Hasna Pov. "Assalamualaikum!" Suara salam dari pintu depan terdengar. Aku langsung bergegas keluar, itu pasti Bapak datang. Rayyan baru saja tertidur, aku bisa meninggalkannya sebentar ke depan untuk melihat siapa yang datang. "Wa'alaikumussalam, Bapak!" sambutku hangat. Aku meraih punggung tangannya, dan menciumnya takzim, di sebelahnya berdiri anggun seorang wanita mengenakan hijab berwarna hitam. Dan gamis hitam. Aku pun meraih punggung tangan wanita itu. Sakit sebenarnya, karena wanita ini, hati Bapak jadi terbagi, karena dia Bapak jadi meninggalkan kami. Tapi sekarang bukan saatnya menjadikan rasa sakit hati ini sebagai alasan untuk membenci seseorang. Nyatanya Bapak terlihat lebih gemukan, terlihat lebih terurus dengan baik olehnya. "Iqbal mana?" tanya Bapak seraya menoleh ke arah dalam rumah. Bu Maryam terlihat gugup, ia menggandeng lengan Bapak. "Mas Iqbal nggak ada di rumah Pak, ayo masuk dulu," ajakku. Mereka pun mengikutiku masuk ke dalam rumah. Bapak terlihat
Bapak mengusap lembut punggung ibu. Tanpa terasa air mataku menetes menyaksikan pemandangan di depanku. "Maafkan Ibu Pak! Maaf!" ucap Ibu dengan derai air mata. "Sudah sudah, Bapak juga minta maaf." Netra Bapak.memerah. Meski Bapak sudah menikah lagi dengan wanita lain, tapi mereka masih sah berstatus suami istri. "Aku yang sudah keterlaluan sama Bapak selama ini, aku yang salah Pak!" ucap Ibu tergugu pilu. Aku mengusap pelan air mata yang kini sudah menganak sungai di pipi. "Ibu sehat?" tanya Bapak. Ibu mengangguk. "Maaf Bapak baru bisa datang sekarang. Maaf Bapak jarang mengunjungimu." "Sudah Pak, sekarang kita masuk ke dalam dulu yuk," ajakku pada dua orang yang sangat kucintai ini. Aku menggandeng tangan mereka berdua memasuki rumah kontrakan yang tak seberapa luas itu. "Semua yang sudah berlalu biarlah berlalu, kita hanya perlu belajar Ikhlas, karena segala sesuatunya itu hanya titipan, dan Allah berhak mengambilnya kapan saja dari kita, termasuk harta yang k
Hasna Pov. Pagi-pagi aku sudah berangkat ke kantor. Sekarang aku sudah berada di kota kembang Bandung. Walau di kantor ini aku hanya sebagai staf, tapi aku bersyukur sekali, karena di luar sana ada banyak sekali orang-orang yang sedang berjuang mencari pekerjaan. Hidup semakin sulit, mencari kerja semakin susah. Baru saja aku duduk di meja staff, ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Aku langsung membukanya. [Hasna, bagaimana kabar kamu? Apa kamu betah kerja di sana?] Sebuah pesan dari Mbak Tyas. Aku menarik napas dalam-dalam. Pikiranku melayang jauh. Mas Iqbal masuk penjara juga pasti karena Mbak Tyas yang melaporkan. Mas Iqbal sampai di pecat dari kantor juga pasti karena Mbak Tyas. Sepertinya rasa sakit hati Mbak Tyas membuatnya gelap mata dan ingin membalas semua perlakuan kakakku padanya. Mbak Tyas benar-benar membuktikan kata-katanya, kalau Mas Iqbal benar-benar tak bisa berbuat apa-apa ketika ia sudah bertindak. Ya Tuhan, ini juga semua salahmu Mas, kamu
Tyas Pov. Aku tak mungkin membiarkan yang bersalah melenggang bebas. Yang salah tetap harus di hukum termasuk Mas Iqbal. Aku menyerahkan semuanya pada Abian dia yang mengurusnya bersama kepolisian. Tak berapa lama, panggilan telepon dari Abian masuk. "Ya, Hallo Pak Abi." "Semuanya sudah beres, polisi sudah turun tangan." Telepon dari Abian pagi ini. "Iya, Pak, terimakasih informasinya." "Sama-sama. Kamu udah makan belum?" tanyanya kemudian "Belum." "Mau aku pesankan makanan?" tanyanya. "Terimakasih Pak Abi, atas tawarannya, tapi nggak usah, saya masih kenyang," jawabku. "Masih kenyang atau memikirkan nasib seseorang yang sebentar lagi akan di tangkap polisi?" tanyanya, yang sebenarnya membuatku muak. "Ih Pak Abian apaan sih maksudnya? Enggak lah?" sanggahku. "Oh, kalau enggak ya syukurlah! Saya pesankan makanan ya!" "Ya sudah Terimakasih Pak Abi, seharusnya nggak perlu repot-repot gini." "Enggak repot kok, sayanya masih di sini. Ehm lama nggak jumpa Bu Tyas
"Pak Abian kenapa sih! Ngeselin banget! Kelamaan jomblo nih pasti, makanya jd gini," sungutku.Kembali ia tertawa, padahal nggak ada yang lucu."Heh, aku jomblo juga karena ada alasannya!" "Pasti karena mantan!" tebakku. Tapi dia menggeleng."Nggak ada di kamusku, masih terpaut dengan mantan.""Ya bagus lah kalau gitu. Mantan memang harusnya buang ke laut aja!" Aku melempar batu kecil ke lautan.Baru kali ini aku duduk santai layaknya seorang teman dengan Abian, biasanya kami selalu bersikap formal dan berusaha selalu profesional, karena memang kami adalah satu tim di kantor."Ada seorang wanita yang membuatku tak bisa beranjak untuk mencari yang lain," ucapnya tiba-tiba."Oh ya! Itu artinya Bapak belum move on. Makanya Pak, Move on! Move on!" ledekku."Sampai kapanpun tak bisa. Karena perempuan itu ...."Aku menoleh padanya, netra kami beradu."Kamu."Jantungku seakan berhenti berdetak. Abian masih menatapku lekat, membuatku jadi salah tingkah sendiri di tatap begitu dalam olehnya.
"Dia calon menantu Mama." Ucapan Abian membuat Wanita itu menatapku lekat. Namun beberapa saat kemudian, ia tersenyum hangat."Sini, Sayang!" Beliau menggerakkan tangannya memintaku untuk mendekat.Aku menoleh ke arah Abian, ia mengangguk. Aku pun melangkah pelan mendekati ranjang."Cantik sekali, siapa nama kamu Sayang?""Saya Tyas Tante," jawabku gugup.Bagaimana tidak tiba-tiba Abian mengatakan aku calon mantu pada mamanya. Awas aja ya kamu Abian!"Tyas, nama yang sangat bagus, secantik orangnya. Abi, kamu memang pandai pilih calon istri. Dia sangat cantik dan baik," ucapnya lagi."Tante, gimana keadaannya?" Wajahnya masih terlihat pucat, tapi ia terlihat begitu ceria begitu melihat Abian datang."Mama. Panggil Mama saja, ya! Keadaan Mama sudah lebih baik, bahkan sekarang Mama merasa sudah sehat sebab Abian sudah datang, dan bonusnya Mama sebentar lagi mau punya menantu," ucapnya terkekeh.Aku tersenyum kaku sambil sesekali melirik Abian. Dia hanya menunduk salah tingkah, lalu me
Tyas Pov."Lalu sekarang apa rencanamu?"Abian terdiam, ia hanya menggeleng kecil."Entahlah, Papa itu sangat percaya sama Om Martin Dia lebih percaya sama orang lain daripada sama anaknya sendiri." Abian terlihat kesal.Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku turut prihatin melihat posisi Abian."Apa tak ada cara lain, untuk bisa membuat papamu percaya? Dengan menjebak Om Martin mungkin.""Maksudmu?" Abian langsung menoleh ke arahku."Kita harus beri papamu bukti, supaya dia percaya. Jika ucapan dari kamu saja tidak ia percaya, aku yakin kalau dia melihat buktinya, mau nggak mau dia harus percaya," usulku."Caranya?""Heh, kamu 'kan selalu pintar dalam mengatur perusahaan, tentu saja ini tugasmu untuk cari caranya," cetusku.Abian membuang napas kasar."Aku sudah pernah mencoba, tapi gagal. Dan pada akhirnya,yang ada justru Papa kembali menyalahkanku.""Ehm atau begini saja, kau punya teman dekat atau mungkin seseorang yang bisa kau percaya yang masih bekerj
"Pa, ternyata Abian itu kasihan banget tau Pa, dia itu kayak di benci gitu sama Papanya" ujarku pagi ini di meja makan.Hari ini hari Minggu jadi aku bisa santai di rumah."Oh itu, iya Papa sudah tahu, Rendra memang keras kepala." Apa menanggapi sambil menyuap makanan."Papa kenal dia?""Ya tentu saja Papa kenal, siapa sih yang tak kenal Rendra Kresna Hariadi, seorang pemilik perusahaan Kresna Hariadi."Aku hanya mengangguk, Papa memang sudah malang melintang dia dunia bisnis tentu saja dia tahu para petinggi perusahaan lain."Sebenarnya Papa juga sudah pernah mencoba bicara padanya. Tapi dia malah marah karena Papa justru mempercayai perusahaan pada Abian."Papa mendesah kesal."Ehm, memang sih orang kalau udah benci ya, mau apapun itu yang menyangkut dengan orang yang di benci, pasti selalu salah di matanya.""Ya begitulah." Papa membenarkan kata-kataku."Dan anehnya lagi dia lebih percaya sama orang lain loh, dari pada sama anaknya sendiri," ucapku."Begitu lah, hati kalau sudah k