Pramoedya berdiri mematung, dengan telepon genggam yang masih menempel di dekat telinga. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan Laila. Pramoedya hanya mendengar suara tak beraturan, yang kemudian diakhiri dengan teriakan panjang wanita itu. Setelahnya, semua lenyap dari pendengaran.“Laila?” Pria tampan tersebut menggumamkan nama Laila.Pramoedya segera meraih T-Shirt lengan pendek dari kasur. Setelah berpakaian, dia bergegas keluar kamar sambil membawa kunci mobil. Tujuan utamanya adalah kediaman Keluarga Hadyan. Sambil mengemudikan mobilnya dalam kecepatan cukup tinggi, pria tampan berdarah Belanda tadi menghubungi seseorang. “Apa Laila ada di rumah?” tanyanya.“Tidak, pak. Dia pergi sejak tadi, tapi belum kembali hingga sekarang,” jawab seseorang dari seberang sana.Pramoedya tak banyak bertanya lagi. Dia langsung mengakhiri panggilan. Sesaat kemudian, pria itu memelankan laju kendaraan, melihat keramaian
Malam itu, Pramoedya menemani Laila berada di klinik. Keesokan harinya, barulah mereka pergi dari sana, setelah sebelumnya melunasi seluruh biaya administrasi. Seperti yang sudah disepakati semalam, Laila tak pulang ke kediaman Keluarga Hadyan. Dia memilih ikut Pramoedya ke rumah pria tampan tersebut. Pramoedya menghentikan laju kendaraan di halaman kediaman mewahnya. Dia bergegas keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Laila. Saat Pramoedya bermaksud membopong wanita cantik itu, dengan cepat Laila menolaknya. “Aku masih bisa berjalan sendiri,” ujar Laila ketus. Dia keluar dari mobil, tanpa memedulikan Pramoedya yang hanya menanggapi dengan hembusan napas pendek. “Nona besar,” gumam Pramoedya, seraya mengikuti Laila yang sudah menaiki undakan anak tangga menuju teras. “Aku lupa siapa tuan rumahnya di sini,” sindir pria tampan berdarah Belanda itu, menanggapi sikap Laila yang mendahuluinya ke pintu. Laila tertegun. Dia baru sadar, bahwa saat ini sedang berada di kediaman Pra
Laila langsung tertegun mendengar nama Marinka. Dia menoleh kepada Pramoedya, lalu mengalihkan pandangan pada tangan yang tengah digenggam pria itu. “Temui dia,” ucapnya, seraya berusaha melepaskan tangan Pramoedya.Pramoedya tak segera menanggapi. Dia memberi isyarat kepada asisten rumah tangga yang tadi memberi laporan, agar meninggalkannya berdua dengan Laila. Setelah pelayan tadi berlalu dari sana, Pramoedya memusatkan perhatian kepada wanita cantik yang tampak sedikit merajuk itu.“Kuharap, ini merupakan bagian dari rasa cemburu,” ujar Pramoedya diiringi senyum kalemLaila tak menyahut. Dia justru memalingkan wajah. “Kamu terus merayuku, sementara Marinka ternyata masih suka datang kemari menemuimu. Apa-apaan itu? Dasar pria! Semua saja saja.” Laila mendengkus pelan. “Sudahlah! Cepat temui dia! Jangan buat kekasihmu menunggu terlalu lama!” Wanita muda itu membalikkan badan, bermaksud hendak ber
“Laila?” Pramoedya tersenyum simpul, pada wanita cantik di hadapannya. “Aku sudah mengusir sepupumu,” ujar pria itu enteng.Namun, Laila tidak menyahut. Wanita dengan perban di kepalanya itu hanya menatap aneh pada Pramoedya.“Kenapa?” tanya Pramoedya seraya berjalan mendekat. “Aku tidak melakukan apa pun dengan Marinka. Kamu bisa memeriksanya di kamera pengawas, jka tidak percaya."Laila mengangguk samar, lalu menundukkan wajah.“Hey, kenapa?” Pramoedya mengangkat pelan dagu Laila. “Apa ada sesuatu yang membebanimu?” tanya pria itu lembut, tanpa melepas kesan wibawa dalam dirinya.Laila tidak menjawab. Hanya setetes air mata yang mewakili perasaan dan segala hal yang ingin dia ungkapkan.“Apa kamu merasa takut?” tanya Pramoedya, seakan bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Laila.“Aku hanya wanita biasa, Pram. Apakah sa
Malam terasa begitu singkat, karena tak lama kemudian alarm sudah berbunyi nyaring. Laila menggeliat pelan, lalu membuka mata perlahan. Ketika telah sepenuhnya sadar, wanita cantik itu langsung terkejut. Dia mendapati Pramoedya yang sedang menatapnya sambil tersenyum kalem. “Hai, Cantik. Selamat pagi,” sapa Pramoedya lembut, diiringi senyum menawan.“Pa-pagi, Ka-kamu tidur di sini?” balas Laila tergagap. Dia ingat semalam dirinya meminta Pramoedya agar menemaniya. Namun, Laila tak menyangka bahwa dia dan pria tampan tersebut akan tidur di ranjang yang sama.Laila terdiam sejenak, kemudian meraba tubuhnya sambil terus berbaring. Laila bernapas lega, karena dirinya masih berpakaian lengkap.“Tidak terjadi apa pun semalam. Kita hanya tidur bersama, tapi tidak melakukan apa-apa,” ujar Pramoedya, yang seakan paham dengan sikap Laila.“Syukurlah,” ucap Laila pelan, meski itu tak ber
“Ya, Tuhan. Kamu memang pandai bicara.” Laila menggeleng samar. “Sudahlah. Aku mau ke kamar mandi dulu.” Dia membalikkan badan. Namun, dengan cepat Pramoedya menahan gerak Laila. “Tidak bisakah kita ….” Pramoedya menarik tangan wanita cantik itu, hingga masuk ke pelukannya. Pria tampan tersebut sudah hendak kembali mencium Laila. “Tolonglah, Pram. Bisa-bisa aku pipis di celana lagi seperti waktu itu.” Laila memelas, memohon agar Pramoedya melepaskannya. “Kamu tahu aku tidak punya baju dan celana ganti.” Bukannya menuruti permintaan Laila, Pramoedya justru tertawa geli. Dia sengaja mengajak wanita itu bermain-main. “Pram! Kumohon!” Laila berontak. Dia sudah tak tahan ingin ke kamar mandi. Namun, Pramoedya justru sengaja menahannya. Pria itu tertawa puas, melihat Laila yang meronta, meminta agar segera dilepaskan. Si pemilik mata hazel tadi baru diam, saat Laila tak bergerak. “Kenapa?” tanyanya. Laila tidak menjawab. Sepasang matanya mengarah ke bawah, pada tetes-tetes air di
Widura tak segera mengomentari ucapan Laila. Pria paruh baya itu hanya menatap sang nona muda, dengan sorot tak dapat diartikan. Hal itu bisa dipahami oleh Laila. Berhubung, Widura pernah mengingatkan dirinya tentang siapa Pramoedya Ekawira van Holst.Sementara, Pramoedya hanya tersenyum simpul. Tak lama lagi, Laila akan benar-benar menjadi miliknya. Meski dia belum memiliki bayangan tentang konsep pernikahan, apalagi dalam situasi Laila saat ini yang tengah menyembunyikan diri dari semua orang. Namun, keputusan Laila yang setuju untuk menikah dengannya, sudah menjadi kabar paling menggembirakan untuk saat ini.“Anda akan menikah dengan Pak Pramoedya?” Widura seperti tak percaya, dengan apa yang didengarnya barusan. “Ini sangat mengejutkan,” ujar pria paruh baya itu lagi.Laila mengangguk pelan, diiringi senyum kecil. Harus diakui, bahwa itu merupakan keputusan mendadak yang dirinya ambil. Akan tetapi, Laila tak memiliki
Beberapa hari telah berlalu. Kondisi Laila sudah semakin membaik. Persiapan pernikahan pun telah dirampungkan, yaitu pengurusan beberapa dokumen yang diperlukan sebagai syarat untuk daftarkan ke kantor catatan sipil.Atas bantuan Damar dan Widura, akhirnya tiba juga waktu yang dinantikan oleh Pramoedya serta Laila. Dengan tampilan sederhana tapi tetap terlihat berkelas, hari itu Laila resmi menjadi istri seorang Pramoedya Ekawira van Holst. Pria berdarah Belanda, yang memutuskan melepas masa lajang di usia tiga puluh empat tahun.“Selamat, Pak. Akhirnya, Anda menjadi seorang suami,” ucap Damar. Pria yang merupakan ajudan pribadi Pramoedya tersebut tak pernah mengira, bahwa sang majikan akan jatuh cinta pada Laila.“Terima kasih, Damar,” balas Pramoedya kalem, seraya menerima jabat
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan