"Sombong sekali kamu Tyas!" sungut ibu."Aku bukan sombong, tapi memang begitu faktanya. Mau bilang apa? Sekarang aku sudah kembalikan semuanya ke posisi semula, aku kembalikan tanah Ibu utuh seperti sediakala. Di kantor, Aku kembalikan Mas Iqbal ke posisinya semula, kurang apa lagi?"Ibu berdecak kesal. Ibu pikir aku sebucin itu sama anaknya? Hah, sorry ya!"Dasar menantu kurang 4ja4r!"Nah kan! Keluar juga sifat aslinya. Tak kan kuat pasti dia kalau tak mengumpat."Sebentar lagi jadi mantan Bu." Aku meralat."Sama saja!""Sudahlah Bu, sebaiknya kita pulang, saja." Hasna mengusap pelan lengan ibunya."Iya, benar Hasna, sebaiknya kalian pulang saja, aku tak kan goyah dengan keputusan ini, aku juga tak sudi untuk kembali dengan anak Ibu. Yang ada aku menyesal pernah mencintai laki-laki itu," tukasku, seraya mengibaskan tangan di hadapannya.Wajah ibu makin memerah."Lihat saja nanti ya, kamu Tyas! Kamu yang akan menyesal telah bercerai dengan Iqbal! Anakku itu ganteng, aku Wina punya
Semilir angin malam membuat kami larut dalam suasana syahdu menyapa. Di saat seperti ini, sosok Mama seakan hadir diantara kami berdua. Dulu, paling tidak sebulan sekali Papa mengajak kami makan di luar, sekedar cari suasana baru, berburu makanan yang enak.Kami selalu larut dalam canda, tawa bersama hangatnya sebuah keluarga yang penuh cinta.Aku jadi rindu Mama."Kamu kangen Mama?" tanya Papa seakan tahu isi pikiranku.Aku mengangguk tanpa bersuara."Papa juga sangat merindukan mamamu. Jika boleh Papa meminta, Papa meminta pada Tuhan agar segera dipertemukan dengan mamamu di sana," sahutnya sambil mengangkat kepalanya, memandang langit.Aku langsung menoleh ke samping dimana Papa berdiri di sebelahku, bersandar pada pagar pembatas ruangan ini, di hadapan kami tersuguhkan pemandangan jalanan kota, dari sini kami bisa melihat mobil-mobil berjalan beruntun, gemerlap lampu kuning dan merah makin menambah indah suasana malam ini."Papa! Ngomong apaan sih! Udah nggak sayang lagi sama Tya
Pov Iqbal.Sore ini aku menunggu Tyas di Kafe tempat dulu kami biasa berjumpa, Kafe ini adalah tempat yang menyimpan sejuta kenangan aku dengan dia. Dulu saat aku mulai mendekati Tyas, kami sering bertemu di sini, tertawa, bercanda bersama, Tyas perempuan yang periang, dia juga sangat pandai mencairkan suasana.Pengetahuannya luas, aku dan dia bisa ngobrol apapun kami selalu nyambung, itu semua membuatku tertarik dan dalam jangka waktu tiga bulan kenalan, aku memutuskan untuk menikahinya.Gayung pun bersambut, betapa bahagianya aku, mendapatkan wanita cantik, baik, juga pintar seperti Tyas.Setelah kami menikah Tyas meminta ijin untuk tidak lagi bekerja di kantor, ingin fokus di rumah, katanya. Aku pun tak masalah, walau dia tak ikut bekerja, gaji-ku masih lebih dari cukup untuk menafkahinya.Lagi-lagi rasa syukur aku haturkan, karena baru berapa bulan kami menikah, tiba-tiba Pak Abi mengatakan aku ikut promosi jabatan. Dan jadi lah aku di tempatkan di bagian manager operasional.Suat
"Kamu itu harus didik istri kamu itu supaya bisa hemat! Jangan sukanya menghamburkan uang! Ibu dulu sering bawel sama Tyas soal ini, tapi Tyas masih mending mau dengerin ibu! Tapi Amanda itu enggak! Dia sama sekali nggak berubah! Entah dia paham atau enggak omongan Ibu!" tukas ibu seraya membuang napas kasar."Iqbal cinta sama Amanda Bu, dia itu sedang hamil anakku, cucu Ibu! Nggak tega aja kalau lihat dia sedih.""Sedih, sih sedih, tapi harus lihat kondisi juga Iqbal! Nggak harus apa-apa maunya di turuti! Masa depan juga harus dipikirkan!"Aku membuang napas berat."Sekarang dia minta aku untuk resign dari kantor, Bu!""Apa?!""Sampai segitunya? Terus kamu mau kerja apa?! Sekarang cari kerja itu susah loh!" pekik Ibu karena terkejut."Dia nggak mau aja aku kembali dekat sama Tyas!" Aku mengungkapkan alasannya.Ibu menggeleng."Justru Ibu penginnya kamu kembali lagi sama dia! Kalau saja dari dulu kita tahu Tyas itu anak orang kaya, anak pemilik perusahaan tempat kamu kerja! Sudah past
"Amanda Sayang, Mas berangkat dulu ya ke kantor!" pamitku menghampirinya di dalam kamar, ia tengah tiduran di kamar, wajahnya terlihat sedih, dan cemberut."Aku sakit hati banget ibu kamu ngomong gitu sama aku," adunya dengan wajah sendu."Sudah, nggak perlu di pikirkan, kamu kan tahu ibuku seperti apa, nggak perlu di masukin ke hati, Ya!" Aku menghiburnya dengan membelai lembut rambutnya yang panjang sebahu dengan warna kecokelatan."Tapi kamu percaya kan sama aku?" tanyanya seraya menatapku dalam.Aku mengangguk tersenyum. "Iya Sayang."Seketika sebaris senyum terukir di bibirnya, dan perlahan bibir itu mendekat dan mengecup lembut bibirku. Satu tangannya membelai lembut dan menari-nari di dadaku yang sudah rapi mengenakan kemeja."Sayang, udah ya, Mas keburu terlambat ini!" Aku melerai pelukan. Namun bukannya berhenti, Amanda makin menggila, ia terus menggerayangi tubuhku, membuatku tak mampu menahan gelanyar aneh yang tiba-tiba hadir dari dalam diri ini."Sehari ini aja ijin ngga
Beberapa hari kemudian ..."Pak Iqbal, Anda di minta ke ruangan Bu Tyas sekarang Pak." Tiba-tiba Bu Agustin menghampiri meja ke kerjaku, dan mengatakan itu."Baik, Bu." Aku menyahut menatapnya sekilas.Wanita berumur empat puluh tahunan itu hanya mengangguk menatapku datar.Aku pun meninggalkan sejenak pekerjaanku. Lalu beranjak menuju ke ruangan Tyas.Entah kenapa kali ini perasaanku tak enak. Aku melangkah dengan hati gelisah. Apa gerangan yang hendak Tyas sampaikan kali ini?Tak terasa aku telah sampai di depan pintu ruangannya. Aku mengetuk pintu sebanyak tiga kali, hingga terdengar suara sahutan dari dalam."Masuk!'Aku pun membuka pintu perlahan dan melangkah masuk dengan hati cemas."Silahkan duduk Pak Iqbal!" titahnya.Tyas masih fokus menekuri laptop di depannya. Kini Tyas-ku benar-benar sudah berubah, aura bos begitu sangat terpancar. Dari tatapan matanya, dari pemilihan kata yang keluar dari bibir ranumnya, mendadak aku menjadi rindu Tyas-ku yang dulu, yang selalu bersikap
Aku melangkah ngontai keluar dari ruangan Tyas. Sakit sekali rasanya, aku sekarang harus membereskan semua barang-barangku karena mulai besok aku sudah tidak bisa lagi bekerja di kantor ini."Weee, Pak Iqbal, lemes banget kayaknya, semangat dong!" celetuk Rivan yang kebetulan berpapasan denganku."Diem Lu!" balasku."Eh galak amat, Pak!" Rivan masih berusaha menghiburku dengan cara bercandanya seperti biasa. Tapi terdengar memuakkan di telingaku."Sabar! Aku sudah tahu, saya turut prihatin Pak!" ungkapnya kemudian, seraya menepuk pelan bahuku.Aku hanya mengangguk sekilas."Sekarang apa rencanamu?" tanyanya. Kini kami memilih untuk duduk di kantin."Entahlah Van! Aku bingung, tahu sendiri cari kerja jaman sekarang itu nggak gampang," keluhku.Terdengar helaan napas Rivan, walau dia itu sering bertingkah menyebalkan, tapi di saat seperti ini, justru dialah yang paling memahami kondisiku."Kamu ada kenalan atau info lowongan kerja di kantor lain mungkin?" Aku berharap, bisa mendapat in
"Amanda, dengerin Mas dulu! Daripada kita nggak mampu bayar cicilan dan akhirnya mobil itu di tarik ke leasing kan, mending kita jual, uangnya bisa untuk Mas buka usaha! Kamu sebagai istri harusnya dukung Mas dong!" Amanda membuang napas kesal."Pokoknya Aku nggak mau, kalau sampai mobil itu di jual Mas! Kamu berusaha cari aja kerjaan lah! Usaha buat cari kerja aja belum, kamu udah pesimis duluan! Buka usaha juga nggak gampang, kalau nggak benar-benar matang persiapan mental dan materilnya bisa rugi nanti! Dan aku nggak mau itu, Mas!"Amanda tetap bersikeras tak setuju kalau aku memulai usaha.Aku pun mengalah, percuma berdebat dengan dia di saat seperti ini, biarlah aku usaha cari kerja dulu, gimana nanti hasilnya semoga dia tidak lagi uring-uringan seperti ini."Oke, oke! Mas akan berusaha cari kerja sesuai mau kamu, tapi kalau belum juga dapat, mas mau mobil itu kita jual, dan uangnya buat Mas buka usaha! Apalagi kamu sebentar lagi mau lahiran, Manda, dan itu butuh uang banyak!"A
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang