“Ries!” Kartika bermaksud berlari ke arah putranya. Namun, dengan segera Laila meraih lengan wanita paruh baya itu. Dia mencengkram erat pakaian Kartika, sehingga ibunda Aries tersebut kembali mundur. “Ingat yang sudah kukatakan sebelumnya, Bu,” ucap Laila penuh penekanan. “Kalau Ibu ingin Aries dipecat dari pabrik, silakan saja,” gertak wanita muda itu angkuh. Mendengar ucapan mantan menantunya tadi, Kartika langsung diam. Dia berdiri terpaku, dengan wajah menatap deretan paving block yang dirinya pijak. “Bu,” sapa Aries yang sudah berdiri di hadapan mereka. “Ibu sudah siap untuk pulang?” tanyanya dengan raut khawatir. Sebagai anak sulung Kartika, dia bisa merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan ibundanya. “Kenapa, Bu?” tanya Aries penasaran. Namun, Kartika hanya diam. Membuat Aries mengalihkan perhatian kepada Laila. “Ada apa dengan ibuku, La? Kamu apakan dia?” tanyanya penuh selidik. Nada bicara pria berkulit sawo matang
“Apa?” Aries sontak berdiri. Ekspresi terkejut tergambar jelas dari sorot matanya. Begitu juga dengan Kartika. Wanita paruh baya itu langsung menarik lengan Laila, agar menghadap padanya. “Jangan keterlaluan kamu, La! Saya sudah mengalah dengan tetap tinggal di sini! Kenapa kamu masih tetap memecat Aries? Mau makan apa Niar kalau dia sampai jadi pengangguran?” protes ibunda Aries tersebut tegas. Dia yang terbiasa meluapkan amarahnya saat di rumah, sudah tak tahan untuk memaki Laila habis-habisan. Namun, kedudukan Laila yang jauh lebih tinggi, membuat ibu dua anak itu harus menelan kembali kata-kata kotor yang akan dia layangkan. “Ibu pikir saja sendiri,” ucap Laila dengan sisi angkuh dalam dirinya. “Sejak kapan ada seorang karyawan yang berani bersikap kurang ajar terhadap pemilik dari tempatnya bekerja?” Wanita cantik itu tersenyum sinis, sambil mengalihkan perhatian kepada Aries. “Asal kamu tahu, Aries Lesmana. Sebentar lagi aku yang akan memimpin pabrik, tempat di mana kamu meng
Setelah mempertimbangkan saran Widura, keesokan harinya Laila mengunjungi rutan tempat Suratman ditahan. Laila ke sana dengan ditemani oleh Widura. Namun, ternyata Suratman menolak menemui dirinya. Entah apa yang menjadi alasan ayahanda Aries tersebut. Apakah dia malu, tak memiliki keberanian, atau merasa bersalah. Satu yang pasti, Laila dan Widura kembali tanpa bertatap muka lebih dulu dengan pria yang berprofesi sebagai satpam tersebut.“Saya sudah menduga hal ini, Pak,” ucap Laila pelan. Rasa kecewa tergambar jelas di paras cantiknya. Kasih sayang yang dia rasakan untuk sang ayah mertua, harus berakhir dengan perasaan terluka berbalut kebencian penuh dendam.Widura mengembuskan napas pelan. “Mungkin Suratman merasa terkejut. Siapa sangka jika Non Laila akan mengunjunginya di rutan,” ujar orang kepercayaan mendiang Reswara
“Kamu jangan curang, Laila! Jangan mentang-mentang sudah jadi orang kaya, lantas bisa bertindak seenaknya!” Meski telah menerima berbagai intimidasi dari Laila, ternyata Kartika tak pantang menyerah. Dia bukan tipe wanita yang mudah ditindas. “Lalu, apa sebutan untuk orang miskin yang sombong dan sok berkuasa?” Laila belum beranjak dari tempat tidur. Dia juga masih dalam posisi duduk seperti tadi, yaitu bersandar pada tumpukan bantal sambil meluruskan kaki jenjangnya. “Cih! Sok pintar!” gerutu Kartika pelan sambil memalingkan wajah. Meski Laila tak mendengar ucapan Kartika dengan jelas, tapi wanita cantik itu bisa memperkirakan kekesalan yang tengah melanda hati mantan ibu mertuanya. Laila tersenyum sinis. “Kalau Ibu masih berani membantah ucapanku, apalagi sampai berani memaki dan mengumpat seperti itu ….” Laila menjeda sejenak kalimatnya, sehingga membuat Kartika yang tadi memalingkan muka kembali mengarahkan perhatian dengan raut penasaran. Laila tersenyum sinis. “Kenapa? Apa
Aries sadar betul bahwa dirinya telah memantik amarah Laila. Dia juga dapat memperkirakan seperti apa kelanjutan nasibnya. Namun, pria berkulit sawo matang tersebut sedikit heran, karena Laila tak juga merespon apa yang dirinya ucapkan tadi. Hal itu membuat Aries bersikap waspada. Putra sulung pasangan Suratman dan Kartika tersebut yakin, bahwa Laila pasti sedang merencanakan sesuatu.Kecurigaan Aries semakin diperkuat, dengan adanya senyum tipis di bibir Laila. Lengkungan samar yang menyiratkan banyak hal. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tiba-tiba, Aries teringat akan keberadaan sang ibu di kediaman Keluarga Hadyan.Seketika, Aries membeku. Dia telah bertindak bodoh, karena melakukan kekonyolan seperti tadi. Aries berpikir bahwa Laila akan membalasnya dengan satu tamparan disertai caci-maki. Namun, ternyata sikap Laila jauh lebih elega
“Nona Laila?” Elang memberanikan diri menyapa. Mendengar suara yang tak asing tadi, Laila langsung menoleh dan terkesiap. “Pak Elang … sudah datang?” tanyanya salah tingkah. “Bukankah kita sudah janji untuk bertemu sekarang?” Elang tersenyum kecut. Sesekali, ekor matanya melirik Pramoedya yang juga tengah memandang ke arahnya. “Maaf, saya … saya ….” Laila terbata. Dia lalu menunduk dan memperhatikan celananya yang basah. Laila merasa sangat tidak nyaman atas kondisi itu. Terlebih, bagian bawah tubuhnya mulai menimbulkan bau yang tidak sedap. “Apa kita masih lama di sini? Tanganku sudah pegal menutupi pinggulmu,” celetuk Pramoedya enteng, tapi langsung memecah fokus Elang. Penasihat kepercayaan Widura itu menatap tajam Pramoedya. Namun hal itu tak berlangsung lama. Dia kembali mengarahkan pandangannya pada Laila yang bersemu merah karena malu. “Apa ada sesuatu yang terjadi sebelum saya datang?” tanya Elang pelan dan hati-hati. “Ah, iya … ini …. Celana saya basah terkena air waktu
“Aku akan menyuruh sopir mengantarkannya ke rumahmu. Aku sibuk,” jawab Laila ketus. “Bukan seperti itu caranya. Tidak sopan sekali,” sahut Pramoedya enteng. “Lalu?” “Sudah kukatakan tadi. Kamu yang harus mengantarkannya sendiri. Kutunggu sekarang juga,” tegas Pramoedya, seakan tak ingin menerima penolakan. “Apa? Tidak bisa!” Laila tetap menolak tegas. “Apa perlu kuceritakan pada Pak Adnan dan Pak Widura, tentang pertemuan pertama kita?” Pramoedya mulai melancarkan ancamannya. “Astaga.” Laila menggeleng tak percaya. Dia mulai putus asa menghadapi sikap Pramoedya yang teramat menyebalkan. “Dengar ya, Pak Pramoedya Ekawira van Holst! Kalau kamu
Laila membelalakan mata, mendengar jawaban tak terduga dari Pramoedya. Dia sama sekali tak pernah mengira, bahwa Pramoedya akan berpikir ke arah sana. Terlebih, pria itu mengambil keputusan tanpa mengatakan apa pun terlebih dulu padanya. “Apa? Melamar?” Pertanyaan bernada protes, Laila layangkan terhadap pria tampan dengan T-Shirt hitam lengan panjang di hadapannya. “Apa maksudnya dengan melamar?” Pramoedya tidak segera menjawab. Pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya, seakan meremehkan tanda protes Laila. Pramoedya bahkan tersenyum kalem. dan tak terpengaruh oleh sikap tak bersahabat yang Laila tunjukkan. “Memangnya kenapa?” Bukannya memberi jawaban, dia justru balik bertanya. “Dasar gila!” maki Laila jengkel. Wanita cantik dengan maxi dress beludru warna biru tersebut membalikkan badan, hendak berlalu dari hadapan Pramoedya. Namun, tentu saja Pramoedya tak akan membiarkan hal itu. Dia langsung mencegah. Pramoedya meraih pinggang Laila, kemudian menariknya ke dalam dekapan.
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan