Tyas pov."Tyas masuk dulu ya Pa," pamitku aku pun masuk ke dalam rumah.Waktu terus bergerak hingga malam hari, Abian belum juga menghubungi Papa ataupun aku untuk mengabarkan keadaan ayahnya.Bagaimana ya keadaan papanya Abian? Apa dia baik-baik saja? Hingga malam hari aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan padanya.[Selamat malam, bagaimana keadaan papa kamu Bi?]Pesan itu terkirim, tapi hingga beberapa menit, tak juga di buka oleh Abian. Mungkin dia sedang sibuk.Setiap malam aku mulai mengecek laporan dan beberapa email yang masuk. Serta menyiapkan semua keperluan untuk bekerja besok.Hingga pagi hari aku terbangun, sebuah pesan balasan dari Abian masuk.[Maaf Yas, aku baru balas oesanmu. Luka akibat kecelakaan cukup parah, dan sekarang keadaan Papa Kritis. Mohon doa-nya untuk Papaku ya.]Aku terkesiap membaca pesan dari Abian.[Saya turut prihatin, semoga papamu lekas membaik dan berhasil melewati masa kritisnya.][Terimakasih Yas.]Saat sarapan aku menyampaikan soal ke
"Hah, apa? Dia janda? Apa Mbak Suryani nggak salah! Anaknya bujang ganteng masak dapetnya janda! Kayak nggak ada perempuan lain aja yang masih perawan!" Seketika langkahku terhenti. Aku tak jadi ke toilet mendengar percakapan tiga orang yang ada di dapur. Aku memutar langkah kembali ke ruang tengah. Sakit? Tentu saja. Aku juga manusia biasa. Hanya karena statusku seorang janda, lalu aku tak pantas bersanding dengan Abian yang masih bujang? Begitu maksud mereka? Aku tersenyum getir. Belum apa-apa saja sudah ada saudaranya Abian yang tak menyukaiku, apa lagi kalau sudah sampai tahap serius. Aku kembali berbalik menemani Tante Suryani di ruang tengah. Sekarang beliau sudah lebih tenang. "Kok cepat sekali ke kamar mandi?" "Iya, Ma, nggak jadi, tadi soalnya ada yang lagi pakai kamar mandi." Aku terpaksa berbohong. "Oh, mau pakai kamar mandi di kamar Mama aja?" tawarnya. "Oh nggak perlu Ma, nanti saja." "Sudah nggak apa-apa, yuk sini masuk, Mama juga ingin ngobrol-ngo
"Assalamualaikum! Mama." Abian datang dari luar. "Wa'alaikumussalam, aku dan Tante Suryani menjawab salam hampir bersamaan. Abian datang membawa beberapa belanjaan, di tangannya. "Ini martabak Telor dan martabak manis buat dua orang yang spesial!" ucap Abian sambil tersenyum, dan meletakkan plastik putih di atas meja. "Eh, Mas Abi, buat kami mana?" Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tahunan datang dari dapur. "Oh tenang, ini ada lagi, buat kamu dan yang lainnya." Abian juga memberikan satu plastik lagi pada wanita yang aku tahu dia masih kerabat dari Tante Suryani. "Yeee! Makasih ya Mas!" ucapnya girang dengan gaya centilnya. "Iya sama-sama, udah sana ke dapur bagi sama yang lain!" "Oh kok ngusir sih Mas! Aku kan juga mau makan sama-sama Mas Abi!" rengeknya. "Ya udah sih Bi, makan bareng Stefy kenapa sih! Kok kayaknya kamu itu anti banget sama Stefy, padahal dia itu cuma pengin makan bareng kamu aja kok." Tiba-tiba seorang wanita berusia sekitar empat
Tyas pov."Apa robek?" Aku memekik kaget mendengar bajuku ada yang robek."Oh ya Allah! Iya nih Sayang bajunya robek." Tante Suryani memegang bagian yang robek, ada di dekat pinggang sebelah kiriku. Untung saja aku memakai tanktop jadi kulit tubuhku tidak langsung terlihat. Astaghfirullah. Aku malu sekali. Untung saja tadi Abian langsung menyadari, dan dia langsung menutupinya dengan kain. Ternyata karena ini."Baju baru kok ya bisa robek ya? Apa iya Abian nggak teliti saat membeli? Tapi kan dia belinya di butik, tapi masak robek begini?" gumam Tante Suryani, sambil memegang bagian yang robek.Kalau iya Abian beli di butik nggak mungkin mereka menjual barang riject begini."Ganti baju lagi aja yuk Sayang, pakai baju Mama dulu nggak apa-apa ya Sayang, ini baju Mama Waktu Mama masih kurus, udah lama sih, tapi masih bagus kok, nih kamu pilih yang mana Sayang?"Tante Suryani memintaku memilih satu dari tiga baju gamis yang berjejer di bibir ranjang."Ehm yang ini aja Ma."Aku memilih gam
"Yas, tolong kamu telpon Azka untuk menghandle sementara pekerjaan Abi di kantor," ucap Papa pagi ini sambil menikmati sarapan pagi."Azka? Nggak Nando aja Pa?" usulku. Karena menurutku Nando lebih kompeten, dan aku yakin dia lebih bisa diandalkan."Azka saja, Nando fokus di kantor pusat, Azka kan memang sudah di sana bersama Abi, jadi dia lebih mengerti situasi dan kondisi di sana." Aku mengangguk paham."Baik Pa, nanti aku telpon dia."Kami menghabiskan sarapan pagi ini bersama.Setelah itu aku langsung ke kantor. Seperti biasa rutinitas di kantor, dan kesibukan di kantor. Aku menikmati itu.*"Halo Yas!"Tiba-tiba Amel sahabatku datang berkunjung ke kantor."Amel! Apa kabar? Tumben main kemari nggak ngabarin dulu?" Aku dibuat terkejut atas kedatangan sahabatku."Aku baik. Kamu yang apa kabar? Cie yang udah jadi wanita karier sekarang, jadi sibuk banget nih kayaknya sampai jarang hangout kita!"Aku tersenyum menanggapi. Kemudian kami berjabat tangan dan saling memeluk karena rasa ri
"Hah! Apaan sih aku ini!" seruku tiba-tiba keceplosan karena sibuk dengan pikiranku sendiri."Hah, Kenapa Yas?" tanya Amel bingung melihatku seperti bingung sendiri."Oh, nggak, aku nggak apa-apa.""Jadi gimana? Cocok nggak?""Cocok apaan?""Kalau aku sama Abi, cocok enggak?""Oh, ya cocok-cocok aja sih," sahutku."Duh, bayanginnya aja aku udah Seneng bangeet, duhh Abiaaan ... Baik, ganteng, masa depan jelas, paket komplit dah pokoknya, Abis ... " Amel makin menjadi, ia sampai senyum-senyum sendiri membayangkan dirinya bersanding dengan Abian.Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.Padahal baru kemarin Abian bilang padaku untuk mulai memikirkan, tentang perasaannya, keseriusan dan kesungguhannya, untuk menjalani hidup bersama ke depan bersama-sama. Tapi sekarang justru tiba-tiba Amel juga menyukai Abian. Membuatku dilema.Apa aku tega menyakiti perasaan sahabatku sendiri? Amel dengan perasaannya, yang selama ini seakan mati rasa pada semua cowok. Kini seakan pu
Sore hari aku pulang sampai di rumah, langsung mendaratkan bobotku di sofa ruang tamu."Sayang, sudah pulang?" Suara Papa mengagetkan."Sudah Pa.""Kenapa? Kok suntuk banget gitu?" tanyanya. Papa memang selalu peka jika aku sedang tidak baik-baik saja."Nggak apa-apa sih Pa. Cuma lagi sedikit pusing aja," sahutku."Ambil cuti beberapa hari dan pergilah berlibur. Kamu bisa ajak teman-teman kamu, atau ajak Amel, kan dia bestie kamu," usul Papa. Seketika aku langsung menoleh. Papa duduk di sebelahku."Amel?""Iya. Bukankah kalian sangat akrab?""Ya, iya sih. Tapi aku lagi nggak pengin liburan Pa." Entahlah aku sendiri tidak tahu dengan perasaanku sendiri. Padahal dulu aku akan sangat senang sekali saat denger Amel.pinya gebetan baru. Dan aku akan jadi orang pertama yang nyemangatin dia biar bisa jadian sm cowok yang ditaksirnya itu."Ya sudah kalau lagi nggak pengin liburan, kamu bisa jalan-jalan, untuk refreshing. Kamu terlalu diforsir selama sebulan ini, Yas. Kamu butuh refreshing, Say
Hari ini hari Sabtu, aku memutuskan untuk pergi sendiri ke luar. Ah, bukan pergi sendiri, tapi di dampingi sama Yuda dan Riyan tentunya."Mau kemana Sayang? Jadi mau ke Semarang?""Enggak Pa. Mau jalan-jalan di sini aja sekitaran Jakarta," sahutku"Oh, tapi nggak sendirian kan?""Ya, ya, sudah pasti dua orang itu ikut." Aku menatap jengah mereka berdua. Papa hanya tersenyum geli melihatku."Ini demi kebaikan kamu Sayang. papa nggak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu, minimal dengan adanya mereka Papa bisa tenang."Aku mengangguk mengerti. Meski terkesan Papa sangat berlebihan, tapi aku bisa mengerti, ini semua karena Papa sayang sama aku."Iya Pa." Aku menyahut sambil tersenyum."Nah gitu dong."Selesai sarapan aku langsung pergi ke sebuah tempat yang, ya tak begitu jauh, masih di sekitar Jakarta. Sekedar melepas penat.Pantai. Tempat yang beberapa hari lalu sempat aku kunjungi bersama Abian. Kali ini aku kemari sedirian. Setelah hampir satu jam berjibaku dengan kemacetan Jakar
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang