Tyas Pov.Terlihat gurat kekecewaan dan rasa tak terima ketika menerima surat pemutusan hubungan kerja yang aku sodorkan. Netra lelaki yang dulu selalu memandang penuh cinta kini semua telah musnah. Tergantikan dengan tatapan marah dan kecewa diantara kami.Kamu yang menabuh genderang perang diantara kita Mas, aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku memecatmu juga bukan serta merta tanpa alasan, tapi berdasarkan fakta di lapangan bagaimana kinerja kamu, memiliki jabatan, bukan membuatmu bersyukur dengan bekerja dengan sungguh-sungguh. Tapi justru membuatmu lalai akan apa-apa saja tuntutan perusahaan terhadap peranmu di sini.Aku membuang napas berat, menatap punggung laki-laki itu keluar dari ruangan ini.Mungkin ini memang jalan yang terbaik, aku sudah memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri, juga untuk bekerja lebih baik lagi ketika aku menempatkan kamu di bagian staf, tapi kamu justru semakin parah.*"Sudah jangan terlalu dipikirkan, insya Allah ini memang ke
Dering ponsel mengagetkanku yang tengah fokus di depan layar laptop.Abian."Ya Hallo Pak Abi," sapaku pada lawan bicaraku di seberang sana."Bu Tyas, ada yang ingin saya sampaikan.""Ya, katakan saja."Suara Abian di seberang sana terdengar berbeda. Sepertinya ada sesuatu hal yang penting yang ingin ia sampaikan.Beberapa saat ia terdiam. Membuatku menghentikan pekerjaan, dan memilih fokus untuk bicara dengan Abian."Hallo, Pak Abian! Apa ada masalah?" tanyaku lagi."Iya ada hal yang penting, dan ini sepertinya kita harus ketemu langsung supaya semuanya jelas."Aku mengangguk mengerti."Apa ini menyangkut soal perusahaan?""Ya!""Baiklah kalau begitu atur saja jadwal kita ketemu, Pak Abian.""Besok sore di Kafe dekat kantor, ehm tidak, biar aku saja yang datang ke kantor besok.""Oh, oke baiklah. Aku tunggu."Panggilan pun berakhir. Ada rasa penasaran yang menggelayut di dalam dada. Apa sebenarnya yang ingin Abian sampaikan, sampai-sampai harus ketemu untuk membahas ini.Besok juga
Abian bahkan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah laki-laki itu.Dan dengan santai laki-laki lawan bicaranya itu menurunkan pelan jari telunjuk Abian, sambil tersenyum penuh misteri dan tak lama kemudian ia terlihat pamit, menepuk pelan bahu Abian yang mematung, masih dengan ekspresi wajah marah. Menatap laki-laki itu berlalu meninggalkan area restoran ini.Aku memberanikan diri untuk menghampiri Abian."Ekhem! Pak Abian?" Abian terkejut, dan menoleh ke arahku."Bu–Bu Tyas! Ibu di sini?""Iya. Ada janji ketemu sama Pak Wiratama, beliau meminta untuk membahas mengenai kerjasama perusahaan kita di sini." Abian mengangguk paham."Ehm, maaf Pak Abian, tadi itu ....""Ehm tadi itu bukan siapa-siapa. Cuma seseorang yang sangat tidak penting sekali." jawab Adrian seraya tersenyum kaku.Aku menatapnya, terlihat netranya seperti menghindar, sepertinya ada yang di tutupi dariku. Ah mungkin itu urusan pribadinya. Tak seharusnya aku ikut campur urusan dia."Oh begitu. Maaf, soalnya
Pov Author.Sepanjang perjalanan pulang, Abian melirik ke arah spion motor yang tengah dikendarainya. Menatap wajah putih berseri dengan riasan natural. Alisnya tebal, bulu mata lentik dan hidung bangir, kedua mata indah berwarna kecokelatan.Sungguh, ciptaan Tuhan yang satu ini sangat indah. Sesekali Abian tersenyum sendiri menatap wajah Tyas yang duduk menikmati perjalanan sore itu. Hijab berwarna abu-abu muda berkibar tertiup angin, sesekali netra indah itu menyipit karena terpaan angin yang menyapa.Sesekali Abian memelankan laju kendaraannya, sekedar untuk sedikit mengulur waktu dan menikmati kebersamaan mereka kali ini.Sudah lama Abian menyimpan rasa pada Tyas, sejak kembalinya wanita itu dari Amerika kala itu, sebenarnya hati Abian sangat girang mendengar Tyas akan kembali aktif di kantor, karena dengan begitu, setiap hari ia bisa bersua dengan gadis pujaannya. Tapi baru beberapa bulan Tyas bergabung di perusahaan, Tiba-tiba Ia mendengar kabar Tyas telah menerima pinangan dar
"Jadi tuh aku denger-denger dari beberapa orang, katanya Iqbal abis kena tipu sama orang! Uangnya di bawa orang seratus juta atau berapa gitu!"Tyas ternganga mendengar berita yang dari Sarah. Pantas saja ibu mertuanya jadi seperti itu. Mengingat bagaimana sikap Bu Wina kalau soal uang. Apalagi uang dalam jumlah begitu besar, untuk sekedar membeli beberapa barang kebutuhan atau sesekali makan enak, Bu Wina sayang keluar duit, dan ia akan merepet tak henti-henti."Setiap hari Iqbal pergi kesana kemari katanya sih nyari temannya itu, dan udah lapor polisi juga tapi belum ada hasil. Mungkin ini karma buat mereka, karena udah jahatin kamu Yas!" timpal Sarah lagi turut prihatin melihat kondisi Iqbal dan keluarganya.Tyas hanya menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan."Gimana ceritanya Iqbal bisa ketipu segitu besar Rah?" tanya Tyas karena penasaran."Katanya sih mau usaha buka bengkel gitu, dan mau kerjasama sama temennya, uangnya udah di kasihkan ke temennya, buat belanja per
"Amanda, kamu itu sebagai menantu harusnya ikut menghibur Ibu, bukannya malah pergi keluyuran nggak jelas, ingat kamu lagi hamil loh!"Memangnya ada orang hamil di larang untuk keluar rumah jalan-jalan? Yang ada orang hamil itu nggak boleh, capek, nggak boleh stres! Kalau aku di rumah terus yang ada aku ikutan stres kayak ibu kamu itu!""Amanda! Jaga mulut kamu ya!" Iqbal tak terima ibunya dikatain wanita stres."Kalau bukan karena lagi hamil anak kamu, aku lebih milih pergi saja dari rumah ini Mas! Nyesel aku ngrebut kamu dari Tyas, berharap hidup enak jadi orang kaya, malah ternyata makin sengsara!"Iqbal tak menyangka wanita yang ia perjuangkan selama ini tak lebih dari wanita yang mata duitan, akan bersikap manis jika dirinya ada uang saja, kini saat dirinya tak ada uang, bahkan kondisi keluarganya sedang tidak baik, Amanda tega berkata demikian."Kenapa? Nggak usah kaget Mas, memang bener kok, aku lihat dulu kamu itu keren, punya jabatan, rumah gedong, kenapa ada setelah kita nik
"Darimana kamu Manda? Baru pulang?"Amanda baru saja memasuki rumah, tiba-tiba terdengar suara bariton Iqbal. Ternyata ia tengah duduk di sofa ruang tamu dekat pintu, pantas saja Amanda tak melihatnya ketika masuk rumah tadi."Ehm, aku ....""Dari mana? Sampai semalaman nggak pulang!" bentaknya. Kali ini habis sudah kesabaran Iqbal menghadapi perempuan itu.Amanda berjingkat kaget, ia pejamkan matanya rapat-rapat, sebab kaget juga takut melihat wajah Iqbal yang merah padam, seakan siap untuk menelannya hidup-hidup."Aku nginep di rumah temen." Amanda menjawab singkat."Siapa?""Ehm, Elisa. Ya aku nginep di rumah Elisa, karena pas udah sore mau pulang tapi hujan, jadi Elisa memintaku untuk menginap saja," jelas Amanda, meski sebenarnya dia takut, tapi dia berusaha untuk tidak gugup."Kenapa sampai harus dimatikan hapenya? Kamu tahu nggak, aku khawatir! Kamu itu lagi hamil, Manda!" ucap Iqbal merasa gemas sekali, tapi di sisi lain ia juga sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya yang ada
"Ibu ada apa?" "Bilang pada istrimu, jangan suka menghamburkan uang! Kerjanya cuma keluyuran aja!" bentak Wina pada Amanda."Apa-apaan sih Bu, dasar perempuan g!l4!""Manda! Cukup!" Iqbal tak terima ibunya dikatai gil4 oleh Amanda."Kenapa memangnya Mas? Memang itu kenyataan kan? Aku cuma mau ambil tas-ku di sofa, eh dia buka-buka tas aku, ya aku nggak boleh lah! Malah dia bilang aku boros lah, aku suka buang-buang uang lah! Emang ibu kamu ini perlu di bawa ke rumah sakit jiwa kayaknya Mas!""Amanda! Stop! Jangan bicara apa-apa lagi, masuk kamar sekarang! Masuk!"Amanda hanya menatap Iqbal dan ibu mertuanya dengan tatapan tak suka, tapi ia menuruti kata suaminya, ia masuk ke dalam kamar "Dasar perempuan gila, pake ngatain aku macam-macam lagi. Memang bener kan hidup ini butuh duit, daripada terlalu pelit sampai akhirnya gila sendiri kan, buat diri sendiri aja pelit!"Amanda terus saja ngedumel sendiri di dalam kamar, sambil melipat kedua tangannya di dada."Amanda! Aku nggak suka ka