengeluarkan tumpukan handuk serta peralatan mandi dari dalam sana. Seperti yang pernah Widura katakan kemarin, 'Tuhan bersama orang baik'. Meja wastafel seakan luput dari penggeledahan Mayang dan Adnan. Dengan tergesa-gesa, Laila mengeluarkan brankas dari sana. Dia membawa benda itu ke ruang utama, lalu memasukkannya ke koper yang sudah diambil dari walk in closet. Berhubung brankas tadi berukuran tidak terlalu besar, sehingga sangat mudah dikemas.Setelah siap, Laila kemudian menghubungi Aries menunggu di dekat mobil. Dia menyuruh mantan suaminya tersebut agar datang ke kamar. Selang beberapa saat, Aries sudah berada di depan kamar Laila. Dia langsung diserah
Pramoedya berdiri mematung, dengan telepon genggam yang masih menempel di dekat telinga. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan Laila. Pramoedya hanya mendengar suara tak beraturan, yang kemudian diakhiri dengan teriakan panjang wanita itu. Setelahnya, semua lenyap dari pendengaran.“Laila?” Pria tampan tersebut menggumamkan nama Laila.Pramoedya segera meraih T-Shirt lengan pendek dari kasur. Setelah berpakaian, dia bergegas keluar kamar sambil membawa kunci mobil. Tujuan utamanya adalah kediaman Keluarga Hadyan. Sambil mengemudikan mobilnya dalam kecepatan cukup tinggi, pria tampan berdarah Belanda tadi menghubungi seseorang. “Apa Laila ada di rumah?” tanyanya.“Tidak, pak. Dia pergi sejak tadi, tapi belum kembali hingga sekarang,” jawab seseorang dari seberang sana.Pramoedya tak banyak bertanya lagi. Dia langsung mengakhiri panggilan. Sesaat kemudian, pria itu memelankan laju kendaraan, melihat keramaian
Malam itu, Pramoedya menemani Laila berada di klinik. Keesokan harinya, barulah mereka pergi dari sana, setelah sebelumnya melunasi seluruh biaya administrasi. Seperti yang sudah disepakati semalam, Laila tak pulang ke kediaman Keluarga Hadyan. Dia memilih ikut Pramoedya ke rumah pria tampan tersebut. Pramoedya menghentikan laju kendaraan di halaman kediaman mewahnya. Dia bergegas keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Laila. Saat Pramoedya bermaksud membopong wanita cantik itu, dengan cepat Laila menolaknya. “Aku masih bisa berjalan sendiri,” ujar Laila ketus. Dia keluar dari mobil, tanpa memedulikan Pramoedya yang hanya menanggapi dengan hembusan napas pendek. “Nona besar,” gumam Pramoedya, seraya mengikuti Laila yang sudah menaiki undakan anak tangga menuju teras. “Aku lupa siapa tuan rumahnya di sini,” sindir pria tampan berdarah Belanda itu, menanggapi sikap Laila yang mendahuluinya ke pintu. Laila tertegun. Dia baru sadar, bahwa saat ini sedang berada di kediaman Pra
Laila langsung tertegun mendengar nama Marinka. Dia menoleh kepada Pramoedya, lalu mengalihkan pandangan pada tangan yang tengah digenggam pria itu. “Temui dia,” ucapnya, seraya berusaha melepaskan tangan Pramoedya.Pramoedya tak segera menanggapi. Dia memberi isyarat kepada asisten rumah tangga yang tadi memberi laporan, agar meninggalkannya berdua dengan Laila. Setelah pelayan tadi berlalu dari sana, Pramoedya memusatkan perhatian kepada wanita cantik yang tampak sedikit merajuk itu.“Kuharap, ini merupakan bagian dari rasa cemburu,” ujar Pramoedya diiringi senyum kalemLaila tak menyahut. Dia justru memalingkan wajah. “Kamu terus merayuku, sementara Marinka ternyata masih suka datang kemari menemuimu. Apa-apaan itu? Dasar pria! Semua saja saja.” Laila mendengkus pelan. “Sudahlah! Cepat temui dia! Jangan buat kekasihmu menunggu terlalu lama!” Wanita muda itu membalikkan badan, bermaksud hendak ber
“Laila?” Pramoedya tersenyum simpul, pada wanita cantik di hadapannya. “Aku sudah mengusir sepupumu,” ujar pria itu enteng.Namun, Laila tidak menyahut. Wanita dengan perban di kepalanya itu hanya menatap aneh pada Pramoedya.“Kenapa?” tanya Pramoedya seraya berjalan mendekat. “Aku tidak melakukan apa pun dengan Marinka. Kamu bisa memeriksanya di kamera pengawas, jka tidak percaya."Laila mengangguk samar, lalu menundukkan wajah.“Hey, kenapa?” Pramoedya mengangkat pelan dagu Laila. “Apa ada sesuatu yang membebanimu?” tanya pria itu lembut, tanpa melepas kesan wibawa dalam dirinya.Laila tidak menjawab. Hanya setetes air mata yang mewakili perasaan dan segala hal yang ingin dia ungkapkan.“Apa kamu merasa takut?” tanya Pramoedya, seakan bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Laila.“Aku hanya wanita biasa, Pram. Apakah sa
Malam terasa begitu singkat, karena tak lama kemudian alarm sudah berbunyi nyaring. Laila menggeliat pelan, lalu membuka mata perlahan. Ketika telah sepenuhnya sadar, wanita cantik itu langsung terkejut. Dia mendapati Pramoedya yang sedang menatapnya sambil tersenyum kalem. “Hai, Cantik. Selamat pagi,” sapa Pramoedya lembut, diiringi senyum menawan.“Pa-pagi, Ka-kamu tidur di sini?” balas Laila tergagap. Dia ingat semalam dirinya meminta Pramoedya agar menemaniya. Namun, Laila tak menyangka bahwa dia dan pria tampan tersebut akan tidur di ranjang yang sama.Laila terdiam sejenak, kemudian meraba tubuhnya sambil terus berbaring. Laila bernapas lega, karena dirinya masih berpakaian lengkap.“Tidak terjadi apa pun semalam. Kita hanya tidur bersama, tapi tidak melakukan apa-apa,” ujar Pramoedya, yang seakan paham dengan sikap Laila.“Syukurlah,” ucap Laila pelan, meski itu tak ber
“Ya, Tuhan. Kamu memang pandai bicara.” Laila menggeleng samar. “Sudahlah. Aku mau ke kamar mandi dulu.” Dia membalikkan badan. Namun, dengan cepat Pramoedya menahan gerak Laila. “Tidak bisakah kita ….” Pramoedya menarik tangan wanita cantik itu, hingga masuk ke pelukannya. Pria tampan tersebut sudah hendak kembali mencium Laila. “Tolonglah, Pram. Bisa-bisa aku pipis di celana lagi seperti waktu itu.” Laila memelas, memohon agar Pramoedya melepaskannya. “Kamu tahu aku tidak punya baju dan celana ganti.” Bukannya menuruti permintaan Laila, Pramoedya justru tertawa geli. Dia sengaja mengajak wanita itu bermain-main. “Pram! Kumohon!” Laila berontak. Dia sudah tak tahan ingin ke kamar mandi. Namun, Pramoedya justru sengaja menahannya. Pria itu tertawa puas, melihat Laila yang meronta, meminta agar segera dilepaskan. Si pemilik mata hazel tadi baru diam, saat Laila tak bergerak. “Kenapa?” tanyanya. Laila tidak menjawab. Sepasang matanya mengarah ke bawah, pada tetes-tetes air di