Keesokan harinya, Aries kembali membawa Laila ke tempat Lucy. Dia disambut oleh seorang wanita, yang kemarin mengantar Laila ke dalam mobil milik Wira.
“Hai, Sel,” sapa Aries. Lagi-lagi, sikapnya terlihat sangat hangat dan akrab. “Carikan tamu lagi untuk istriku,” bisiknya.
“Jam segini? Astaga, Ries.” Si wanita berdecak pelan. Sebelum dirinya kembali bicara kepada pria itu, dering panggilan lebih dulu masuk. “Ya, madam?” sapanya, kemudian manggut-manggut. Sesaat kemudian, panggilan berakhir.
“Kebetulan sekali, Ries. Bule kaya itu sepertinya tertarik sama istri kamu,” ujar wanita tadi.
“Bukannya itu bagus, Sel? Aku lagi butuh uang banyak sekarang,” ujar Aries.
“Ya, sudah. Sebentar lagi, ajudannya datang buat jemput istri kamu.”
Sesuai dengan yang wanita itu katakan, Damar tiba sekitar sepuluh menit kemudian.
Laila yang tak ingin banyak membantah, ketika wanita tadi mengantarnya ke dekat mobil. Setelah itu, anak buah germo bernama Lucy tersebut kembali masuk. Dia meninggalkan Laila yang berdiri kikuk.
“Siang, Mbak,” sapa Damar sopan.
“Siang, Mas,” balas Laila tak kalah sopan.
“Silakan masuk. Pak Pram sudah menunggu di dalam,” ucap Damar seraya membuka pintu mobil.
Seketika, Laila terpaku. Napasnya seakan tercekat di tenggorokan, saat melihat pria tampan yang telah memberinya uang tujuh juta, ada di dalam mobil sedan mewah tadi.
“Masuklah, Laila,” suruh pria yang memperkenalkan diri dengan nama Wira. Akan tetapi, Damar justru memanggilnya dengan sebutan Pak Pram.
Ragu. Laila melangkah semakin mendekat, lalu masuk. Setelah itu, barulah Damar menutup pintu. Dia bergegas ke belakang kemudi.
Laila duduk terdiam di jok belakang bersama pria berwajah bule tadi. Dia tahu bahwa pria itu terus memperhatikannya. Namun, Laila pura-pura tak peduli. Wanita cantik dengan pakaian sederhana tersebut, menatap lurus ke depan.
“Apa kita akan langsung ke apartemen, Pak?” tanya Damar.
“Ya,” jawab pria bermata hazel itu.
Beberapa saat kemudian, sedan hitam yang Damar kendarai telah tiba di tempat tujuan. Laila kembali dibawa ke ruang apartemen mewah, yang membuatnya harus rela melepaskan kehormatan serta harga diri, sebagai wanita yang memegang adat ketimuran. Kali ini, hal serupa mungkin akan terulang kembali.
“Selamat datang, Laila. Meskipun kamu mengatakan bahwa kita tidak akan bertemu lagi, tapi aku memiliki kuasa. Akulah yang menentukan.” Sang pemilik tempat itu berdiri di hadapan Laila. Menatap lekat, seakan tengah menikmati kecantikan yang baru dilihatnya.
“Siapa nama Anda sebenarnya?” tanya Laila, membalas tatapan pria tampan tadi.
“Aku tidak pernah menyebutkan nama asli kepada wanita penghibur manapun. Kamu mendapat pengecualian. Namaku Pramoedya Ekawira van Holst,” ucap pria itu, sambil menyentuh bibir Laila menggunakan ibu jari.
“van Holst?” Laila mengernyitkan kening.
“Ya. Itu merupakan nama belakang ayahku. Dia berasal dari Belanda. Sedangkan, ibuku adalah wanita pribumi sepertimu,” ucap pria bernama asli Pramoedya tadi, kemudian mencium Laila.
Kali ini, Laila tidak menolak. Dia berusaha menikmati apa yang dilakukannya. Jika Aries memanfaatkan dirinya demi kepentingan sendiri, maka Laila pun bisa bekerja sambil bersenang-senang. Walaupun, di sisi lain dia harus menanggalkan segala norma tentang adat ketimuran.
Amarah dan sakit hati bercampur menjadi satu. Perasaan terhina serta tak berdaya, membuat Laila mencoba mencari jalan lain demi mengobati diri. Dia sudah terlanjur jatuh dan menjadi murahan. Tak gunanya lagi mempertahankan apa yang menjadi ideologinya. Terlebih, yang dia hadapi kali ini adalah pria setampan Pramoedya.
“Berapa yang kamu inginkan untuk kencan kita kali ini?” tanya Pramoedya dengan suara beratnya. Pelan dan dalam, tapi terdengar jelas di telinga Laila.
Hanya dengan mendengar suara serta helaan napasnya, angan dalam diri Laila seketika memberontak. Pikiran nakal mulai bertahta, dan memenuhi benak wanita dua puluh lima tahun tersebut. Laila memejamkan mata sejenak, demi mengembalikan segala akal sehat yang mulai tergoda rayuan setan. Bisik penuh keindahan memaksanya menunjukkan sisi liar, yang selama ini tersembunyi di balik segala keluguan.
“Dua puluh juta,” jawab Laila tanpa ragu. Lagi-lagi, angka itu yang keluar dari bibirnya.
“Dua puluh juta?” ulang Pramoedya diiringi senyum kalem. “Aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam beberapa menit. Tak masalah jika kubagi sedikit denganmu," ujarnya.
“Sungguh?” Sepasang mata Laila berbinar. Dia tak percaya, bahwa Pramoedya bersedia memberikan yang dirinya pinta.
Pramoedya tidak menjawab dengan kata-kata. Pria itu kembali memamerkan senyumnya yang menawan. “Kamu sudah tahu apa saja persyaratannya,” ucap sang pemilik ruang apartemen super mewah tersebut. Dia mengajak Laila ke kamar. “Temani aku mandi,” pintanya bernada perintah.
Laila tak bisa menolak. Wanita itu pasrah, ketika Pramoedya melucuti seluruh pakaiannya, lalu menuntun ke kamar mandi. Mereka masuk ke shower box. Laila melakukan sedikit ritual di dalam sana, demi memanjakan bule tampan kaya raya tadi.
“Aku suka saat kamu melakukan ini,” ucap Pramoedya, dengan helaan napas berat. Sesaat kemudian, pria itu membantu Laila bangkit.
“Bagaimana jika kuberi lebih?” tawar Pramoedya, saat mereka berdiri di bawah guyuran air dari shower.
“Apa imbalannya?” tanya Laila.
“Kamu sudah tahu,” jawab pria bermata hazel tadi seraya mengangkat tubuh Laila, lalu menyandarkannya ke dinding. Ciuman mesra menjadi pembuka, babak kedua percintaan panas yang kembali terulang.
Menjelang petang, Pramoedya mengakhiri kencan akhir pekannya bersama Laila. Dia mengantar wanita itu pulang. Bagi seseorang yang berasal dari kalangan atas seperti dirinya, ini adalah pertama kali mengunjungi kawasan padat penduduk dengan jalan cukup sempit.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Pramoedya, seraya menatap aneh kepada Laila.
Laila mengangguk. “Aku tinggal di rumah mertua. Sebelum menikah, aku bahkan hidup di panti asuhan,” jawab Laila. Sepertinya, dia sudah mulai menemukan kenyamanan dalam diri Pramoedya.
Pramoedya menggumam pelan. Dia tak tahu harus menanggapi bagaimana.
“Setelah mengantar uang ini, apakah aku boleh ikut dengan Anda?” tanya Laila ragu.
“Apa maksudmu ikut denganku?” Pramoedya menaikkan sebelah alisnya, karena tak mengerti.
“Tadi, Anda bilang bahwa aku mendapat pengecualian. Kupikir, itu berlaku untuk hal lain juga,” ucap Laila lesu.
Pramoedya tersenyum simpul. “Laila, Laila,” ucapnya diiringi decakan pelan. “Aku sudah membayarmu. Artinya, kebersamaan kita berakhir setelah transaksi selesai. Jika aku memberimu pengecualian, itu karena aku menghendakinya. Bukan berarti lebih,” jelas Pramoedya penuh wibawa.
Laila merasa tertampar dengan ucapan pria tampan itu. Seharusnya, dia sadar diri sejak awal. “Maaf,” ucap Laila seraya meremas tali tas. Dia membuka pintu mobil, kemudian bergegas keluar tanpa menoleh lagi. Wanita itu merasa malu dan teramat bodoh.
“Dari mana, Nak? Apa yang ada dalam tas itu?” Pertanyaan tadi seketika membuat Laila tersadar. Dia mendapati Suratman, sudah berdiri di teras rumah.
Laila tertegun sejenak. “Kupikir, Bapak belum pulang,” ucapnya, seraya berusaha menyembunyikan rasa gugup dengan tersenyum.“Bapak baru datang. Pak Wisnu pulang lebih cepat dari Kuala Lumpur.” Suratman menatap penuh selidik kepada Laila. “Itu apa, La?” tanyanya lagi.Laila berusaha menetralkan rasa gugupnya terlebih dulu. Barulah dia menghampiri Suratman. “Ini … ini pakaian bekas. Bu Narti menyuruhku ke rumahnya. Dia memberikan beberapa baju yang masih layak pakai,” jelas Laila berbohong. Seketika, raut wajah Suratman berubah sendu. Terenyuh hatinya mendengar ucapan Laila. “Apa Aries tidak pernah memberimu uang untuk beli baju baru?” Laila menggeleng pelan. Boro-boro membelikan baju baru, Aries justru tega menjualnya demi mendapatkan uang. “Apa Bapak mau kopi?” tanya Laila, mengalihkan topik pembicaraan. Belum sempat Suratman menjawab, Aries lebih dulu muncul. Dia khawatir, jika Laila berkata jujur kepada sang ayah. “Sudah pulang, La. Ayo, aku butuh bantuanmu.” Tanpa menunggu jawa
“Tenanglah, Bu,” cegah Aries. Dia yang sangat mengenal watak Kartika, langsung menarik mundur wanita paruh baya itu. Aries bahkan sampai harus memegangi kedua lengan sang ibu, yang kembali hilang kendali. “Kami datang kemari untuk meminta keterangan secara langsung dari Pak Suratman sendiri. Akan tetapi, tentu saja tidak di sini. Jadi, kami sarankan agar Pak Suratman bisa ikut ke kantor secara baik-baik. Mari bekerja sama, agar kasus ini bisa terkuak dengan jelas,” ucap sang petugas lagi baik-baik.“Suami saya orang baik, Pak polisi! Dia tidak mungkin menculik anak orang! Lagi pula, selama ini dia sangat menyayangi Laila!” sanggah Kartika berapi-api, sambil terus menunjuk-nunjuk kepada petugas polisi tadi. Sesaat kemudian, Kartika mengalihkan perhatian kepada Adnan dan Mayang. “Anda berdua ini sebenarnya siapa? Kenapa main tuduh saja terhadap suami saya! Lagi pula, Laila itu yatim piatu! Dia anak panti asuhan. Mana ada ….”“Laila keponakan kami yang dinyatakan hilang, saat berusia d
“Pak Reswara tidak bisa berkomunikasi dengan normal, karena kondisinya. Kami selalu mengusahakan perawatan terbaik untuk beliau,” jelas Widura penuh wibawa. Pria itu memiliki pembawaan yang sangat tenang dan terlihat cermat. “Memangnya, ayahku sakit apa?” tanya Laila penasaran. “Pak Reswara mengalami komplikasi. Sejak Nona menghilang, situasi di rumah ini menjadi tidak menyenangkan lagi. Ditambah dengan kondisi mendiang ibu Anda yang juga begitu terpukul. Semuanya menjadi semakin buruk,” terang Widura. Pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu terdiam sejenak, sambil memperhatikan Reswara yang tak berdaya. Sesaat kemudian, Widura mengalihkan perhatian kepada Laila. “Sebaiknya, kita biarkan Pak Reswara beristirahat.” Pria paruh baya itu mengajak Laila keluar dari kamar. Sebelum beranjak dari sana, Laila menyempatkan diri mengecup punggung tangan sang ayah. “Mari, Nona.” Widura mengisyaratkan agar Laila mengikutinya. Dia mengajak Laila melihat seluk-beluk rumah megah itu, hi
Laila memalingkan wajah, karena tak nyaman melihat adegan seperti itu. Terlebih, yang menjadi ‘lawan main’ Marinka adalah Pramoedya.Segala kekaguman yang pernah Laila rasakan terhadap pria berdarah Belanda itu, seketika sirna dari hatinya. Laila sadar, bahwa Pramoedya pasti akan lebih memilih wanita seperti Marinka yang cantik dan berpenampilan modis serta modern. Selain itu, Marinka juga tentunya berpendidikan tinggi. Pramoedya yang sudah menghentikan pertautannya dengan Marinka, menoleh ke arah Laila yang segera berlalu ke beranda samping. “Siapa dia?” tanya pria tampan bermata hazel tersebut. “Dia Athalia. Sepupuku yang baru kembali ke rumah ini,” jawab Marinka tak acuh. Dari cara dan sikapnya saat membicarakan Laila, tampak jelas bahwa putri pasangan Mayang dan Adnan tersebut tidak menyukai kehadirannya di sana. “Athalia?” ulang Pramoedya seraya menaikkan sebelah alisnya. Marinka hanya mengangguk. “Jangan macam-macam. Aku tidak akan memaafkanmu, bila sampai kamu ketahuan m
Laila mendelik sembari tersenyum puas. “Hantaman itu tidak seberapa, dan tak akan membuat Anda jadi hilang kejantanan,” cibir wanita cantik tadi sinis. Dia mendorong tubuh Pramoedya. Pria tampan tersebut masih meringis menahan rasa ngilu, di bagian ‘pusat tata surya’ yang Laila hantam dengan lutut.“Kamu ….” Pramoedya tampak begitu gemas. Tangannya bergerak cepat meraih pergelangan Laila, lalu menarik dan kembali menyandarkan wanita itu ke dinding. Kali ini, pria berdarah Belanda tersebut lebih berhati-hati, dalam mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan Laila lakukan lagi terhadap dirinya.“Lepaskan aku!” Laila mencoba berontak. Namun, tenaga Pramoedya terlalu kuat untuk dilawan.“Bisa diam tidak? Kalau kamu terus berontak, jangan sala
“Apa? Jangan mengada-ada kamu!” Marinka melotot tajam. Nada bicaranya pun terdengar jauh lebih tidak bersahabat dibanding sebelumnya.“Mana mungkin saya berani bicara bohong sama Non Marinka. Bisa-bisa, nanti saya malah dipecat dari sini,” bantah Lena meyakinkan. Tampaknya, dia sudah terbiasa dengan sikap ketus wanita muda itu.“Apa yang mereka berdua lakukan di sana?” tanya Marinka bernada mendesak. Raut wajahnya sudah terlihat tak karuan, karena tidak sabar atas berita yang akan Lena sampaikan.Lena terdiam sejenak, sebelum mulai bercerita. “Saya memang tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, saya melihat Pak Pram memperlakukan Non Laila, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama,” tutur Lena dengan gaya bicara, yang mencerminkan seberapa licik dirinya.“Perlakuan seperti apa maksudmu?” Rasa penasaran dalam diri Marinka kian bertambah. Berp
Di kediaman Keluarga Hadyan, semua orang tengah sibuk mempersiapkan pesta yang diselenggarakan untuk penyambutan Laila. Sementara, Laila sendiri tengah memanjakan diri di salon kecantikan dengan ditemani Mayang dan Dara. Namun, tentunya Dara hanya menjadi penonton dua wanita dari keluarga kaya tadi. “Kapan-kapan, Tante akan mengajak kamu ke klinik kecantikan langganan Tante. Siapa tahu, kamu ingin konsultasi dengan dokter ahli,” ucap Mayang, seraya menoleh sekilas kepada Laila yang tengah menjalani perawatan kuku. “Tentu, Tante. Aku mau,” balas Laila senang. Dia mengarahkan pandangan ke cermin. Menatap perubahan yang telah membuat wanita muda itu menjadi semakin cantik. Laila merasa puas. Meski dia pernah merasa hancur dan merasa begitu rendah, tapi kali ini harga dirinya kembali terangkat berkali lipat. “Terima kasih, Tuhan,” ucap Laila pelan, saat dirinya sudah kembali ke rumah. Wanita cantik berambut panjang itu duduk di dekat tempat tidur, di mana sang ayah terbaring lemah. La
Pramoedya tersenyum kalem. Terlebih, saat Laila menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis. Pria itu sudah sangat percaya diri. Dia bersiap hendak berjalan menghampiri wanita cantik dengan maxi dress satin model v neck warna silver, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Namun, Pramoedya langsung terpaku, saat menyadari bahwa perhatian Laila ternyata bukan tertuju padanya.Adalah Elang, pria yang lebih dulu menghampiri Laila. Mereka bersalaman dan saling melempar senyum. Keduanya juga tampak berbincang sebentar, sebelum Adnan membuka acara itu.“Terima kasih atas kesediaan saudara-saudara semua, yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta kecil-kecilan ini. Saya atas nama perwakilan dari Keluarga Hadyan. Kebetulan, karena kakak saya Reswara Hadyan saat ini masih terbaring sakit. Sehingga, tidak memungkinkan bagi beliau untuk ikut serta dan menyambut anda sekalian di sini.” Adnan membuka pesta itu dengan sapaan hangat dan agak formal.
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan