Elang dan Aries, sama-sama memasang ekspresi yang tak bisa diartikan. Terlebih, Elang. Pria itu menatap Laila dengan sorot aneh.
“Aku rasa, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Lagi pula, aku masih ada urusan yang jauh lebih penting,” ujar Laila dengan keangkuhan di wajahnya.
“Tapi, aku mau bicara tentang bapak.” Aries menolak untuk mengakhiri perbincangan itu.
Laila menggeleng samar. Dia tak menanggapi lagi. Perhatiannya justru tertuju kepada Elang. “Kamu tunggu di dalam saja. Nanti aku nyusul,” ucap Laila berlagak manja.
“A-i-baiklah.” Elang tampak gugup. Karena itu, dia bergegas kembali ke mobil, untuk membawa kendaraannya masuk ke halaman lewat gerbang utama.
“Lepaskan! Anda benar-benar tidak sopan!” sergah Laila. Dia harus kembali berjibaku, demi menyingkirkan cengkraman Pramoedya dari pergelangan tangannya. Laila bahkan sampai memukul-mukul lengan pria tampan berdarah Belanda tersebut.Anehnya, Pramoedya tak merasa terganggu. Dia justru seperti menikmati, saat melihat Laila yang bersusah-payah melepaskan diri darinya. Pramoedya tersenyum nakal. Dia tak juga melepaskan cengkramannya.“Anda ini benar-benar pengganggu!” Laila terdengar semakin kesal.Namun, makin marah Laila, Pramoedya justru terlihat semakin senang. “Bisa diam tidak?” Pramoedya menarik tangan Laila yang tengah digenggamnya, hingga wanita cantik itu mendekat. “Sudah kubilang bahwa aku ingin bicara serius.”
“Perusahaan tambang?” ulang Laila seraya menautkan alis. “Kenapa harus ke sana?” tanya wanita dengan midi dress lengan pendek tersebut.“Karena aku tertarik. Itu saja,” jawab Pramoedya simpel. “Aku sudah beberapa kali mengajukan proposal kerja sama. Namun, entah mengapa Pak Widura selalu menolak dengan berbagai alasan. Kurasa, dia memang tidak menyukaiku. Karena itulah, orang kepercayaan ayahmu tersebut tak menghendaki jika aku bergabung di sana,” terang pria tampan, yang hari itu mengenakan T-Shirt lengan panjang berwarna merah hati.“Kenapa kamu berpikir bahwa Pak Widura tidak menyukaimu?” Laila memasang raut penasaran yang terlihat sangat polos. Dia seperti telah lupa, dengan rasa kesalnya terhadap Pramoedya.Pramoedya mengembuskan napa
Pramoedya terpaku sejenak, sebelum kembali menguasai diri. Si pemilik mata hazel tadi menggeleng, sebagai bantahan atas tuduhan yang dialamatkan padanya. “Mana mungkin,” sanggah pria itu. “Pikir saja sendiri, bagaimana caraku menyusupkan mata-mata ke dalam rumah seorang konglomerat tersohor seperti Keluarga Hadyan. Itu sama saja dengan bunuh diri,” kilahnya.“Jika memang seperti itu, lalu bagaimana kamu bisa memperoleh segala jenis informasi penting seperti yang kamu sebutkan tadi?” Laila masih terkesan menaruh curiga. Dia yakin bahwa Pramoedya merupakan pria yang cerdas, dan menguasai segala trik dalam bisnis. Termasuk cara kotor sekalipun“Anggap saja itu rahasia perusahaan. Aku tidak harus menjabarkan secara detail, karena yang terpenting adalah hasil akhir. Kamu mendapat keuntungan, begitu juga dengan diriku. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya. Simbiosis mutualisme.”“Ah, omong kosong,&rdq
Marinka mendengkus kesal. Sambil merajuk, dia menghadapkan tubuh kepada Mayang. “Apa menurut Mama aku kalah cantik dibanding Laila?” Pertanyaan yang terdengar sangat kekanak-kanakan, terlontar dari bibirnya.“Ya ampun.” Mayang tidak berniat menjawab. Dia hanya berdecak pelan seraya menggelengkan kepala. Tanpa mengatakan apa pun, wanita paruh baya itu berlalu dari hadapan putrinya.Melihat sikap sang ibu yang terkesan tak peduli, membuat kekesalan dalam diri Marinka kian memuncak. “Mama!” panggilnya. Marinka menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Dia bergegas menyusul Mayang yang sudah berlalu dari koridor.“Jika Mama terus bersikap begini, maka aku akan bertindak sendiri!” gertak Marinka seraya menyejajari langkah Mayang menuju kamar.
