Aku melangkah ngontai keluar dari ruangan Tyas. Sakit sekali rasanya, aku sekarang harus membereskan semua barang-barangku karena mulai besok aku sudah tidak bisa lagi bekerja di kantor ini."Weee, Pak Iqbal, lemes banget kayaknya, semangat dong!" celetuk Rivan yang kebetulan berpapasan denganku."Diem Lu!" balasku."Eh galak amat, Pak!" Rivan masih berusaha menghiburku dengan cara bercandanya seperti biasa. Tapi terdengar memuakkan di telingaku."Sabar! Aku sudah tahu, saya turut prihatin Pak!" ungkapnya kemudian, seraya menepuk pelan bahuku.Aku hanya mengangguk sekilas."Sekarang apa rencanamu?" tanyanya. Kini kami memilih untuk duduk di kantin."Entahlah Van! Aku bingung, tahu sendiri cari kerja jaman sekarang itu nggak gampang," keluhku.Terdengar helaan napas Rivan, walau dia itu sering bertingkah menyebalkan, tapi di saat seperti ini, justru dialah yang paling memahami kondisiku."Kamu ada kenalan atau info lowongan kerja di kantor lain mungkin?" Aku berharap, bisa mendapat in
"Amanda, dengerin Mas dulu! Daripada kita nggak mampu bayar cicilan dan akhirnya mobil itu di tarik ke leasing kan, mending kita jual, uangnya bisa untuk Mas buka usaha! Kamu sebagai istri harusnya dukung Mas dong!" Amanda membuang napas kesal."Pokoknya Aku nggak mau, kalau sampai mobil itu di jual Mas! Kamu berusaha cari aja kerjaan lah! Usaha buat cari kerja aja belum, kamu udah pesimis duluan! Buka usaha juga nggak gampang, kalau nggak benar-benar matang persiapan mental dan materilnya bisa rugi nanti! Dan aku nggak mau itu, Mas!"Amanda tetap bersikeras tak setuju kalau aku memulai usaha.Aku pun mengalah, percuma berdebat dengan dia di saat seperti ini, biarlah aku usaha cari kerja dulu, gimana nanti hasilnya semoga dia tidak lagi uring-uringan seperti ini."Oke, oke! Mas akan berusaha cari kerja sesuai mau kamu, tapi kalau belum juga dapat, mas mau mobil itu kita jual, dan uangnya buat Mas buka usaha! Apalagi kamu sebentar lagi mau lahiran, Manda, dan itu butuh uang banyak!"A
Sepucuk surat dari pengadilan agama tergeletak di atas meja. Aku termangu menatap benda tipis persegi panjang berwarna putih itu.Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Rasanya masih tak percaya kalau pernikahanku dengan Tyas benar-benar tidak bisa diselamatkan lagi dan harus bermuara pada perceraian."Mas! Kok bengong? Kenapa bingung?" tanya Manda yang tiba-tiba berdiri di dekatku."Atau Mas masih ragu untuk bercerai dari Tyas?" tanyanya lagi terdengar kurang mengenakkan di telingaku.Aku memilih diam. Seperti biasa Amanda akan terus mencecarku agar segera bercerai dengan Amanda, padahal hidup dengannya aku kurang bahagia. Ya aku sadari itu setelah aku benar-benar merasa kehilangan Tyas.Aku membuang napas kasar."Mas, apa kamu nggak percaya sama aku? Lepaskan Tyas, dengan begitu aku akan tenang, dan kamu bisa fokus dengan kebahagiaan aku, dan anak kita saja," ucapnya dengan suara melembut.Amanda memang cinta pertamaku sejak SMA dulu, ketika kami lulus SMA, dia
Aku sampai di rumah mendapati ibu tengah menangis tersedu. Sedangkan Ananda langsung masuk ke dalam kamar, bahkan dia seperti tak ada empatinya sama sekali melihat mertuanya sedih. Aku hanya menggeleng melihatnya melenggang masuk ke dalam."Ibu kenapa?" Ibu hanya menggeleng menatapku."Ibu hanya kangen sama Bapakmu, Bal.""Tumben," sahutku ketus.Lagi pula untuk apa menangisi orang yang sudah menyakiti hati ibu."Tadi Hasna pulang, dan dia cerita kalau dia habis ketemu Bapak di mall, dia bilang Bapak terlihat sangat bahagia bersama istri mudanya," jawab ibu dengan suara parau."Ya sudah biarkan saja lah Bu! Itu sudah jadi jalan kehidupan Bapak. Sekarang yang harus ibu pikirkan adalah kebahagiaan ibu, sebentar lagi ibu mau punya cucu, jadi ibu bisa sedikit melupakan masalah soal Bapak dengan menimang cucu." Aku berusaha menghiburnya."Tak semudah itu Iqbal.""Lalu ibu maunya bagaimana? Atau ibu mau urus perceraian saja dengan Bapak, biar ibu tenang karena status ibu sudah terlepas dar
"Dia Rendi, teman Mas, dia yang akan membeli mobil kita," ucapku pada Amanda. Seketika membuat netra Manda terbelalak.Dan dengan cepat, Amanda menggandeng cepat lenganku masuk ke dalam rumah."Kamu apa-apaan sih! Kenapa nggak ngomong dulu! Kan aku sudah bilang sejak awal, aku nggak mau mobil itu di jual! Kenapa kamu tiba-tiba bawa orang yang mau beli mobil itu kemari!" Amanda mencecarku."Mas nggak ada pilihan lain, itu jalan satu-satunya, dan hanya mobil itu yang kita punya, Mas sudah cari kerja kesana kemari tapi kamu lihat kan, aku belum juga dapat kerjaan, apa kamu mau aku nganggur selamanya? Pilihannya ada dua, jual mobil itu atau jual dulu perhiasan kamu untuk aku modal usaha."Amanda ternganga."Perhiasanku? Enggak, enggak! Enak aja! Perhiasanku ini murni milikku, kamu sudah memberikannya padaku, masak mau diambil lagi, enggak! Aku nggak mau!" Amanda memegang gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat sekali ia sangat menyayangi benda yang berkilau itu."Ya sudah
"Bu kalau aku buka usaha bengkel mobil gimana menurut Ibu?" tanyaku pada Ibu."Memang kamu tahu tentang mobil?" Ibu balik bertanya.Lucu memang pengin usaha buka bengkel mobil, tapi mobil yang kupunya baru saja di jual."Aku memang tak begitu tahu tentang mobil, tapi aku bisa mempekerjakan seseorang yang ahli mekanik untuk bekerjasama, aku sebagai pemodal," jelasku."Aku ada kenalan teman seorang mekanik Bu, jadi nanti aku yang menyediakan semua keperluan alat, tempat, dan lain sebagainya, nanti dia yang kerja mengeksekusi setiap ada pelanggan yang datang untuk memperbaiki kendaraannya." Ibu terdiam tampak berpikir sejenak. Saat ini aku menilai bisnis di bidang itu lumayan menjanjikan, melihat semakin banyak kendaraan jadi tak 'kan khawatir tergerus waktu. Karena setiap hari, setiap saat, pasti orang akan butuh bengkel untuk memperbaiki kendaraan mereka."Ibu setuju saja, asal kamu benar-benar tekun menjalani usaha ini. Sepertinya sangat menjanjikan."Aku mengulum senyum. Dan aku aka
"Maksud kamu bagaimana Iqbal?" sentak Ibu ketika aku menyampaikan kecemasanku terhadap Andra."Nomor Andra sulit sekali di hubungi, Iqbal hanya khawatir kalau-kalau dia bawa kabur uang itu," jelasku makin membuat wajah ibu memerah."Astaga, kok bisa! Memangnya kamu itu sudah kenal dia berapa lama sih?""Baru satu tahun ini aku mengenalnya, itupun karena kami sering ngobrol-ngobrol ketika aku servis mobil di bengkel langgananku."Dan kemarin nggak sengaja ketemu dia pas lagi mau jual mobil, dan dia cerita kalau dia sudah nggak kerja di bengkel itu lagi karena bosnya pelit katanya dan dia memilih resign. "Haduuhh Iqbal! Bagaimana kalau ternyata dia itu menipu kita, dan membawa kabur uang itu?" pekik ibu dengan wajah sudah sangat cemas.Aku tertunduk bingung. Sebenarnya pemikiranku pun sama seperti itu, hanya saja aku tak sampai mengungkapkanya secara langsung, karena takut hal itu benar-benar kejadian."Pokoknya Ibu nggak mau tahu, kamu harus cari dia sampai ketemu! Apapun itu caranya!
Tyas Pov.Terlihat gurat kekecewaan dan rasa tak terima ketika menerima surat pemutusan hubungan kerja yang aku sodorkan. Netra lelaki yang dulu selalu memandang penuh cinta kini semua telah musnah. Tergantikan dengan tatapan marah dan kecewa diantara kami.Kamu yang menabuh genderang perang diantara kita Mas, aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku memecatmu juga bukan serta merta tanpa alasan, tapi berdasarkan fakta di lapangan bagaimana kinerja kamu, memiliki jabatan, bukan membuatmu bersyukur dengan bekerja dengan sungguh-sungguh. Tapi justru membuatmu lalai akan apa-apa saja tuntutan perusahaan terhadap peranmu di sini.Aku membuang napas berat, menatap punggung laki-laki itu keluar dari ruangan ini.Mungkin ini memang jalan yang terbaik, aku sudah memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri, juga untuk bekerja lebih baik lagi ketika aku menempatkan kamu di bagian staf, tapi kamu justru semakin parah.*"Sudah jangan terlalu dipikirkan, insya Allah ini memang ke