Wira menurunkan Laila di dalam kamar. Di sana, dia kembali melumat bibir wanita itu. “Aku akan memberikanmu lebih, jika kamu bisa memuaskanku,” ucapnya setelah melepaskan pertautan mereka.
“Berapa?” tanya Laila pelan. Meski tak rela, tapi dirinya sudah tak mungkin melarikan diri . Namun, Laila juga tak ingin semakin merugi.
“Berapa yang kamu mau? Buatku tidak masalah asal sepadan,” jawab Wira yang masih berdiri berhadapan dengan Laila.
“Hargaku sangat mahal! Apa Anda berani membayar?” balas Laila asal, tapi terdengar tegas.
“Katakan berapa?”
Laila terdiam. Dia berpikir beberapa saat. Wanita itu tersenyum licik, seraya menatap si pria. “Dua puluh juta,” jawab Laila puas, karena pria itu tak mungkin bersedia membayar uang sejumlah yang disebutkan tadi.
“Oh, tidak bisa. Itu terlalu mahal. Terlebih, aku belum tahu seperti apa pelayananmu.”
“Terserah,” balas Laila, seraya memalingkan wajah.
Wira terdiam sambil berpikir. “Saat pertama melihat fotomu, membuatku langsung penasaran. Kamu terlihat sangat cantik, meski sedang tidur,” ucapnya seraya membelai pipi Laila. “Kuberi tujuh juta secara cuma-cuma, asal kamu bisa memuaskan dan memberi pelayanan terbaik hingga besok.” Pria itu memberikan penawaran.
“Tujuh juta? Anda bilang aku sangat cantik. Nominal itu sangat kecil, untuk membeli sesuatu yang Anda sukai,” ucap Laila setengah mencibir. Padahal, debaran dalam dadanya sudah tak karuan. Laila tak tahu seperti apa karakter pria di hadapannya. Selama ini, dia tidak pernah bercinta dengan pria selain Aries, sang suami.
“Aku harus menilai terlebih dulu, seperti apa caramu melayaniku. Jika tak ada yang istimewa, kurasa itu harga yang sesuai,” ucap Wira menegaskan. Dia seakan tak ingin menerima bantahan lagi.
Laila tak banyak membantah lagi. Bagi seseorang seperti dirinya yang tak pernah mencium aroma uang dalam jumlah besar, tujuh juta bukanlah nilai sembarangan. Laila berusaha terlihat tenang. Dia merapikan rambut panjangnya. Ketika hendak menurunkan resleting dress, Wira lebih dulu mencegah.
“Biar kubukakan untukmu,” bisik pria itu dari belakang. Suaranya terdengar begitu berat dan dalam, sehingga kembali menghadirkan sensasi berbeda bagi Laila.
Laila hanya berdiri terpaku. Dia tak menolak, ketika pria itu menurunkan pakaian yang menutupi tubuh indah berbalut kulit kuning langsat. “Bagaimana aku bisa yakin bahwa Anda akan memberikan uang tujuh juta tadi?” tanya Laila tiba-tiba.
Pria yang mengaku bernama Wira itu menggumam pelan. “Aku akan menransfer sekarang juga ke rekeningmu,” jawabnya seraya mengecup pundak Laila.
“Ah, tidak. Aku ingin uang tunai. Aku … aku tidak punya rekening atau semacamnya,” ujar Laila ragu.
Pria bernama Wira tadi kembali menggumam pelan. “Aneh sekali. Baiklah. Kalau begitu, kamu harus menunggu, selagi aku menghubungi ajudanku untuk menyiapkannya.”
“Sungguh?” Laila menoleh ke samping, di mana wajah pria itu berada.
“Tentu saja.” Wira menggumam pelan, lalu kembali mengecup lembut pundak Laila. Dia mengalihkan ciuman ke leher, bertahan beberapa saat di sana. “Tunjukkan seberapa pintar dirimu,” bisik Wira, sebelum kembali melumat mesra bibir Laila, kemudian menurunkan tubuh wanita itu hingga berlutut di hadapannya.
“Ayo, Sayang. Aku tidak mau menyesal, karena telah memberikan uang tujuh juta padamu. Jadi, berikan yang terbaik.” Pria itu menyeringai dengan napas tertahan, sambil menekan kepala Laila agar semakin menempel pada pangkal pahanya.
Hingga beberapa saat, adegan seperti itu terus berlangsung. Laila harus rela, meski mulutnya terasa pegal karena dipaksa bekerja keras. Dia baru berhenti, ketika pria yang memperkenalkan diri dengan nama Wira itu merasa puas.
“Bangunlah,” suruh si pria.
Laila menurut. Dia menegakkan tubuh. Laila terpaku. Istri Aries tersebut, memandang lekat paras tampan pria tadi dari jarak yang teramat dekat.
Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena pria itu segera menggendong Laila ke dekat tempat tidur. Dia merebahkan tubuh wanita yang sudah setengah polos tersebut, lalu mengkungkungnya. Sepasang lengan kokoh berada di sisi kiri dan kanan Laila, seakan menjadi benteng agar wanita cantik itu tak melarikan diri.
Wira menyeringai puas, melihat Laila yang sudah pasrah dalam kekuasaannya. Pria itu bangkit, lalu berdiri di sisi sebelah kanan ujung tempat tidur. Dia melangkah ke dekat laci, kemudian mengambil sesuatu dari dalam sana. Dengan sikapnya yang terlihat sangat arogan, Wira melemparkan benda dengan bungkus warna silver ke perut Laila. “Jangan katakan jika kamu tidak tahu cara memasangnya.” Tatapan Wira terlihat aneh.
Laila mengambil benda persegi dengan warna silver tadi dari perutnya. Wanita itu bangkit, lalu duduk bersimpuh di atas kasur, sambil menghadap kepada si pria yang berdiri gagah di sisi sebelah kanan tempat tidur. Sejujurnya, Laila tak tahu harus melakukan apa, selain menatap pria tampan yang sebentar lagi akan menjadikannya sebagai sarana demi memperoleh kepuasan.
**********
Suara gemericik air mengalir deras, menerpa tubuh polos Laila. Dia tak menyangka, bahwa dirinya telah melewatkan malam yang panjang dalam rasa lelah. Demi uang tujuh juta, wanita muda itu rela melayani nafsu berahi seorang pria yang baru ditemuinya.
Tanpa terasa, air mata menetes di pipi. Namun, tanda kepedihan Laila itu segera terhapuskan, oleh deraian air yang mengalir deras dari shower di atas kepala wanita cantik tersebut. Tak ada gunanya menangis, karena tidak akan dapat mengembalikan apa pun.
Setelah selesai dengan segala aktivitas di kamar mandi, Laila keluar dengan wajah dan tubuh yang jauh lebih segar. Beruntung, Wira tak ada di dalam kamar. Kesempatan bagi Laila untuk segera berpakaian.
Ketika sedang menyisir rambut, barulah pria tampan itu muncul dengan mengenakan celana tidur dan T-Shirt round neck hitam polos. “Kamu sudah mandi?” tanyanya seraya berdiri di belakang Laila. "Segar sekali," ucapnya seraya mengirup aroma tubuh Laila.
Laila tak menyahut. Dia tertegun beberapa saat, membalas tatapan si pria dari pantulan cermin di hadapan mereka.
“Aku sudah menyiapkan uang tujuh juta dalam bentuk tunai. Damar akan mengantarmu pulang agar lebih aman,” ucap Wira dengan gaya bicaranya yang khas, tanpa mengalihkan pandangan dari wajah polos Laila.
“Aku ingin memeriksa uangnya terlebih dulu,” ucap Laila menegaskan.
“Tentu,” balas Wira. “Mari." Dia menuntun Laila keluar kamar, lalu menunjukkan tumpukan uang dalam tas. “Periksalah.”
Laila mendekat. Tangannya gemetaran menyentuh uang sebanyak itu. Dia mengambil segepok, lalu memperhatikannya. Setelah beberapa saat, kembali diletakkan uang tadi ke tempatnya. Sebisa mungkin, Laila menahan gejolak dalam dada. Rasa sakit dan terhina, yang membuat dirinya merasa begitu rendah.
“Terima kasih untuk tadi malam. Aku menyukai dan sangat menikmatinya,” ucap Wira yang terlihat puas. “Apa kita bisa bertemu lagi?”
“Tidak! Ini yang pertama dan terakhir!” Laila menutup resleting tas, kemudian berlalu dari hadapan Wira.
Tanpa menoleh lagi, Laila langsung menuju lift. Bersamaan dengan pintunya yang terbuka. Pria berkemeja yang merupakan ajudan Wira, tadinya hendak masuk ke apartemen sang majikan. Namun, Laila lebih dulu menyerobot. “Majikan Anda sudah mengizinkan saya pulang,” ucap wanita itu.Si pria yang Wira sebut bernama Damar, tampak bingung. Dia mengangguk hormat kepada majikannya yang tengah memandang ke arah lift, lalu menekan tombol turun. Damar akan mengantar Laila pulang. Selang beberapa saat di perjalanan, sedan hitam yang Damar kendarai telah tiba di jalan kecil depan gang menuju rumah mertua Laila. Pria itu keluar, lalu membukakan pintu belakang.Laila mengangguk sopan. “Terima kasih,” ucapnya pelan. Tanpa banyak basa-basi, wanita itu melangkah ke dalam gang sambil menjinjing tas. Dia tak peduli dengan tatapan para tetangga, yang memandang aneh padanya. Terlebih, karena saat itu Laila masih mengenakan mini dress seksi semalam. Setibanya di dalam rumah, Laila langsung melemparkan tas be
Keesokan harinya, Aries kembali membawa Laila ke tempat Lucy. Dia disambut oleh seorang wanita, yang kemarin mengantar Laila ke dalam mobil milik Wira.“Hai, Sel,” sapa Aries. Lagi-lagi, sikapnya terlihat sangat hangat dan akrab. “Carikan tamu lagi untuk istriku,” bisiknya. “Jam segini? Astaga, Ries.” Si wanita berdecak pelan. Sebelum dirinya kembali bicara kepada pria itu, dering panggilan lebih dulu masuk. “Ya, madam?” sapanya, kemudian manggut-manggut. Sesaat kemudian, panggilan berakhir. “Kebetulan sekali, Ries. Bule kaya itu sepertinya tertarik sama istri kamu,” ujar wanita tadi.“Bukannya itu bagus, Sel? Aku lagi butuh uang banyak sekarang,” ujar Aries. “Ya, sudah. Sebentar lagi, ajudannya datang buat jemput istri kamu.” Sesuai dengan yang wanita itu katakan, Damar tiba sekitar sepuluh menit kemudian.Laila yang tak ingin banyak membantah, ketika wanita tadi mengantarnya ke dekat mobil. Setelah itu, anak buah germo bernama Lucy tersebut kembali masuk. Dia meninggalkan Laila
Laila tertegun sejenak. “Kupikir, Bapak belum pulang,” ucapnya, seraya berusaha menyembunyikan rasa gugup dengan tersenyum.“Bapak baru datang. Pak Wisnu pulang lebih cepat dari Kuala Lumpur.” Suratman menatap penuh selidik kepada Laila. “Itu apa, La?” tanyanya lagi.Laila berusaha menetralkan rasa gugupnya terlebih dulu. Barulah dia menghampiri Suratman. “Ini … ini pakaian bekas. Bu Narti menyuruhku ke rumahnya. Dia memberikan beberapa baju yang masih layak pakai,” jelas Laila berbohong. Seketika, raut wajah Suratman berubah sendu. Terenyuh hatinya mendengar ucapan Laila. “Apa Aries tidak pernah memberimu uang untuk beli baju baru?” Laila menggeleng pelan. Boro-boro membelikan baju baru, Aries justru tega menjualnya demi mendapatkan uang. “Apa Bapak mau kopi?” tanya Laila, mengalihkan topik pembicaraan. Belum sempat Suratman menjawab, Aries lebih dulu muncul. Dia khawatir, jika Laila berkata jujur kepada sang ayah. “Sudah pulang, La. Ayo, aku butuh bantuanmu.” Tanpa menunggu jawa
“Tenanglah, Bu,” cegah Aries. Dia yang sangat mengenal watak Kartika, langsung menarik mundur wanita paruh baya itu. Aries bahkan sampai harus memegangi kedua lengan sang ibu, yang kembali hilang kendali. “Kami datang kemari untuk meminta keterangan secara langsung dari Pak Suratman sendiri. Akan tetapi, tentu saja tidak di sini. Jadi, kami sarankan agar Pak Suratman bisa ikut ke kantor secara baik-baik. Mari bekerja sama, agar kasus ini bisa terkuak dengan jelas,” ucap sang petugas lagi baik-baik.“Suami saya orang baik, Pak polisi! Dia tidak mungkin menculik anak orang! Lagi pula, selama ini dia sangat menyayangi Laila!” sanggah Kartika berapi-api, sambil terus menunjuk-nunjuk kepada petugas polisi tadi. Sesaat kemudian, Kartika mengalihkan perhatian kepada Adnan dan Mayang. “Anda berdua ini sebenarnya siapa? Kenapa main tuduh saja terhadap suami saya! Lagi pula, Laila itu yatim piatu! Dia anak panti asuhan. Mana ada ….”“Laila keponakan kami yang dinyatakan hilang, saat berusia d