“Apa? Bagaimana kondisinya sekarang?” Paras cantik Laila terlihat tegang, setelah mendengar kabar mengejutkan dari Widura. “Baiklah. Aku akan segera ke sana.” Laila mengakhiri sambungan telepon. Dia menatap Elang yang terlihat penasaran.“Ada apa?” tanya Elang ikut khawatir.“Ayah … dia ….”Belum sempat Laila melanjutkan kata-katanya, Pramoedya lebih dulu meraih pergelangan wanita cantik itu. “Biar kuantar pulang.” Tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Elang, dia langsung menuntun Laila menuju mobilnya terparkir.“Lepas! Kamu benar-benar tidak sopan!” protes Laila tegas.“Kamu mau tetap di sini menunggu mobil derek datang?” balas Pramoedya. “Masuk!” Dia menyuruh Laila ke dalam mobil. Nada bicaranya memang pelan, tapi terdengar cukup tegas.“Tapi, aku ….” Laila sempat menoleh kepada Ela
“Apa perlu saya selidiki, Pak?” tawar Damar pelan.“Jangan dulu. Kita tidak boleh gegabah. Jangan sampai Laila justru berpikir negatif tentang saya.” Pramoedya terus mengarahkan perhatiannya kepada Elang, yang lagi-lagi memperlihat sikap manis serta perhatian kepada Laila. Sesuatu yang dirasa semakin mengusik relung hati Pramoedya.Pria tampan itu mengalihkan perhatian ke arah lain. Sial! Pandangannya justru tertuju kepada Marinka, yang tengah berjalan mendekat. “Ck!” Pramoedya terlihat tak suka. Dia menggaruk pelipis, saat Marinka sudah berdiri di hadapannya.“Bisa bicara sebentar?” tanya Marinka serius.“Tidak,” jawab Pramoedya singkat. Tanpa basa-basi sedikit pun.
Kartika langsung terbelalak mendengar ucapan Laila. Seketika, bayangan indah tentang segala kemewahan yang sudah menari-nari di pelupuk, menjadi hilang tanpa sisa. Kartika melotot tajam. “Apa maksud kamu, La? Kamu mau menjadikan ibu mertuamu sebagai pembantu?” protes ibunda Aries tersebut tak terima. Menerima protes keras yang Kartika layangkan, tak membuat Laila menjadi takut. Wanita muda pewaris harta kekayaan melimpah dari Reswara Hadyan itu, justru tersenyum puas penuh kemenangan. Laila melipat kedua tangan di dada, dengan dagu sedikit terangkat. “Siapa yang jadi menantu Ibu?” Nada pertanyaannya terdengar ketus. “Asal Ibu tahu! Aku dan Mas Aries sudah resmi bercerai.” Laila mengeluarkan surat cerai yang sudah Aries tanda-tangani tadi. Dia menunjukkannya kepada Kartika. “Lihat ini, Bu. Aku bukan lagi menantumu. Jadi, tidak ada kewajiban bagiku harus memperlakukanmu dengan cara seperti apa.” Laila tersenyum puas. “Dasar menantu kurang ajar! Saya mau pulang saja!” Kartika membalik
Ucapan Pramoedya sepertinya tak memerlukan jawaban dari Widura, karena Laila lebih dulu keluar dari kendaraan. Sejenak, wanita cantik itu terpaku menatap pria yang tengah memandang ke arahnya. Sejak kepergian Reswara, baru kali ini mereka kembali bertemu.Senyuman kalem terlukis di bibir Pramoedya. Pria berdarah Belanda itu melangkah gagah ke arah di mana Laila berdiri. “Semoga kamu tidak sedang sibuk,” ucapnya tanpa melepaskan tatapan, dari paras cantik wanita yang kini telah resmi menyandang status janda.“Aku baru pulang dari pabrik. Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Laila, yang berusaha keras menepiskan debaran aneh dalam dada. Sesuatu yang selalu terjadi, setiap kali dirinya berhadapan langsung dengan Pramoedya.“Bisakah kita bicara empat mata saja?” Pramoedya
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan