Abian tertunduk diam. Ia malu juga kecewa melihat respon Aditama. seharusnya ia tidak mengatakan ini.Aditama melerai tawanya, melihat air muka Abian yang berubah, ia merasa bersalah, sekaligus ada rasa senang melihat pengakuan jujur dari Abian.Ia juga suka cara Abian, menyampaikan rasa itu langsung pada dirinya terlebih dahulu, sebelum mendekati langsung putrinya."Abian, maaf, bukan maksud saya mentertawakan kamu, bukan. Saya tadi hanya geli melihat ekspresi wajah kamu yang begitu lucu," ungkap Aditama masih dengan wajah menahan tawa.Abian mengangkat wajahnya, berusaha menarik senyum. Sebenarnya dia mulai tak nyaman.Aditama menegakkan tubuhnya, menjadi lebih dekat dengan Abian."Apa yang kau katakan tadi itu serius?" tanya Aditama.Abian mengangguk."Tapi jika Bapak menganggap rasa ini adalah sebuah kesalahan karena aku tak pantas bersanding dengan Tyas, maka saya akan membunuh rasa ini, saya memohon maaf." Abian kembali menunduk. Hatinya begitu gelisah."Kenapa kau berpikir seja
Pagi hari setelah semua pekerjaannya di kantor, sudah selesai, Abian memilih untuk pergi ke Jakarta. Beberapa pekerjaan bisa di handle oleh asistennya Ingin mengunjungi kantor di Jakarta. Ah tidak lebih tepatnya ingin mengunjungi kantor karena ingin bersua dengan Tyas.Ia melajukan kuda besinya melewati jalanan antar kota menuju ke kota metropolitan.Meski ia juga ada mobil, tapi ia lebih suka bepergian dengan motor sport kesayangannya.Begitu ia memarkirkan motor di parkiran, Abian sudah di sambut dengan Anwar seorang sekuriti kantor."Selama siang Pak! Wah tumben nih main kemari!" "Selamat siang Pak! Ia sedang senggang jadi pengin kemari, kangen sama suasana kantor di sini, lebih rame, di Bandung sepi," sahut Abian."Gimana di sana Pak? Betah?"Walau Abian seorang pemimpin perusahaan, tapi ia juga dekat dengan para karyawannya, ia tak segan bertegur sapa dengan mereka, jadi para bawahannya pun selalu segan padanya."Ya, betah nggak betah, harus betah!" jawab Abian dengan terkekeh.
Akan ada pelangi indah setelah hujan, awan gelap itu perlahan akan bergerak tersingkir oleh sinar mentari membuat yang gelap itu sirna.Tyas Pov.Aku menatap sejenak wajah laki-laki yang kini duduk bersebrangan denganku, hanya terhalang oleh meja kerjaku.Abian.Ia terlihat seperti bingung hendak bicara apa. Padahal sejauh yang aku kenal, Abian adalah sosok laki-laki yang tegas, berwibawa. Tapi belakangan aku melihatnya berbeda, ia lebih sering tersenyum. Ya, dan juga aku merasa senyumannya itu lebih manis daripada manisnya gula.Ah, bicara apa aku ini, saat ini aku hanya ingin berkarir, aku belum ingin memikirkan tentang laki-laki. Sudah cukup hati ini lelah karena di sakiti oleh makhluk Tuhan bernama laki-laki.Saat ini aku hanya ingin mewujudkan keinginan Papa yaitu meneruskan perjuangannya memimpin perusahaan ini."Ehm, Pak Abian, apa sudah ada kabar dari tim audit mengenai penemuan data janggal yang waktu itu ditemukan?"Abian menggeleng."Mereka meminta waktu sedikit lagi, untuk
"Aku sudah tak ingin mengenalnya lagi. Apalagi cinta. Aku sendiri bahkan sudah tak tahu apa itu cinta, hatiku sudah mati, dan sudah muak," ucapku serius.Ya, aku bahkan sudah tak percaya lagi tentang cinta. Bagiku tak ada cinta abadi, selain kecintaan kita pada sang pemilik hidup.Abian terdiam."Silahkan di lanjutkan makannya Pak.""Iya, ehm Tyas. Ehm maaf maksudku Bu Tyas, maaf boleh aku tanya lagi sesuatu?""Ya boleh. Silahkan aja Pak. Nggak usah kaku gitu Pak, panggil saya Tyas saja tak apa, toh usiaku juga masih lebih mudah dari Pak Abian," ucapku terkekeh.Abian tersenyum. "Usia boleh lebih muda, tapi tetap saja, saya harus menghormati Bu Tyas, karena Bu Tyas putrinya dari Pak Aditama."Aku tersenyum dan mulai mengaduk soto yang ada di depanku, uap panasnya mengepul di udara, aroma khas rempah dan segarnya aroma jeruk nipis menusuk hidung, membuat perutku makin meronta ingin di isi."Ya, ya, terserah Pak Aditama saja kalau gitu." Aku menjawab sekenanya, sambil mulai meniup pela
Iqbal Pov.Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan.Keadaan Ibu masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Hasna memilih untuk mencari kerja, dan hari ini dia bilang akan tes di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, dan untuk penempatannya nanti di Bandung.Aku bersyukur dengan dia kerja, setidaknya ada pemasukan yang masuk, karena aku sendiri belum menemukan pekerjaan yang cocok. Untuk beralih usaha dari rencananya ingin buka bengkel semuanya gagal total, bahkan uang yang ada dalam rekeningku, kini jumlahnya sudah menipis karena untuk biaya makan setiap hari, dan juga untuk biaya rumah sakit.Kandungan Amanda semakin besar, sebulan lagi dia akan melahirkan. Beruntung semua kebutuhan bayi sudah di beli. Semoga saja uang yang aku pegang sekarang, cukup untuk biaya persalinan. Bagaimanapun anak itu adalah anakku. Calon penerus keluarga. Aku tak mungkin mengabaikannya. Meski sikap Amanda seringkali membuatku jengkel, tapi aku tetap berusaha menyayanginya demi anakku."Mas bag
"Mas Iqbal!""Apa.maksud kamu ngomong seperti itu? Kamu mau pergi?!" cecarku.Amanda tercekat, wajahnya menegang, pucat."Ehm, bu–bukan itu, itu cuma temen aku, biasa, ngajak jalan-jalan aja kok!" Aku menatap lekat wajahnya."Lalu apa maksud kamu muak? Kamu muak hidup sama aku? Gitu?!" Amanda terperangah menatapku."Kamu apaan sih! Nuduh aku sembarangan gitu, aku cuma muak dengan suasana di rumah sakit ini, aku udah nggak betah pengin pulang, Mas! Plus kamu jangan mikir macam-macam dong Mas!"Aku menghela napas. Ya memang sih, siapapun itu pasti nggak akan betah lama-lama di rumah sakit, jangankan yang sakit, yang sehat yang berjaga saja nggak betah lama-lama di rumah sakit."Oh, kamu sabar ya, kata dokter 3-4 hari lagi kamu sudah boleh pulang," ucapku melembut. Aku jadi merasa bersalah sudah suudzon sama Amanda. Padahal dia baru saja bertaruh nyawa melahirkan anak kami.Aku melangkah mendekatinya. Kuusap lembut rambutnya."Maafin aku ya, aku sudah menuduh macam-macam. Kamu makan ya,
"Mas Iqbal, kenapa?" Suara seorang perempuan sontak membuatku terkejut. Aku menoleh, ternyata ada Hasna sudah berdiri diambang pintu kamar.Ah ya, sekarang kan hari Sabtu. Lama menjadi pengangguran, menjadikan aku jadi sering lupa hari."Hasna!" "Tadi aku beberapa kali ngucap salam di depan, tapi sepi. Ternyata Mas di kamar. Mas kenapa?" Hasna menatapku dan Rayyan bergantian. Mungkin ia heran melihatku sedih, dan mata memerah."Kak Manda mana? Kok sepi," tanyanya lagi karena aku tak kunjung menjawabnya."Dia pergi, dan dia meninggalkan surat itu." Aku menunjuk pada kertas yang sudah kuremas-remas membentuk bulatan yang tergeletak di lantai.Hasna langsung jongkok kemungut kertas itu dan membukanya.Hasna pun sama terkejutnya, seketika ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya sambil menggeleng."Astaga, gil4, dia benar-benar gila4, tega meninggalkan anaknya sendiri!" ucap Hasna lagi.Tiba-tiba saja Rayyan menangis dan aku bangkit untuk menimangnya.Hasna menatap nanar bayi kecil
Hasna POV."Hasna, Mas titip Rayyan ya!" Hatiku teriris nyeri melihat Mas Iqbal di giring memasuki mobil polisi, belum lagi tatapan para tetangga yang melihat keadaan ini, semakin membuatku tak berdaya. Ya Tuhan, kenapa semua jadi seperti ini? Keluargaku berantakan, Ibu yang masih dalam perawatan di rumah sakit jiwa, Bapak yang kini sudah punya kehidupan baru dengan istri mudanya. Dan sekarang? Mas Iqbal justru harus masuk bui, atas kasus penggelapan dana, yang membuatku sangat terkejut. Kenapa bisa dia berbuat senekat itu? Padahal selama ini dia punya pekerjaan yang mapan, semuanya terlihat berkecukupan dan semuanya baik-baik saja ketika masih bersama-sama dengan Mbak Tyas.Ya, semuanya baik-baik saja sebelum dia mengenal Kak Manda, tanganku terkepal erat mengingat wanita itu. Sekarang ia justru pergi entah kemana meninggalkan bayi yang tak berdosa ini.Aku menangis tergugu, mendekap erat tubuh mungil Rayyan. Tak mungkin aku meninggalkan dia sendirian, hanya ada aku sekarang, Ibu ma