Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Seorang pria masuk ke rumah dengan wajah merah padam. Tanpa banyak bicara, dia ke kamar mencari sang istri. Kala ia menemukan Laila tengah mengganti sarung bantal, pria berkulit sawo matang tersebut langsung memenyeretnya keluar kamar. “Ada apa, Mas? Kenapa kamu ….” “Jangan banyak bicara, Laila!” bentak Aries dengan mata melotot tajam. “Kamu harus ikut aku sekarang juga!” Pria itu mengeratkan cengkramannya di lengan Laila, lalu menyeret wanita malang berdaster merah tadi keluar rumah. “Lepas, Mas! Sakit!” Laila meronta, mencoba melawan. Namun, tenaganya tak cukup kuat untuk menandingi cengkraman berbalut amarah sang suami. Meski begitu, Laila tak hendak pasrah dengan mudah. Ketika Aries memaksanya masuk ke mobil yang sudah terparkir di sisi jalan depan gang menuju rumah mereka, Laila berusaha menolak. Akan tetapi, semua yang dilakukan wanita itu sia-sia. Aries berhasil memaksanya masuk, lalu menutup pintu cukup kencang. “Bawa saja dia, tapi aku ingin harga yang sepadan,” ucap
Wira menurunkan Laila di dalam kamar. Di sana, dia kembali melumat bibir wanita itu. “Aku akan memberikanmu lebih, jika kamu bisa memuaskanku,” ucapnya setelah melepaskan pertautan mereka.“Berapa?” tanya Laila pelan. Meski tak rela, tapi dirinya sudah tak mungkin melarikan diri . Namun, Laila juga tak ingin semakin merugi.“Berapa yang kamu mau? Buatku tidak masalah asal sepadan,” jawab Wira yang masih berdiri berhadapan dengan Laila. “Hargaku sangat mahal! Apa Anda berani membayar?” balas Laila asal, tapi terdengar tegas. “Katakan berapa?” Laila terdiam. Dia berpikir beberapa saat. Wanita itu tersenyum licik, seraya menatap si pria. “Dua puluh juta,” jawab Laila puas, karena pria itu tak mungkin bersedia membayar uang sejumlah yang disebutkan tadi. “Oh, tidak bisa. Itu terlalu mahal. Terlebih, aku belum tahu seperti apa pelayananmu.” “Terserah,” balas Laila, seraya memalingkan wajah.Wira terdiam sambil berpikir. “Saat pertama melihat fotomu, membuatku langsung penasaran. Kamu
Tanpa menoleh lagi, Laila langsung menuju lift. Bersamaan dengan pintunya yang terbuka. Pria berkemeja yang merupakan ajudan Wira, tadinya hendak masuk ke apartemen sang majikan. Namun, Laila lebih dulu menyerobot. “Majikan Anda sudah mengizinkan saya pulang,” ucap wanita itu.Si pria yang Wira sebut bernama Damar, tampak bingung. Dia mengangguk hormat kepada majikannya yang tengah memandang ke arah lift, lalu menekan tombol turun. Damar akan mengantar Laila pulang. Selang beberapa saat di perjalanan, sedan hitam yang Damar kendarai telah tiba di jalan kecil depan gang menuju rumah mertua Laila. Pria itu keluar, lalu membukakan pintu belakang.Laila mengangguk sopan. “Terima kasih,” ucapnya pelan. Tanpa banyak basa-basi, wanita itu melangkah ke dalam gang sambil menjinjing tas. Dia tak peduli dengan tatapan para tetangga, yang memandang aneh padanya. Terlebih, karena saat itu Laila masih mengenakan mini dress seksi semalam. Setibanya di dalam rumah, Laila langsung melemparkan tas be
Keesokan harinya, Aries kembali membawa Laila ke tempat Lucy. Dia disambut oleh seorang wanita, yang kemarin mengantar Laila ke dalam mobil milik Wira.“Hai, Sel,” sapa Aries. Lagi-lagi, sikapnya terlihat sangat hangat dan akrab. “Carikan tamu lagi untuk istriku,” bisiknya. “Jam segini? Astaga, Ries.” Si wanita berdecak pelan. Sebelum dirinya kembali bicara kepada pria itu, dering panggilan lebih dulu masuk. “Ya, madam?” sapanya, kemudian manggut-manggut. Sesaat kemudian, panggilan berakhir. “Kebetulan sekali, Ries. Bule kaya itu sepertinya tertarik sama istri kamu,” ujar wanita tadi.“Bukannya itu bagus, Sel? Aku lagi butuh uang banyak sekarang,” ujar Aries. “Ya, sudah. Sebentar lagi, ajudannya datang buat jemput istri kamu.” Sesuai dengan yang wanita itu katakan, Damar tiba sekitar sepuluh menit kemudian.Laila yang tak ingin banyak membantah, ketika wanita tadi mengantarnya ke dekat mobil. Setelah itu, anak buah germo bernama Lucy tersebut kembali masuk. Dia meninggalkan Laila
Laila tertegun sejenak. “Kupikir, Bapak belum pulang,” ucapnya, seraya berusaha menyembunyikan rasa gugup dengan tersenyum.“Bapak baru datang. Pak Wisnu pulang lebih cepat dari Kuala Lumpur.” Suratman menatap penuh selidik kepada Laila. “Itu apa, La?” tanyanya lagi.Laila berusaha menetralkan rasa gugupnya terlebih dulu. Barulah dia menghampiri Suratman. “Ini … ini pakaian bekas. Bu Narti menyuruhku ke rumahnya. Dia memberikan beberapa baju yang masih layak pakai,” jelas Laila berbohong. Seketika, raut wajah Suratman berubah sendu. Terenyuh hatinya mendengar ucapan Laila. “Apa Aries tidak pernah memberimu uang untuk beli baju baru?” Laila menggeleng pelan. Boro-boro membelikan baju baru, Aries justru tega menjualnya demi mendapatkan uang. “Apa Bapak mau kopi?” tanya Laila, mengalihkan topik pembicaraan. Belum sempat Suratman menjawab, Aries lebih dulu muncul. Dia khawatir, jika Laila berkata jujur kepada sang ayah. “Sudah pulang, La. Ayo, aku butuh bantuanmu.” Tanpa menunggu jawa
“Tenanglah, Bu,” cegah Aries. Dia yang sangat mengenal watak Kartika, langsung menarik mundur wanita paruh baya itu. Aries bahkan sampai harus memegangi kedua lengan sang ibu, yang kembali hilang kendali. “Kami datang kemari untuk meminta keterangan secara langsung dari Pak Suratman sendiri. Akan tetapi, tentu saja tidak di sini. Jadi, kami sarankan agar Pak Suratman bisa ikut ke kantor secara baik-baik. Mari bekerja sama, agar kasus ini bisa terkuak dengan jelas,” ucap sang petugas lagi baik-baik.“Suami saya orang baik, Pak polisi! Dia tidak mungkin menculik anak orang! Lagi pula, selama ini dia sangat menyayangi Laila!” sanggah Kartika berapi-api, sambil terus menunjuk-nunjuk kepada petugas polisi tadi. Sesaat kemudian, Kartika mengalihkan perhatian kepada Adnan dan Mayang. “Anda berdua ini sebenarnya siapa? Kenapa main tuduh saja terhadap suami saya! Lagi pula, Laila itu yatim piatu! Dia anak panti asuhan. Mana ada ….”“Laila keponakan kami yang dinyatakan hilang, saat berusia d
“Pak Reswara tidak bisa berkomunikasi dengan normal, karena kondisinya. Kami selalu mengusahakan perawatan terbaik untuk beliau,” jelas Widura penuh wibawa. Pria itu memiliki pembawaan yang sangat tenang dan terlihat cermat. “Memangnya, ayahku sakit apa?” tanya Laila penasaran. “Pak Reswara mengalami komplikasi. Sejak Nona menghilang, situasi di rumah ini menjadi tidak menyenangkan lagi. Ditambah dengan kondisi mendiang ibu Anda yang juga begitu terpukul. Semuanya menjadi semakin buruk,” terang Widura. Pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu terdiam sejenak, sambil memperhatikan Reswara yang tak berdaya. Sesaat kemudian, Widura mengalihkan perhatian kepada Laila. “Sebaiknya, kita biarkan Pak Reswara beristirahat.” Pria paruh baya itu mengajak Laila keluar dari kamar. Sebelum beranjak dari sana, Laila menyempatkan diri mengecup punggung tangan sang ayah. “Mari, Nona.” Widura mengisyaratkan agar Laila mengikutinya. Dia mengajak Laila melihat seluk-beluk rumah megah itu, hi
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan