Ucapan Pramoedya sepertinya tak memerlukan jawaban dari Widura, karena Laila lebih dulu keluar dari kendaraan. Sejenak, wanita cantik itu terpaku menatap pria yang tengah memandang ke arahnya. Sejak kepergian Reswara, baru kali ini mereka kembali bertemu.
Senyuman kalem terlukis di bibir Pramoedya. Pria berdarah Belanda itu melangkah gagah ke arah di mana Laila berdiri. “Semoga kamu tidak sedang sibuk,” ucapnya tanpa melepaskan tatapan, dari paras cantik wanita yang kini telah resmi menyandang status janda.
“Aku baru pulang dari pabrik. Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Laila, yang berusaha keras menepiskan debaran aneh dalam dada. Sesuatu yang selalu terjadi, setiap kali dirinya berhadapan langsung dengan Pramoedya.
“Bisakah kita bicara empat mata saja?” Pramoedya
“Kalian!” Sepasang mata Marinka terbelalak lebar, mendapati adegan yang pasti akan menjadi mimpi buruk baginya. Wanita muda itu menatap tajam Laila, lalu beralih kepada Pramoedya. “Apa yang kalian lakukan?” “Marinka … aku … kami ….” Laila tampak serba salah. Dia sampai kebingungan harus berkata apa.Lain halnya dengan Pramoedya. Pria tampan dengan T-Shirt lengan panjang itu tetap terlihat tenang. Tak ada rasa bersalah sedikit pun dari raut wajahnya. Pria tampan bermata hazel tersebut bahkan tampak senang, karena Marinka memergoki apa yang dia lakukan bersama Laila. “Kalian berdua benar-benar keterlaluan!” Suara Marinka meninggi. Menandakan kemarahan luar biasa dalam diri, yang akan segera meluap ke permukaan. Dia membalikkan badan, bermaksud hendak pergi dari sana. “Tunggu, Rin!” cegah Laila cukup nyaring, seraya berlari keluar. Laila berusaha menyusul sepupunya yang beranjak dari sana.Sementara, Pramoedya hanya tersenyum simpul. “Ratu drama,” gumamnya, sambil melangkah keluar. D
Laila tak membantah, saat Adnan dan Mayang mengarahkan pandangan ke arahnya. Putri mendiang Reswara Hadyan tersebut mengakui kesalahan, meski tanpa mengatakan apa pun. Namun, Laila sendiri merasa bingung harus menjelaskan apa. Dia tak mungkin mengatakan bahwa Pramoedya yang menciumnya secara paksa, karena dirinya pun menyukai hal itu.Melihat Laila tampak bingung, Elang yang sedari tadi bersembunyi di balik dinding menghampiri mereka. Pria dengan kemeja biru tersebut berdehem pelan. Membuat semua yang ada di sana serempak menoleh padanya. “Nona Laila, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,” ucap akuntan tampan tersebut, diiringi senyum menawan khas dirinya. Laila yang tengah kebingungan, merasa tertolong dengan kehadiran Elang di sana. Wanita cantik yang hari itu mengenakan blouse kemeja putih ketat, segera mengangguk. “Permisi semua. Aku harus ke ruang kerja dulu.” Laila mengangguk sopan, kemudian berlalu bersama Elang. Tak ada percakapan berarti, saat keduanya melangkah berdamping
Laila cukup terkejut dengan ucapan Elang yang terkesan sangat berani. Dia tak menyangka, bahwa pria itu akan berkata demikian. Namun, Laila mengapresiasi sikap jantan sang akuntan muda tersebut. Setidaknya, Elang jauh lebih gentle dalam mengakui perasaan, dibandingkan dengan Pramoedya. “Perisai?” ulang Laila. “Apa saya terlalu lancang?” Elang sadar bahwa dirinya bersikap terlalu berani. “Ah, tidak,” sahut Laila diiringi gelengan pelan. “Terima kasih sebelumnya.” Elang tersenyum lembut, dengan tatapan lekat tertuju pada Laila. Sebagai pria dewasa yang pernah berumah tangga, dia pasti mengetahui bahasa tubuh dari lawan jenisnya. Begitu juga dengan yang Laila tunjukkan. Wanita cantik tersebut tampak gelisah. “Jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja ucapan saya tadi hanya sebatas candaan,” ucap Elang yang ikut merasa tak enak. “Tidak apa-apa. Saya justru tersanjung dengan ucapan Pak Elang tadi.” Beberapa saat berlalu. Perbincangan antara Laila dan Elang berakhir, karena sang akuntan
“Ries!” Kartika bermaksud berlari ke arah putranya. Namun, dengan segera Laila meraih lengan wanita paruh baya itu. Dia mencengkram erat pakaian Kartika, sehingga ibunda Aries tersebut kembali mundur. “Ingat yang sudah kukatakan sebelumnya, Bu,” ucap Laila penuh penekanan. “Kalau Ibu ingin Aries dipecat dari pabrik, silakan saja,” gertak wanita muda itu angkuh. Mendengar ucapan mantan menantunya tadi, Kartika langsung diam. Dia berdiri terpaku, dengan wajah menatap deretan paving block yang dirinya pijak. “Bu,” sapa Aries yang sudah berdiri di hadapan mereka. “Ibu sudah siap untuk pulang?” tanyanya dengan raut khawatir. Sebagai anak sulung Kartika, dia bisa merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan ibundanya. “Kenapa, Bu?” tanya Aries penasaran. Namun, Kartika hanya diam. Membuat Aries mengalihkan perhatian kepada Laila. “Ada apa dengan ibuku, La? Kamu apakan dia?” tanyanya penuh selidik. Nada bicara pria berkulit sawo matang
“Apa?” Aries sontak berdiri. Ekspresi terkejut tergambar jelas dari sorot matanya. Begitu juga dengan Kartika. Wanita paruh baya itu langsung menarik lengan Laila, agar menghadap padanya. “Jangan keterlaluan kamu, La! Saya sudah mengalah dengan tetap tinggal di sini! Kenapa kamu masih tetap memecat Aries? Mau makan apa Niar kalau dia sampai jadi pengangguran?” protes ibunda Aries tersebut tegas. Dia yang terbiasa meluapkan amarahnya saat di rumah, sudah tak tahan untuk memaki Laila habis-habisan. Namun, kedudukan Laila yang jauh lebih tinggi, membuat ibu dua anak itu harus menelan kembali kata-kata kotor yang akan dia layangkan. “Ibu pikir saja sendiri,” ucap Laila dengan sisi angkuh dalam dirinya. “Sejak kapan ada seorang karyawan yang berani bersikap kurang ajar terhadap pemilik dari tempatnya bekerja?” Wanita cantik itu tersenyum sinis, sambil mengalihkan perhatian kepada Aries. “Asal kamu tahu, Aries Lesmana. Sebentar lagi aku yang akan memimpin pabrik, tempat di mana kamu meng
Setelah mempertimbangkan saran Widura, keesokan harinya Laila mengunjungi rutan tempat Suratman ditahan. Laila ke sana dengan ditemani oleh Widura. Namun, ternyata Suratman menolak menemui dirinya. Entah apa yang menjadi alasan ayahanda Aries tersebut. Apakah dia malu, tak memiliki keberanian, atau merasa bersalah. Satu yang pasti, Laila dan Widura kembali tanpa bertatap muka lebih dulu dengan pria yang berprofesi sebagai satpam tersebut.“Saya sudah menduga hal ini, Pak,” ucap Laila pelan. Rasa kecewa tergambar jelas di paras cantiknya. Kasih sayang yang dia rasakan untuk sang ayah mertua, harus berakhir dengan perasaan terluka berbalut kebencian penuh dendam.Widura mengembuskan napas pelan. “Mungkin Suratman merasa terkejut. Siapa sangka jika Non Laila akan mengunjunginya di rutan,” ujar orang kepercayaan mendiang Reswara
“Kamu jangan curang, Laila! Jangan mentang-mentang sudah jadi orang kaya, lantas bisa bertindak seenaknya!” Meski telah menerima berbagai intimidasi dari Laila, ternyata Kartika tak pantang menyerah. Dia bukan tipe wanita yang mudah ditindas. “Lalu, apa sebutan untuk orang miskin yang sombong dan sok berkuasa?” Laila belum beranjak dari tempat tidur. Dia juga masih dalam posisi duduk seperti tadi, yaitu bersandar pada tumpukan bantal sambil meluruskan kaki jenjangnya. “Cih! Sok pintar!” gerutu Kartika pelan sambil memalingkan wajah. Meski Laila tak mendengar ucapan Kartika dengan jelas, tapi wanita cantik itu bisa memperkirakan kekesalan yang tengah melanda hati mantan ibu mertuanya. Laila tersenyum sinis. “Kalau Ibu masih berani membantah ucapanku, apalagi sampai berani memaki dan mengumpat seperti itu ….” Laila menjeda sejenak kalimatnya, sehingga membuat Kartika yang tadi memalingkan muka kembali mengarahkan perhatian dengan raut penasaran. Laila tersenyum sinis. “Kenapa? Apa
Aries sadar betul bahwa dirinya telah memantik amarah Laila. Dia juga dapat memperkirakan seperti apa kelanjutan nasibnya. Namun, pria berkulit sawo matang tersebut sedikit heran, karena Laila tak juga merespon apa yang dirinya ucapkan tadi. Hal itu membuat Aries bersikap waspada. Putra sulung pasangan Suratman dan Kartika tersebut yakin, bahwa Laila pasti sedang merencanakan sesuatu.Kecurigaan Aries semakin diperkuat, dengan adanya senyum tipis di bibir Laila. Lengkungan samar yang menyiratkan banyak hal. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tiba-tiba, Aries teringat akan keberadaan sang ibu di kediaman Keluarga Hadyan.Seketika, Aries membeku. Dia telah bertindak bodoh, karena melakukan kekonyolan seperti tadi. Aries berpikir bahwa Laila akan membalasnya dengan satu tamparan disertai caci-maki. Namun, ternyata sikap Laila jauh lebih elega