Mutia mendongak mendengar suara lembut seorang wanita yang tengah menggoda anaknya, anak kecil yang baru berumur sekitar delapan bulan itu tergelak, dia terlonjak di gendongan seorang pria, dia Raid. "Wah, Bang Raid, anaknya sudah besar, ya? kapan nikahnya kok gak ngundang-ngundang?" seru Mutia yang langsung mengejutkan lelaki yang tengah menggendong anak itu. Raid menatap Mutia yang tengah tersenyum miring menatapnya, sementara Tasya yang berada di hadapan Mutia tampak acuh dengan pertanyaan temannya ini, seolah-olah Raid memang tidak dikenalnya sama sekali. "Eh, Mutia. Kenapa kamu ke sini?" tanya Raid dengan salah tingkah ditatap Mutia seperti itu. "Oh, ini menemani temanku, katanya dia mau dipromosikan menjadi kepala bagian, dia tidak ada pendamping, sengit teman yang baik tentu aku dengan senang hati jadi pendampingnya." "Apa? kata siapa Tasya akan dipromosikan? darimana kamu mendengarnya?" Mutia menatap Tasya, tetapi gadis yang dia tatap juga masih acuh tak acuh. "Oh, itu
Saat itu Tasya hanya mengangguk cuek. Tetapi wajahnya langsung berubah drastis saat pria yang membelakanginya menoleh ke arahnya. "KAMU?!" Ternyata suara itu bukan hanya keluar dari mulut Tasya, tetapi Fadil juga menemukan hal yang sama. Lelaki itu bahkan reflek berdiri, jarak Tasya dan Fadil yang tidak terlalu jauh sangat mudah bagi lelaki itu menjangkau Tasya. Sedangkan Diaz dan Mutia hanya melihat mereka dengan terbengong? jadi mereka saling kenal? "Ternyata kamu di sini? Aku sudah mencarimu ke mana-mana ternyata kamu di sini? Dengar, ya ... aku tidak akan melepaskan kamu lagi!" Dengan arogan Fadil langsung memanggul Tasya seperti seorang kuli memanggul beras. "Dasar lelaki gila! lepaskan aku!" teriak Tasya sambil memukul punggung belakang lelaki itu, memberontak agar dilepaskan. "He, Fadil?! Apa yang kau lakukan?!" tanya Diaz yang heran melihat temannya seagresif itu. "Diaz, aku pergi dulu! terima kasih sudah membawaku ke sini!" teriak Fadil tidak menghiraukan sekita
"Lepaskan!!" teriak Tasya ketika dia dimasukkan ke dalam mobil SUV yang dikendarai Fadil "Lepaskan? heh, ngimpi aja kamu. Bagaimana aku bisa melepaskan kamu? aku terus saja mencarimu ke mana-mana, eh tahunya kamu itu temannya Mutia, kalau tahu gitu sudah dari kemarin-kemarin aku ketemukan kamu." "Dasar lelaki gila! kamu akan membawaku ke mana?" ujar Tasya dengan wajah cemas "Ke mana saja, yang penting bisa mengurung kamu supaya tidak berkeliaran dan kabur lagi." "Apa?! ya, Allah ... mimpi apa aku bisa sial begini ketemu orang kayak kamu." "Astaga naga pak ogah! kamu ini yang perempuan aneh! biasanya perempuan itu kalau direnggut keperawanannya bakalan menuntut orang yang merenggutnya, ini aku sebagai lelaki ingin bertanggung jawab padaku eh, kamunya malah gak mau. situasi seperti ini itu biasanya yang dirugikan yang perempuan loh, sebagai lelaki aku sih gak rugi apa-apa, malah untung bisa mencicipi tubuh perawan kamu." Fadil nampak sedikit frustasi menghadapi sikap Tasya
"Benar-benar kamu ini keterlaluan! kayak besok bakalan kiamat sehingga gak ada hari lain. Ngapain sih cepat-cepat begitu?" "Ya lebih cepat lebih baik dong. Terus terang saja, aku sudah gak tahan pengen main lagi sama kamu, kecuali kamu nggak apa-apa kita main tanpa adanya ikatan pernikahan." "Main? main apa maksud kamu? jangan bilang main kuda-kudaan, ya!" "Ya, apa lagi permainan orang dewasa kalau gak begitu? gak mungkin kan main kelereng?" "Ya Salaam ... apa salah dan dosaku di masa kalau ya, Tuhan ... kenapa kau hukum aku bertemu dengan orang edan seperti ini?" keluh Tasya sambil menetap ke atas. Melihat nada frustasi Tasya, Fadil sungguh merasa lucu. lelaki itu tertawa melihat tingkah konyol gadis itu. "Kenapa ketawa?! nggak ada yang lucu tahu! sekarang putar balik, kita kembali ke hotel tadi!" "Kembali ke hotel? jadi kamu gak nolak kalau aku ajak tidur bareng?" goda lelaki itu dengan senyum-senyum sendiri. "Eh, ngarep! aku mau balik lagi ke hotel karena malam ini
Ketika mereka tengah melangkah di lobi hotel, ternyata mereka bertemu dengan Mutia dan Diaz, Mutia yang melihat dokter Fadil dan Tasya tengah bergandengan tangan, dia langsung takjub melihat pemandangan itu. "Sya, kamu dari mana aja?" Tasya yang terkejut mendengar teguran Mutia, spontan langsung melepaskan pegangan tangan Diaz, tetapi karena sudah terlanjur dilihat Mutia, maka hal itu juga percuma saja. "Fadil, tidak nyangka ternyata perempuan yang kamu bilang selama ini itu temannya Mutia? tahu gitu kenapa kamu pusing-pusing mencari ke mana-mana?" ujar Diaz dengan seringai. "Iya, nih. Tahu gitu kita bisa double date dari dulu," keluh Fadil. "Apaan sih?" tanggap Tasya dengan ketus. "Sya, jadi ... dokter Fadil ini, orang yang itu?" tanya Mutia dengan mengedipkan mata memberi kode "Iya!" jawab Tasya singkat, Tasya juga paham jika pertanyaan Mutia mengarah pada malam ONS itu. "Eh, jadi kamu seorang dokter?" tanya Tasya dengan terpana saat dia menyadari perkataan Mutia.
"Sayang, ini siapa? kok gak dikenalkan sama Mas sih?" tanya Fadil. Tasya hanya melotot mendengar Fadil berbicara begitu mesra, pakai panggil sayang pula. Ya, ampun ... kenapa dalam waktu sehari, dia sudah memiliki seorang calon suami?"Oh, Saya Ridwan. Pamannya Tasya, adik kandung papanya Tasya." Ridwan dengan rendah hati dan antusias mengulurkan tangan pada Fadil."Saya Fadil, Om. Calon suaminya Tasya.""Kamu masih jadi pacar atau memang sudah jadi calon suaminya?" tanya Ridwan."Insyaallah saya serius sam Tasya, Om. Dari tadi saya sudah meminta Tasya untuk membawa saya kepada orang tuanya untuk saya lamar.""Dari tadi?" Ridwan mengernyit heran mendengar kata itu."Iya, soalnya karena kesibukan saya dan Tasya, baru bisa ketemu tadi. Jadi saya mengatakan niat saya baru tadi, Om.""Memangnya kalian sudah berapa lama berhubungan?""Sudah dua Minggu, Om.""Baru dua Minggu?" "Bagi saya dua Minggu itu waktu yang cukup untuk mengajak ke pelaminan, om. kalau sudah sama-sama cocok, untuk a
"Biar aku bukakan pintunya," ujar Mutia dengan nada malas. Mutia berjalan dengan lesu menuju pintu, namun ketika pintu sudah terbuka, matanya yang masih terbuka separuh terbelalak melihat kedua lelaki itu sudah berdiri di pintu kamar. "Kalian? pagi-pagi sudah ke sini, mau ngapain?" "Pakai nanya lagi! cepat siap-siap. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintah Diaz. "Mana Tasya?!" tanya Fadil dengan tidak sabaran. "Masih tidur, ini masih pagi banget. Kami check out dari hotel jam 12 siang." Dengan tidak sabaran, Fadil langsung merangsek masuk ke dalam kamar. "Dokter Fadil, tidak sopan langsung masuk dalam kamar perempuan," seru Mutia. Tetapi Fadil tidak menggubrisnya, malah terus melangkah ke tempat tidur. "Ngapain musti nunggu jam 12 siang, cepat aku tinggi sepuluh menit harus bersiap, kalau nggak biar aku yang menyiapkan!" perintah Diaz dengan tatapan serius. "Sepuluh menit? yang benar aja! kamu belum ada yang mandi" "Baiklah, lima belas menit! kalau belum juga
Diaz hanya mendengus jengkel sepanjang jalan, pasalnya ketika mereka mulai masuk mobil, Tasya dan Mutia berbarengan duduk di bangku belakang, sementara dia terpaksa duduk di bangku depan bersama Fadil yang memegang kemudi. Tadi dalam bayangannya dia bersama Mutia duduk di belakang, sehingga dia bisa memegang tangan wanita itu dengan mesra atau minimal berdekatan. Entah kenapa aroma tubuh Mutia benar-benar sudah membuatnya gila. Ha ... ha ... ha ... Terdengar tawa dari dua wanita di belakang yang cukup menarik perhatian, Mutia dan Tasya rupanya tengah membahas reaksi Raid saat mengetahui Tasya memiliki suami. "Eh, aku lihat dia tadi di lobi." "Sepertinya dia mau jalan-jalan dengan keluarga kecilnya." "Em, ya sebenarnya bener sih maunya kita ambil kesempatan jalan-jalan, toh check out dari hotel juga jam dua siang," sungut Tasya. "Jadi kalian mau jalan-jalan? why not?! kita ke kebun raya Bogor dulu, gimana?" ujar Diaz yang langsung menyambar percakapan dua perempuan itu.