“Pak Reswara tidak bisa berkomunikasi dengan normal, karena kondisinya. Kami selalu mengusahakan perawatan terbaik untuk beliau,” jelas Widura penuh wibawa. Pria itu memiliki pembawaan yang sangat tenang dan terlihat cermat. “Memangnya, ayahku sakit apa?” tanya Laila penasaran. “Pak Reswara mengalami komplikasi. Sejak Nona menghilang, situasi di rumah ini menjadi tidak menyenangkan lagi. Ditambah dengan kondisi mendiang ibu Anda yang juga begitu terpukul. Semuanya menjadi semakin buruk,” terang Widura. Pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu terdiam sejenak, sambil memperhatikan Reswara yang tak berdaya. Sesaat kemudian, Widura mengalihkan perhatian kepada Laila. “Sebaiknya, kita biarkan Pak Reswara beristirahat.” Pria paruh baya itu mengajak Laila keluar dari kamar. Sebelum beranjak dari sana, Laila menyempatkan diri mengecup punggung tangan sang ayah. “Mari, Nona.” Widura mengisyaratkan agar Laila mengikutinya. Dia mengajak Laila melihat seluk-beluk rumah megah itu, hi
Laila memalingkan wajah, karena tak nyaman melihat adegan seperti itu. Terlebih, yang menjadi ‘lawan main’ Marinka adalah Pramoedya.Segala kekaguman yang pernah Laila rasakan terhadap pria berdarah Belanda itu, seketika sirna dari hatinya. Laila sadar, bahwa Pramoedya pasti akan lebih memilih wanita seperti Marinka yang cantik dan berpenampilan modis serta modern. Selain itu, Marinka juga tentunya berpendidikan tinggi. Pramoedya yang sudah menghentikan pertautannya dengan Marinka, menoleh ke arah Laila yang segera berlalu ke beranda samping. “Siapa dia?” tanya pria tampan bermata hazel tersebut. “Dia Athalia. Sepupuku yang baru kembali ke rumah ini,” jawab Marinka tak acuh. Dari cara dan sikapnya saat membicarakan Laila, tampak jelas bahwa putri pasangan Mayang dan Adnan tersebut tidak menyukai kehadirannya di sana. “Athalia?” ulang Pramoedya seraya menaikkan sebelah alisnya. Marinka hanya mengangguk. “Jangan macam-macam. Aku tidak akan memaafkanmu, bila sampai kamu ketahuan m
Laila mendelik sembari tersenyum puas. “Hantaman itu tidak seberapa, dan tak akan membuat Anda jadi hilang kejantanan,” cibir wanita cantik tadi sinis. Dia mendorong tubuh Pramoedya. Pria tampan tersebut masih meringis menahan rasa ngilu, di bagian ‘pusat tata surya’ yang Laila hantam dengan lutut.“Kamu ….” Pramoedya tampak begitu gemas. Tangannya bergerak cepat meraih pergelangan Laila, lalu menarik dan kembali menyandarkan wanita itu ke dinding. Kali ini, pria berdarah Belanda tersebut lebih berhati-hati, dalam mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan Laila lakukan lagi terhadap dirinya.“Lepaskan aku!” Laila mencoba berontak. Namun, tenaga Pramoedya terlalu kuat untuk dilawan.“Bisa diam tidak? Kalau kamu terus berontak, jangan sala
“Apa? Jangan mengada-ada kamu!” Marinka melotot tajam. Nada bicaranya pun terdengar jauh lebih tidak bersahabat dibanding sebelumnya.“Mana mungkin saya berani bicara bohong sama Non Marinka. Bisa-bisa, nanti saya malah dipecat dari sini,” bantah Lena meyakinkan. Tampaknya, dia sudah terbiasa dengan sikap ketus wanita muda itu.“Apa yang mereka berdua lakukan di sana?” tanya Marinka bernada mendesak. Raut wajahnya sudah terlihat tak karuan, karena tidak sabar atas berita yang akan Lena sampaikan.Lena terdiam sejenak, sebelum mulai bercerita. “Saya memang tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, saya melihat Pak Pram memperlakukan Non Laila, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama,” tutur Lena dengan gaya bicara, yang mencerminkan seberapa licik dirinya.“Perlakuan seperti apa maksudmu?” Rasa penasaran dalam diri Marinka kian bertambah. Berp
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan