"Darimana kamu Manda? Baru pulang?"Amanda baru saja memasuki rumah, tiba-tiba terdengar suara bariton Iqbal. Ternyata ia tengah duduk di sofa ruang tamu dekat pintu, pantas saja Amanda tak melihatnya ketika masuk rumah tadi."Ehm, aku ....""Dari mana? Sampai semalaman nggak pulang!" bentaknya. Kali ini habis sudah kesabaran Iqbal menghadapi perempuan itu.Amanda berjingkat kaget, ia pejamkan matanya rapat-rapat, sebab kaget juga takut melihat wajah Iqbal yang merah padam, seakan siap untuk menelannya hidup-hidup."Aku nginep di rumah temen." Amanda menjawab singkat."Siapa?""Ehm, Elisa. Ya aku nginep di rumah Elisa, karena pas udah sore mau pulang tapi hujan, jadi Elisa memintaku untuk menginap saja," jelas Amanda, meski sebenarnya dia takut, tapi dia berusaha untuk tidak gugup."Kenapa sampai harus dimatikan hapenya? Kamu tahu nggak, aku khawatir! Kamu itu lagi hamil, Manda!" ucap Iqbal merasa gemas sekali, tapi di sisi lain ia juga sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya yang ada
"Ibu ada apa?" "Bilang pada istrimu, jangan suka menghamburkan uang! Kerjanya cuma keluyuran aja!" bentak Wina pada Amanda."Apa-apaan sih Bu, dasar perempuan g!l4!""Manda! Cukup!" Iqbal tak terima ibunya dikatai gil4 oleh Amanda."Kenapa memangnya Mas? Memang itu kenyataan kan? Aku cuma mau ambil tas-ku di sofa, eh dia buka-buka tas aku, ya aku nggak boleh lah! Malah dia bilang aku boros lah, aku suka buang-buang uang lah! Emang ibu kamu ini perlu di bawa ke rumah sakit jiwa kayaknya Mas!""Amanda! Stop! Jangan bicara apa-apa lagi, masuk kamar sekarang! Masuk!"Amanda hanya menatap Iqbal dan ibu mertuanya dengan tatapan tak suka, tapi ia menuruti kata suaminya, ia masuk ke dalam kamar "Dasar perempuan gila, pake ngatain aku macam-macam lagi. Memang bener kan hidup ini butuh duit, daripada terlalu pelit sampai akhirnya gila sendiri kan, buat diri sendiri aja pelit!"Amanda terus saja ngedumel sendiri di dalam kamar, sambil melipat kedua tangannya di dada."Amanda! Aku nggak suka ka
Hari berganti Minggu ...Abian berusaha mendekati Tyas meski Tyas selalu bersikap biasa saja, Tyas selalu berusaha bersikap profesional, Tyas selalu menganggap Abian adalah rekan bisnisnya. Partner kerjanya di perusahaan ayahnya.Pagi ini ada satu buah buket mawar merah di atas meja kerjanya.Tyas meraihnya, lalu mencari mungkin ada kertas terselip dari pengirimnya.Tak ada apapun."Alina! Siapa yang meletakkan buket bunga ini di meja saya? Kamu lihat nggak?"Alina menggeleng."Nggak tahu Bu, saya juga baru datang.""Oh, ya sudah."Buket bunga ini sangat indah, warna merah bunga mawar di padu dengan warna hitam dari kertas pelapisnya, sangat terlihat elegan.Tiba-tiba saja ponsel miliknya berdenting, sebuah notifikasi pesan masuk.[Semoga kamu suka bunga itu. Kamu itu indah dan berani, sama seperti bunga itu.]Dari Abi.Tiba-tiba saja bibir Tyas menyunggingkan senyum kala membaca pesan itu.Ternyata Abian yang mengirimkan.[Terimakasih Pak Abian, bunganya saya suka. Ya, walaupun tadi
"Tyas! Ini semua gara-gara kamu! Iqbal jadi kena tipu! Uang saya di bawa dua ratus juta, Tyas! Ini semua gara-gara kamu! Dasar kamu perempuan ja hat! Gara-gara kamu pecat Iqbal, dari kantor! Kami jadi susah! Dan di tipu orang! Maksud kamu apa? Mau balas dendam? Hah! Kurang ajar kamu! Sini kamu, saya bu nuh kamu! Menantu tak tau diuntung! Awas, jangan pergi kamu! Sini! Sini kamu Tyas!"Tiba-tiba Bu Wina turun dari ranjang, dan dengan cepat menyerang Tyas. Tyas mundur beberapa langkah karena merasa takut. Ia tak menyangka Wina ternyata separah ini.Ia reflek menutup mulut dengan telapak tangannya, melihat Wina mengamuk, bahkan ingin mencekiknya. Untung sang perawat sigap menghalangi tangan Wina yang hendak mendekati Tyas."Bu Wina, tenang Bu," ucap perawat."Diam kamu! Urusan saya sama Tyas!""Jangan pergi kamu, Tyas! Sini! Kamu itu benar-benar pembawa sial! Sudah di di ceraikan sama Iqbal juga masih saja nyusahin! Kamu justru tega menghancurkan karir Iqbal! Dasar kamu ya!"Wina masih s
Di sudut ruang kerjanya, Aditama tengah serius berbicara dengan seorang melalui sambungan telepon.Wajahnya memerah menandakan ia sedang marah, dadanya naik turun menahan luapan emosi yang menggulung di rongga dada."Jadi semua memang sudah di atur Pak! Brengsek! Kurang aj4r mereka!" umpat Aditama. Laki-laki yang biasanya selalu bersikap bijak dan penuh wibawa, kali ini tak mampu lagi membendung emosinya."Hukum dia seberat-beratnya. Saya nggak mau tahu," ucapnya lagi.Aditama tengah menerima telepon dari kepolisian yang mengabarkan atas kasus percobaan perampokan yang telah menimpa Tyas. Satu bulan waktu yang sudah berlalu, akhirnya polisi berhasil mengurai benang kusut atas kasus itu.Panggilan telah selesai, Aditama masih menggenggam erat ponsel di tangannya. Ia masih tak habis pikir, ternyata pelakunya adalah kompetitor bisnisnya. Karena Tyas telah berhasil membuat sebuah terobosan baru, perusahaan vendor justru berbelok memilih kerjasama dengan Perusahaan Aditama Reksa yaitu mil
[Oke, baiklah Bu Tyas, nanti hari Senin bisa langsung ke Bandung,, untuk interview langsung dengan saya, dan setelah resmi di terima, bisa langsung menempati tempat mess yang sudah di sediakan.] Balas Abian akhirnya.Ia meletakkan ponselnya di samping ia duduk, lalu meletakkan kepalanya di atas telapak tangannya, kemudian merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi sofa. Netranya menatap langit-langit atap. "Tyas. Sepertinya tak ada cara lain, aku akan menyampaikan langsung perasaan ini pada Pak Aditama, kalau aku mencintai putrinya. Apapun itu resikonya, termasuk risiko jika Pak Aditama tak mengijinkan atau bahkan beliau jadi membenciku karena mencintai Putrinya." Ia bermonolog.*Di sisi lain, pagi ini Tyas dibuat terkejut mendengar kabar salah satu direktur dari perusahaan kompetitor, telah ditangkap polisi karena menjadi dalang dari sebuah tindak kriminal."Papa! Papa dengar kabar pagi ini? Pak Axel Wirawan ditangkap polisi Pa!" ucap Tyas pada papanya, di meja makan. Saat ini mereka
Abian tertunduk diam. Ia malu juga kecewa melihat respon Aditama. seharusnya ia tidak mengatakan ini.Aditama melerai tawanya, melihat air muka Abian yang berubah, ia merasa bersalah, sekaligus ada rasa senang melihat pengakuan jujur dari Abian.Ia juga suka cara Abian, menyampaikan rasa itu langsung pada dirinya terlebih dahulu, sebelum mendekati langsung putrinya."Abian, maaf, bukan maksud saya mentertawakan kamu, bukan. Saya tadi hanya geli melihat ekspresi wajah kamu yang begitu lucu," ungkap Aditama masih dengan wajah menahan tawa.Abian mengangkat wajahnya, berusaha menarik senyum. Sebenarnya dia mulai tak nyaman.Aditama menegakkan tubuhnya, menjadi lebih dekat dengan Abian."Apa yang kau katakan tadi itu serius?" tanya Aditama.Abian mengangguk."Tapi jika Bapak menganggap rasa ini adalah sebuah kesalahan karena aku tak pantas bersanding dengan Tyas, maka saya akan membunuh rasa ini, saya memohon maaf." Abian kembali menunduk. Hatinya begitu gelisah."Kenapa kau berpikir seja
Pagi hari setelah semua pekerjaannya di kantor, sudah selesai, Abian memilih untuk pergi ke Jakarta. Beberapa pekerjaan bisa di handle oleh asistennya Ingin mengunjungi kantor di Jakarta. Ah tidak lebih tepatnya ingin mengunjungi kantor karena ingin bersua dengan Tyas.Ia melajukan kuda besinya melewati jalanan antar kota menuju ke kota metropolitan.Meski ia juga ada mobil, tapi ia lebih suka bepergian dengan motor sport kesayangannya.Begitu ia memarkirkan motor di parkiran, Abian sudah di sambut dengan Anwar seorang sekuriti kantor."Selama siang Pak! Wah tumben nih main kemari!" "Selamat siang Pak! Ia sedang senggang jadi pengin kemari, kangen sama suasana kantor di sini, lebih rame, di Bandung sepi," sahut Abian."Gimana di sana Pak? Betah?"Walau Abian seorang pemimpin perusahaan, tapi ia juga dekat dengan para karyawannya, ia tak segan bertegur sapa dengan mereka, jadi para bawahannya pun selalu segan padanya."Ya, betah nggak betah, harus betah!" jawab Abian dengan terkekeh.