“Pak Reswara tidak bisa berkomunikasi dengan normal, karena kondisinya. Kami selalu mengusahakan perawatan terbaik untuk beliau,” jelas Widura penuh wibawa. Pria itu memiliki pembawaan yang sangat tenang dan terlihat cermat.
“Memangnya, ayahku sakit apa?” tanya Laila penasaran.
“Pak Reswara mengalami komplikasi. Sejak Nona menghilang, situasi di rumah ini menjadi tidak menyenangkan lagi. Ditambah dengan kondisi mendiang ibu Anda yang juga begitu terpukul. Semuanya menjadi semakin buruk,” terang Widura. Pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu terdiam sejenak, sambil memperhatikan Reswara yang tak berdaya.
Sesaat kemudian, Widura mengalihkan perhatian kepada Laila. “Sebaiknya, kita biarkan Pak Reswara beristirahat.” Pria paruh baya itu mengajak Laila keluar dari kamar.
Sebelum beranjak dari sana, Laila menyempatkan diri mengecup punggung tangan sang ayah.
“Mari, Nona.” Widura mengisyaratkan agar Laila mengikutinya. Dia mengajak Laila melihat seluk-beluk rumah megah itu, hingga mereka tiba di ruang kerja. Widura mempersilakan Laila masuk ke sana.
“Sejak Pak Reswara sakit parah, hanya saya yang sering masuk kemari. Kebetulan, Pak Adnan memiliki ruang kerja sendiri di rumah ini,” jelas Widura. Asisten kepercayaan Reswara tersebut mengambil beberapa dokumen, kemudian menyerahkannya kepada Laila yang tak memahami untuk apa pria itu melakukan demikian. “Silakan Nona periksa.”
Laila membuka salah satu dokumen tadi. Dia membacanya. Namun, meski telah dicermati, nyatanya Laila tak bisa memahami setiap rangkaian kata yang tertera di sana. “Apa ini?” tanya Laila seraya mengernyitkan kening.
“Itu adalah laporan terbaru, dari perusahaan tambang yang dikelola oleh Pak Adnan. Seperti yang telah diketahui, bahwa Pak Reswara memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di sektor berbeda. Untuk sektor pertambangan, dipercayakan kepada Pak Adnan selaku adik kandung Pak Reswara. Sementara, untuk perusahaan property, kebetulan saya yang menjadi wakil dari ayah Anda. Begitu juga dengan pabrik yang sudah sangat ternama di negara ini. First Fish Tuna (F2T).”
Mendengar nama pabrik pengolahan ikan tersebut, seketika pikiran Laila tertuju kepada Aries. Namun, dengan segera Laila menepiskannya.
“Lalu, untuk apa Pak Widura menunjukkan ini semua kepada saya, jika ketiga sektor tadi sudah ada yang memegang?” tanya Laila polos.
Widura tersenyum simpul. “Saya dan Pak Adnan hanya perwakilan, karena yang paling berhak adalah Nona Athalia. Itulah mengapa Anda harus mulai mempelajari semuanya dari sekarang,” jelas pria itu.
Laila terkesiap. Dia hanya bisa ternganga. Wanita muda itu bingung harus berkata apa.
“Saya tahu bahwa Nona baru datang kemari dan pasti butuh adaptasi terlebih dulu. Akan tetapi, sudah terlalu lama ada kekosongan. Walaupun Pak Reswara masih hidup, tapi kondisi beliau sudah tidak memungkinkan lagi untuk menangani segala urusan perusahaan. Karena itulah, saya gencar mencari keberadaan Nona, meski peluangnya hanya beberapa persen. Beruntung, karena detektif swasta yang disewa Pak Adnan akhirnya bisa menemukan jejak Suratman,” terang Widura.
Mendengar nama Suratman, seketika hati Laila seperti teriris. Namun, lagi-lagi dia harus menepiskan perasaan itu.
“Lalu, saya harus bagaimana? Terus terang, saya tidak paham dengan segala hal yang berkaitan dengan urusan perusahaan,” ujar Laila.
Widura kembali tersenyum. “Jangan khawatir. Kalau begitu, saya akan menyiapkan guru pembimbing untuk Nona. Nona bisa belajar di rumah secara privat. Selain itu, saya juga akan memberikan arahan-arahan yang bisa Nona ikuti nanti.”
“Benarkah, Pak?” Laila tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Nona adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis milik Pak Reswara Hadyan. Sebagai orang kepercayaan ayah Anda, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menjaga kelangsungannya,” ucap Widura yakin.
Laila mengangguk. Wanita cantik berambut panjang itu tersenyum lembut. “Terima kasih banyak atas loyalitas Pak Widura terhadap ayah saya. Beliau tidak salah memilih Anda sebagai orang kepercayaan.”
Setelah perbincangan dengan Widura di ruang kerja, Laila kembali ke kamarnya. Di rumah itu, dia tak perlu lagi memikirkan segudang pekerjaan rumah tangga. Semua sudah ada yang mengatur.
Laila tertegun saat dirinya baru memasuki kamar. Dia mendapati seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, yang tengah merapikan setumpuk pakaian di kasur. “Kamu siapa?” tanya Laila penuh selidik.
Gadis itu seketika menoleh. “Ah, Nona,” ucapnya dengan raut terkejut. “Sa-saya Dara. Saya ditunjuk Bu Mayang, untuk menjadi asisten pribadi Nona saat di rumah. Jadi, kalau Nona butuh apa-apa, bisa langsung bilang ke saya,” jelas gadis bermata belo tadi ramah.
“Oh, baiklah. Terima kasih.”
“Ah, tidak. Nona tidak perlu berterima kasih sama saya.” Dara mengalihkan perhatiannya pada tumpukan baju di atas kasur. “Saya akan menata pakaian baru ini dulu. Permisi.” Dara mengambil sebagian dari tumpukan baju tadi. Dia melangkah ke arah pintu, yang merupakan walk in closet.
“Memangnya, itu baju siapa?” tanya Laila, yang membuat Dara langsung menoleh.
“Ini baju baru punya Anda, Nona. Bu Mayang sengaja membelinya dari butik langganan beliau,” jawab Dara diiringi senyum. Dia bergegas masuk ke ruang pakaian di dalam kamar Laila.
Laila terdiam sejenak, sebelum memutuskan keluar kamar. Niatnya adalah hendak menemui Mayang. Wanita itu ingin mengucapkan terima kasih kepada sang tante.
Kebetulan, Mayang tengah berada di ruang bersantai. Istri Adnan tersebut sedang asyik membaca majalah. Tanpa ragu, Laila segera menghampirinya.
“Tante,” sapa Laila ramah.
“Hey, Sayang. Kamu sudah sarapan belum? Tadi, Tante tidak melihat kamu di meja makan.” Mayang menutup majalah yang sedang dirinya baca.
Laila duduk di sebelah Mayang, dengan posisi setengah menghadap kepada wanita itu. “Terima kasih untuk baju-baju baru yang Tante belikan untukku,” ucapnya.
“Astaga, Laila. Itu bukan apa-apa. Lagi pula, Tante lihat kamu memang butuh baju baru.” Mayang tersenyum lembut. “Nanti, ada guru kepribadian yang akan mengajari kamu tentang … um … intinya, dia akan membimbingmu tentang bagaimana cara duduk dan … kamu pasti sudah paham maksud Tante.”
“Iya, Tante. Terima kasih. Pak Widura bilang, bahwa aku memang harus belajar beradaptasi di sini.”
Mayang mengangguk diiringi senyum.
“Ya, sudah. Kalau begitu, aku mau ke kamar lagi. Aku harus mencoba baju-baju baru yang Tante belikan tadi.” Laila berdiri dari duduknya. Dia berlalu meninggalkan Mayang.
Tadinya, Laila akan langsung ke kamar. Entah mengapa, tiba-tiba dia ingin melihat halaman samping kediaman mewah sang ayah. Laila memutuskan ke sana terlebih dulu. Wanita itu melangkah tenang. Namun, saat hampir mencapai pintu menuju beranda samping, Laila memelankan langkah. Dia mendengar percakapan hangat antara pria dan wanita.
Laila berdiri beberapa saat di dekat pintu. Dari sana, dia melihat ada koridor panjang yang tak tahu menuju ke mana. Di koridor itu, Laila melihat Marinka tengah berciuman mesra dengan seorang pria yang dirinya kenal.
“Pramoedya?”
Laila memalingkan wajah, karena tak nyaman melihat adegan seperti itu. Terlebih, yang menjadi ‘lawan main’ Marinka adalah Pramoedya.Segala kekaguman yang pernah Laila rasakan terhadap pria berdarah Belanda itu, seketika sirna dari hatinya. Laila sadar, bahwa Pramoedya pasti akan lebih memilih wanita seperti Marinka yang cantik dan berpenampilan modis serta modern. Selain itu, Marinka juga tentunya berpendidikan tinggi. Pramoedya yang sudah menghentikan pertautannya dengan Marinka, menoleh ke arah Laila yang segera berlalu ke beranda samping. “Siapa dia?” tanya pria tampan bermata hazel tersebut. “Dia Athalia. Sepupuku yang baru kembali ke rumah ini,” jawab Marinka tak acuh. Dari cara dan sikapnya saat membicarakan Laila, tampak jelas bahwa putri pasangan Mayang dan Adnan tersebut tidak menyukai kehadirannya di sana. “Athalia?” ulang Pramoedya seraya menaikkan sebelah alisnya. Marinka hanya mengangguk. “Jangan macam-macam. Aku tidak akan memaafkanmu, bila sampai kamu ketahuan m
Laila mendelik sembari tersenyum puas. “Hantaman itu tidak seberapa, dan tak akan membuat Anda jadi hilang kejantanan,” cibir wanita cantik tadi sinis. Dia mendorong tubuh Pramoedya. Pria tampan tersebut masih meringis menahan rasa ngilu, di bagian ‘pusat tata surya’ yang Laila hantam dengan lutut.“Kamu ….” Pramoedya tampak begitu gemas. Tangannya bergerak cepat meraih pergelangan Laila, lalu menarik dan kembali menyandarkan wanita itu ke dinding. Kali ini, pria berdarah Belanda tersebut lebih berhati-hati, dalam mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan Laila lakukan lagi terhadap dirinya.“Lepaskan aku!” Laila mencoba berontak. Namun, tenaga Pramoedya terlalu kuat untuk dilawan.“Bisa diam tidak? Kalau kamu terus berontak, jangan sala
“Apa? Jangan mengada-ada kamu!” Marinka melotot tajam. Nada bicaranya pun terdengar jauh lebih tidak bersahabat dibanding sebelumnya.“Mana mungkin saya berani bicara bohong sama Non Marinka. Bisa-bisa, nanti saya malah dipecat dari sini,” bantah Lena meyakinkan. Tampaknya, dia sudah terbiasa dengan sikap ketus wanita muda itu.“Apa yang mereka berdua lakukan di sana?” tanya Marinka bernada mendesak. Raut wajahnya sudah terlihat tak karuan, karena tidak sabar atas berita yang akan Lena sampaikan.Lena terdiam sejenak, sebelum mulai bercerita. “Saya memang tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, saya melihat Pak Pram memperlakukan Non Laila, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama,” tutur Lena dengan gaya bicara, yang mencerminkan seberapa licik dirinya.“Perlakuan seperti apa maksudmu?” Rasa penasaran dalam diri Marinka kian bertambah. Berp
Di kediaman Keluarga Hadyan, semua orang tengah sibuk mempersiapkan pesta yang diselenggarakan untuk penyambutan Laila. Sementara, Laila sendiri tengah memanjakan diri di salon kecantikan dengan ditemani Mayang dan Dara. Namun, tentunya Dara hanya menjadi penonton dua wanita dari keluarga kaya tadi. “Kapan-kapan, Tante akan mengajak kamu ke klinik kecantikan langganan Tante. Siapa tahu, kamu ingin konsultasi dengan dokter ahli,” ucap Mayang, seraya menoleh sekilas kepada Laila yang tengah menjalani perawatan kuku. “Tentu, Tante. Aku mau,” balas Laila senang. Dia mengarahkan pandangan ke cermin. Menatap perubahan yang telah membuat wanita muda itu menjadi semakin cantik. Laila merasa puas. Meski dia pernah merasa hancur dan merasa begitu rendah, tapi kali ini harga dirinya kembali terangkat berkali lipat. “Terima kasih, Tuhan,” ucap Laila pelan, saat dirinya sudah kembali ke rumah. Wanita cantik berambut panjang itu duduk di dekat tempat tidur, di mana sang ayah terbaring lemah. La
Pramoedya tersenyum kalem. Terlebih, saat Laila menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis. Pria itu sudah sangat percaya diri. Dia bersiap hendak berjalan menghampiri wanita cantik dengan maxi dress satin model v neck warna silver, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Namun, Pramoedya langsung terpaku, saat menyadari bahwa perhatian Laila ternyata bukan tertuju padanya.Adalah Elang, pria yang lebih dulu menghampiri Laila. Mereka bersalaman dan saling melempar senyum. Keduanya juga tampak berbincang sebentar, sebelum Adnan membuka acara itu.“Terima kasih atas kesediaan saudara-saudara semua, yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta kecil-kecilan ini. Saya atas nama perwakilan dari Keluarga Hadyan. Kebetulan, karena kakak saya Reswara Hadyan saat ini masih terbaring sakit. Sehingga, tidak memungkinkan bagi beliau untuk ikut serta dan menyambut anda sekalian di sini.” Adnan membuka pesta itu dengan sapaan hangat dan agak formal.
“Kerja sama seperti apa maksud Anda, Pak Pramoedya?” tanya Laila.Pramoedya menggumam pelan. Pria tampan dengan setelan jas rapi tadi kembali tersenyum. “Bagaimana jika kita bahas sambil makan malam berdua?” tawarnya tanpa ada beban sama sekali.“Maaf, tapi dalam beberapa hari ini aku benar-benar sibuk. Ada banyak hal yang harus dipelajari dan …. ah, Pak Elang.” Laila langsung mengalihkan perhatian kepada Elang, yang datang menghampiri mereka. “Saya harap Anda menikmati pesta ini,” ucap Laila ramah dan penuh senyum. Sangat berbeda dengan sikapnya terhadap Pramoedya.“Tentu saja. Ini pesta yang luar biasa,” balas Elang. Dia menoleh kepada Pramoedya yang terlihat kurang nyaman, karena merasa terganggu. “Pak Pramoedya?” sap
Marinka menatap lekat sang ibu. Dia tak pernah berpikir ke arah sana. Karena itulah, dirinya tak mengerti dengan ucapan Mayang. “Sekarang kamu sudah paham, Rin?” Suara Mayang membuat Marinka yang tadi sempat terpaku, kembali tersadar. “Papamu tidak punya apa-apa, jika tak menggantungkan hidup pada kakaknya. Namun, Reswara ternyata tidak berminat membagi sedikit pun harta kekayaan yang tak ternilai itu. Saat ini, papamu memang menduduki jabatan tinggi di perusahaan tambang milik Reswara. Akan tetapi, dia tetap tak bisa menjadi pemilik seutuhnya,” jelas wanita itu lagi. Marinka mengangguk samar. Dia mulai memahami ke mana tujuan kedua orang tuanya kali ini. “Bisakah kamu bekerja sama, Nak?” Mayang balas menatap lekat putrinya. Lagi-lagi, Marinka hanya mengangguk. “Bagus. Seperti yang sudah Mama bilang tadi, kamu harus tetap mempertahankan Pramoedya. Dia bisa membantu memperkuat papamu nanti, jika kalian menikah. Selain itu, harta miliknya juga hampir setara dengan Reswara. Ah! Baya
Elang dan Aries, sama-sama memasang ekspresi yang tak bisa diartikan. Terlebih, Elang. Pria itu menatap Laila dengan sorot aneh.“Aku rasa, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Lagi pula, aku masih ada urusan yang jauh lebih penting,” ujar Laila dengan keangkuhan di wajahnya.“Tapi, aku mau bicara tentang bapak.” Aries menolak untuk mengakhiri perbincangan itu.Laila menggeleng samar. Dia tak menanggapi lagi. Perhatiannya justru tertuju kepada Elang. “Kamu tunggu di dalam saja. Nanti aku nyusul,” ucap Laila berlagak manja.“A-i-baiklah.” Elang tampak gugup. Karena itu, dia bergegas kembali ke mobil, untuk membawa kendaraannya masuk ke halaman lewat gerbang utama.
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan