Saat itu Tasya hanya mengangguk cuek. Tetapi wajahnya langsung berubah drastis saat pria yang membelakanginya menoleh ke arahnya. "KAMU?!" Ternyata suara itu bukan hanya keluar dari mulut Tasya, tetapi Fadil juga menemukan hal yang sama. Lelaki itu bahkan reflek berdiri, jarak Tasya dan Fadil yang tidak terlalu jauh sangat mudah bagi lelaki itu menjangkau Tasya. Sedangkan Diaz dan Mutia hanya melihat mereka dengan terbengong? jadi mereka saling kenal? "Ternyata kamu di sini? Aku sudah mencarimu ke mana-mana ternyata kamu di sini? Dengar, ya ... aku tidak akan melepaskan kamu lagi!" Dengan arogan Fadil langsung memanggul Tasya seperti seorang kuli memanggul beras. "Dasar lelaki gila! lepaskan aku!" teriak Tasya sambil memukul punggung belakang lelaki itu, memberontak agar dilepaskan. "He, Fadil?! Apa yang kau lakukan?!" tanya Diaz yang heran melihat temannya seagresif itu. "Diaz, aku pergi dulu! terima kasih sudah membawaku ke sini!" teriak Fadil tidak menghiraukan sekita
"Lepaskan!!" teriak Tasya ketika dia dimasukkan ke dalam mobil SUV yang dikendarai Fadil "Lepaskan? heh, ngimpi aja kamu. Bagaimana aku bisa melepaskan kamu? aku terus saja mencarimu ke mana-mana, eh tahunya kamu itu temannya Mutia, kalau tahu gitu sudah dari kemarin-kemarin aku ketemukan kamu." "Dasar lelaki gila! kamu akan membawaku ke mana?" ujar Tasya dengan wajah cemas "Ke mana saja, yang penting bisa mengurung kamu supaya tidak berkeliaran dan kabur lagi." "Apa?! ya, Allah ... mimpi apa aku bisa sial begini ketemu orang kayak kamu." "Astaga naga pak ogah! kamu ini yang perempuan aneh! biasanya perempuan itu kalau direnggut keperawanannya bakalan menuntut orang yang merenggutnya, ini aku sebagai lelaki ingin bertanggung jawab padaku eh, kamunya malah gak mau. situasi seperti ini itu biasanya yang dirugikan yang perempuan loh, sebagai lelaki aku sih gak rugi apa-apa, malah untung bisa mencicipi tubuh perawan kamu." Fadil nampak sedikit frustasi menghadapi sikap Tasya
"Benar-benar kamu ini keterlaluan! kayak besok bakalan kiamat sehingga gak ada hari lain. Ngapain sih cepat-cepat begitu?" "Ya lebih cepat lebih baik dong. Terus terang saja, aku sudah gak tahan pengen main lagi sama kamu, kecuali kamu nggak apa-apa kita main tanpa adanya ikatan pernikahan." "Main? main apa maksud kamu? jangan bilang main kuda-kudaan, ya!" "Ya, apa lagi permainan orang dewasa kalau gak begitu? gak mungkin kan main kelereng?" "Ya Salaam ... apa salah dan dosaku di masa kalau ya, Tuhan ... kenapa kau hukum aku bertemu dengan orang edan seperti ini?" keluh Tasya sambil menetap ke atas. Melihat nada frustasi Tasya, Fadil sungguh merasa lucu. lelaki itu tertawa melihat tingkah konyol gadis itu. "Kenapa ketawa?! nggak ada yang lucu tahu! sekarang putar balik, kita kembali ke hotel tadi!" "Kembali ke hotel? jadi kamu gak nolak kalau aku ajak tidur bareng?" goda lelaki itu dengan senyum-senyum sendiri. "Eh, ngarep! aku mau balik lagi ke hotel karena malam ini
Ketika mereka tengah melangkah di lobi hotel, ternyata mereka bertemu dengan Mutia dan Diaz, Mutia yang melihat dokter Fadil dan Tasya tengah bergandengan tangan, dia langsung takjub melihat pemandangan itu. "Sya, kamu dari mana aja?" Tasya yang terkejut mendengar teguran Mutia, spontan langsung melepaskan pegangan tangan Diaz, tetapi karena sudah terlanjur dilihat Mutia, maka hal itu juga percuma saja. "Fadil, tidak nyangka ternyata perempuan yang kamu bilang selama ini itu temannya Mutia? tahu gitu kenapa kamu pusing-pusing mencari ke mana-mana?" ujar Diaz dengan seringai. "Iya, nih. Tahu gitu kita bisa double date dari dulu," keluh Fadil. "Apaan sih?" tanggap Tasya dengan ketus. "Sya, jadi ... dokter Fadil ini, orang yang itu?" tanya Mutia dengan mengedipkan mata memberi kode "Iya!" jawab Tasya singkat, Tasya juga paham jika pertanyaan Mutia mengarah pada malam ONS itu. "Eh, jadi kamu seorang dokter?" tanya Tasya dengan terpana saat dia menyadari perkataan Mutia.
"Sayang, ini siapa? kok gak dikenalkan sama Mas sih?" tanya Fadil. Tasya hanya melotot mendengar Fadil berbicara begitu mesra, pakai panggil sayang pula. Ya, ampun ... kenapa dalam waktu sehari, dia sudah memiliki seorang calon suami?"Oh, Saya Ridwan. Pamannya Tasya, adik kandung papanya Tasya." Ridwan dengan rendah hati dan antusias mengulurkan tangan pada Fadil."Saya Fadil, Om. Calon suaminya Tasya.""Kamu masih jadi pacar atau memang sudah jadi calon suaminya?" tanya Ridwan."Insyaallah saya serius sam Tasya, Om. Dari tadi saya sudah meminta Tasya untuk membawa saya kepada orang tuanya untuk saya lamar.""Dari tadi?" Ridwan mengernyit heran mendengar kata itu."Iya, soalnya karena kesibukan saya dan Tasya, baru bisa ketemu tadi. Jadi saya mengatakan niat saya baru tadi, Om.""Memangnya kalian sudah berapa lama berhubungan?""Sudah dua Minggu, Om.""Baru dua Minggu?" "Bagi saya dua Minggu itu waktu yang cukup untuk mengajak ke pelaminan, om. kalau sudah sama-sama cocok, untuk a
"Biar aku bukakan pintunya," ujar Mutia dengan nada malas. Mutia berjalan dengan lesu menuju pintu, namun ketika pintu sudah terbuka, matanya yang masih terbuka separuh terbelalak melihat kedua lelaki itu sudah berdiri di pintu kamar. "Kalian? pagi-pagi sudah ke sini, mau ngapain?" "Pakai nanya lagi! cepat siap-siap. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintah Diaz. "Mana Tasya?!" tanya Fadil dengan tidak sabaran. "Masih tidur, ini masih pagi banget. Kami check out dari hotel jam 12 siang." Dengan tidak sabaran, Fadil langsung merangsek masuk ke dalam kamar. "Dokter Fadil, tidak sopan langsung masuk dalam kamar perempuan," seru Mutia. Tetapi Fadil tidak menggubrisnya, malah terus melangkah ke tempat tidur. "Ngapain musti nunggu jam 12 siang, cepat aku tinggi sepuluh menit harus bersiap, kalau nggak biar aku yang menyiapkan!" perintah Diaz dengan tatapan serius. "Sepuluh menit? yang benar aja! kamu belum ada yang mandi" "Baiklah, lima belas menit! kalau belum juga
Diaz hanya mendengus jengkel sepanjang jalan, pasalnya ketika mereka mulai masuk mobil, Tasya dan Mutia berbarengan duduk di bangku belakang, sementara dia terpaksa duduk di bangku depan bersama Fadil yang memegang kemudi. Tadi dalam bayangannya dia bersama Mutia duduk di belakang, sehingga dia bisa memegang tangan wanita itu dengan mesra atau minimal berdekatan. Entah kenapa aroma tubuh Mutia benar-benar sudah membuatnya gila. Ha ... ha ... ha ... Terdengar tawa dari dua wanita di belakang yang cukup menarik perhatian, Mutia dan Tasya rupanya tengah membahas reaksi Raid saat mengetahui Tasya memiliki suami. "Eh, aku lihat dia tadi di lobi." "Sepertinya dia mau jalan-jalan dengan keluarga kecilnya." "Em, ya sebenarnya bener sih maunya kita ambil kesempatan jalan-jalan, toh check out dari hotel juga jam dua siang," sungut Tasya. "Jadi kalian mau jalan-jalan? why not?! kita ke kebun raya Bogor dulu, gimana?" ujar Diaz yang langsung menyambar percakapan dua perempuan itu.
Tak terasa ternyata mereka sudah sampai di kota Jakarta, ketika Diaz membuka mata, dia melihat jalanan sudah padat khas ibu kota. Diaz melirik ke pahanya, di sana Mutia masih terpejam dengan lelap dan merasa nyaman berbantalkan pada paha lelaki itu. "Sudah sampai mana?" tanya Diaz dengan suara serak. "Tenang, Bos. Sebentar lagi sampai apartemenmu," jawab Fadil yang masih fokus memegang stir. "Ngapain ke apartemen? aku sudah lama tidak tinggal di sana." "Oh, kalau begitu, aku harus mengatakan kamu ke rumah ayahmu?" "CK, itu lagi! Mana sudi aku tinggal di sana lebih lama?!" gerutu Diaz. "Lah, terus elu mau tinggal di mana, Bos?" tanya Fadil tidak sabaran, pasalnya lelaki ini juga belum tahu jika Diaz sudah memiliki tempat tinggal baru. "Aku sekarang tinggal di sini, cepat ikuti saja GPS itu!" ujar Diaz sambil memperlihatkan pesan wa di ponselnya. "Oh, oke!" Fadil juga tidak banyak protes langsung mengantar Diaz ke kediaman yang baru, setelah itu dia baru akan mengantar
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me