"Mereka? Mereka siapa?"Papa terdiam."Pa! Mereka siapa?" Aku mengulangi pertanyaan."Papa dan Abian merasa ini ada yang janggal, sepertinya ada seseorang yang sengaja melakukan ini, ada dalang di balik kejadian itu."Aku tersentak kaget, mendengar ucapan Papa. Siapa? Siapa orang yang berniat jahat padaku?"Siapa orang yang Papa curigai?"Papa kembali diam. Kemudian menggeleng."Papa nggak bisa asal nuduh, karena memang belum ada bukti, jadi Papa mohon kamu di dampingi bodyguard, biar Papa tenang, oke!"Aku pun tak mampu menolak. Aku menatap jalanan ibu kota yang di hiasi kelap kelip lampu kecil yang melilit di pepohonan yang ada di bahu jalan. Sinar lampu kuning dan merah berjejer seperti semut menyala yang berjalan berbaris. Dalam otakku sedang membayangkan bagaimana repotnya nanti kemana-mana ada orang yang mengikutiku.Hah, pasti itu sangat mengganggu sekali.Tapi apa yang Papa khawatirkan ada benarnya juga, bisa jadi orang yang berniat jahat itu bisa mencelakaiku.Masih banyak m
"Selamat pagi semuanya, seperti biasa kita meeting pagi untuk breafing mengenai hasil kerja hari kemarin, sekaligus mempersiapkan apa-apa saja perencanaan kerja hari ini."Aku mulai bicara di depan semua jajaran management. Netra ini memindai wajah-wajah mereka yang sudah mengabdi di perusahaan ini.Semuanya tampak tenang dan terlihat sangat bersemangat menyongsong hari ini. Kecuali Iqbal, wajahnya tampak murung ia juga lebih sering menunduk."Oh ya, dan satu hal lagi, saya juga akan sampaikan hasil keputusan saya dan Pak Abian mengenai salah seorang dari Bapak ibu sekalian di sini, mungkin ada yang akan di pindahkan ke posisi yang lain. Mengingat hasil kerja, dan profesionalitas kerjanya jauh di bawah dari yang diharapkan."Seketika Iqbal mengangkat kepalanya, menatapku penuh arti. Aku hanya mengulum senyum.Suasana mendadak riuh, para peserta yang lain pun saling pandang, juga saling berbisik."Siapa?""Nggak tahu.""Untuk itu, nanti saya akan sampaikan langsung pada yang bersangku
Saat jam makan siang, aku keluar kantor, mau tak mau aku melewati bagian staf dimana Mas Iqbal di tempatkan saat ini.Terlihat ia begitu murung dan tak bersemangat kerja.Mas Iqbal, kamu harusnya bersyukur aku tidak langsung memecatmu saat ini. Harusnya ini bisa jadi pembelajaran buat kamu, untuk bekerja lebih baik lagi, tapi ternyata kamu memang sudah keenakan dengan posisi yang lalu, hingga kamu lupa bagaimana keadaan kamu dulu saat berada di bawah.Aku menghela napas memperhatikan Iqbal dari kejauhan."Ehem! Bu Tyas liatin Iqbal? Kenapa? apakah ada rasa penyesalan memindahkan dia ke bagian staf?" celetuk Bu Agustin mengagetkanku. Entah sejak kapan dia berdiri di sampingku.Seketika aku menoleh, ke arah perempuan paruh baya itu yang tengah tersenyum lebar menatapku."Ehm, nggak juga Bu. Cuma pengin lihat aja gimana dia di tempat lamanya," sahutku.Bu Agustin mengangguk, netranya mengikuti pandangan mataku ke arah Iqbal."Saya rasa itu sudah keputusan yang terbaik sih. Bahkan dia mas
"Sombong sekali kamu Tyas!" sungut ibu."Aku bukan sombong, tapi memang begitu faktanya. Mau bilang apa? Sekarang aku sudah kembalikan semuanya ke posisi semula, aku kembalikan tanah Ibu utuh seperti sediakala. Di kantor, Aku kembalikan Mas Iqbal ke posisinya semula, kurang apa lagi?"Ibu berdecak kesal. Ibu pikir aku sebucin itu sama anaknya? Hah, sorry ya!"Dasar menantu kurang 4ja4r!"Nah kan! Keluar juga sifat aslinya. Tak kan kuat pasti dia kalau tak mengumpat."Sebentar lagi jadi mantan Bu." Aku meralat."Sama saja!""Sudahlah Bu, sebaiknya kita pulang, saja." Hasna mengusap pelan lengan ibunya."Iya, benar Hasna, sebaiknya kalian pulang saja, aku tak kan goyah dengan keputusan ini, aku juga tak sudi untuk kembali dengan anak Ibu. Yang ada aku menyesal pernah mencintai laki-laki itu," tukasku, seraya mengibaskan tangan di hadapannya.Wajah ibu makin memerah."Lihat saja nanti ya, kamu Tyas! Kamu yang akan menyesal telah bercerai dengan Iqbal! Anakku itu ganteng, aku Wina punya
Semilir angin malam membuat kami larut dalam suasana syahdu menyapa. Di saat seperti ini, sosok Mama seakan hadir diantara kami berdua. Dulu, paling tidak sebulan sekali Papa mengajak kami makan di luar, sekedar cari suasana baru, berburu makanan yang enak.Kami selalu larut dalam canda, tawa bersama hangatnya sebuah keluarga yang penuh cinta.Aku jadi rindu Mama."Kamu kangen Mama?" tanya Papa seakan tahu isi pikiranku.Aku mengangguk tanpa bersuara."Papa juga sangat merindukan mamamu. Jika boleh Papa meminta, Papa meminta pada Tuhan agar segera dipertemukan dengan mamamu di sana," sahutnya sambil mengangkat kepalanya, memandang langit.Aku langsung menoleh ke samping dimana Papa berdiri di sebelahku, bersandar pada pagar pembatas ruangan ini, di hadapan kami tersuguhkan pemandangan jalanan kota, dari sini kami bisa melihat mobil-mobil berjalan beruntun, gemerlap lampu kuning dan merah makin menambah indah suasana malam ini."Papa! Ngomong apaan sih! Udah nggak sayang lagi sama Tya
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er
Bab 3. Ibu mertua "Aaauuuu!" Amanda berteriak kesakitan. Aku menarik kuat-kuat rambut hitamnya yang tergerai itu. Lalu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Jadilah dia terhuyung jatuh ke lantai. "Dasar pelakor!" umpatku padanya. Teriakan wanita itu sukses mencuri perhatian Mas Iqbal yang sejak tadi sibuk mengincar ponsel milik Amel. Tapi tak juga mendapatkannya. Pintar juga Amel berkelit. Di saat posisi Amel kian terdesak karena Mas Iqbal berhasil mengunci pergerakan tangan Amel, dan hampir saja ia mendapatkan ponsel Amel tapi karena teriakan Amanda, Mas Iqbal jadi menoleh, fokusnya terbagi, dan ini menjadi kesempatan bagi Amel untuk lolos darinya. "Amanda, kamu nggak apa-apa?" Mas Iqbal terlihat khawatir dan buru-buru membantu gundiknya untuk bangun. Dengan cepat Mas Iqbal mengambilkan baju-baju perempuan itu yang tercecer dan memberikan padanya. Membuat perutku terasa mual. Menjijikan. "Amel, ayo kita pulang. Lama-lama di sini aku bisa muntah karena menyaksikan pasangan mesum."