Tyas pov."Apa robek?" Aku memekik kaget mendengar bajuku ada yang robek."Oh ya Allah! Iya nih Sayang bajunya robek." Tante Suryani memegang bagian yang robek, ada di dekat pinggang sebelah kiriku. Untung saja aku memakai tanktop jadi kulit tubuhku tidak langsung terlihat. Astaghfirullah. Aku malu sekali. Untung saja tadi Abian langsung menyadari, dan dia langsung menutupinya dengan kain. Ternyata karena ini."Baju baru kok ya bisa robek ya? Apa iya Abian nggak teliti saat membeli? Tapi kan dia belinya di butik, tapi masak robek begini?" gumam Tante Suryani, sambil memegang bagian yang robek.Kalau iya Abian beli di butik nggak mungkin mereka menjual barang riject begini."Ganti baju lagi aja yuk Sayang, pakai baju Mama dulu nggak apa-apa ya Sayang, ini baju Mama Waktu Mama masih kurus, udah lama sih, tapi masih bagus kok, nih kamu pilih yang mana Sayang?"Tante Suryani memintaku memilih satu dari tiga baju gamis yang berjejer di bibir ranjang."Ehm yang ini aja Ma."Aku memilih gam
"Yas, tolong kamu telpon Azka untuk menghandle sementara pekerjaan Abi di kantor," ucap Papa pagi ini sambil menikmati sarapan pagi."Azka? Nggak Nando aja Pa?" usulku. Karena menurutku Nando lebih kompeten, dan aku yakin dia lebih bisa diandalkan."Azka saja, Nando fokus di kantor pusat, Azka kan memang sudah di sana bersama Abi, jadi dia lebih mengerti situasi dan kondisi di sana." Aku mengangguk paham."Baik Pa, nanti aku telpon dia."Kami menghabiskan sarapan pagi ini bersama.Setelah itu aku langsung ke kantor. Seperti biasa rutinitas di kantor, dan kesibukan di kantor. Aku menikmati itu.*"Halo Yas!"Tiba-tiba Amel sahabatku datang berkunjung ke kantor."Amel! Apa kabar? Tumben main kemari nggak ngabarin dulu?" Aku dibuat terkejut atas kedatangan sahabatku."Aku baik. Kamu yang apa kabar? Cie yang udah jadi wanita karier sekarang, jadi sibuk banget nih kayaknya sampai jarang hangout kita!"Aku tersenyum menanggapi. Kemudian kami berjabat tangan dan saling memeluk karena rasa ri
"Hah! Apaan sih aku ini!" seruku tiba-tiba keceplosan karena sibuk dengan pikiranku sendiri."Hah, Kenapa Yas?" tanya Amel bingung melihatku seperti bingung sendiri."Oh, nggak, aku nggak apa-apa.""Jadi gimana? Cocok nggak?""Cocok apaan?""Kalau aku sama Abi, cocok enggak?""Oh, ya cocok-cocok aja sih," sahutku."Duh, bayanginnya aja aku udah Seneng bangeet, duhh Abiaaan ... Baik, ganteng, masa depan jelas, paket komplit dah pokoknya, Abis ... " Amel makin menjadi, ia sampai senyum-senyum sendiri membayangkan dirinya bersanding dengan Abian.Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.Padahal baru kemarin Abian bilang padaku untuk mulai memikirkan, tentang perasaannya, keseriusan dan kesungguhannya, untuk menjalani hidup bersama ke depan bersama-sama. Tapi sekarang justru tiba-tiba Amel juga menyukai Abian. Membuatku dilema.Apa aku tega menyakiti perasaan sahabatku sendiri? Amel dengan perasaannya, yang selama ini seakan mati rasa pada semua cowok. Kini seakan pu
Sore hari aku pulang sampai di rumah, langsung mendaratkan bobotku di sofa ruang tamu."Sayang, sudah pulang?" Suara Papa mengagetkan."Sudah Pa.""Kenapa? Kok suntuk banget gitu?" tanyanya. Papa memang selalu peka jika aku sedang tidak baik-baik saja."Nggak apa-apa sih Pa. Cuma lagi sedikit pusing aja," sahutku."Ambil cuti beberapa hari dan pergilah berlibur. Kamu bisa ajak teman-teman kamu, atau ajak Amel, kan dia bestie kamu," usul Papa. Seketika aku langsung menoleh. Papa duduk di sebelahku."Amel?""Iya. Bukankah kalian sangat akrab?""Ya, iya sih. Tapi aku lagi nggak pengin liburan Pa." Entahlah aku sendiri tidak tahu dengan perasaanku sendiri. Padahal dulu aku akan sangat senang sekali saat denger Amel.pinya gebetan baru. Dan aku akan jadi orang pertama yang nyemangatin dia biar bisa jadian sm cowok yang ditaksirnya itu."Ya sudah kalau lagi nggak pengin liburan, kamu bisa jalan-jalan, untuk refreshing. Kamu terlalu diforsir selama sebulan ini, Yas. Kamu butuh refreshing, Say
Hari ini hari Sabtu, aku memutuskan untuk pergi sendiri ke luar. Ah, bukan pergi sendiri, tapi di dampingi sama Yuda dan Riyan tentunya."Mau kemana Sayang? Jadi mau ke Semarang?""Enggak Pa. Mau jalan-jalan di sini aja sekitaran Jakarta," sahutku"Oh, tapi nggak sendirian kan?""Ya, ya, sudah pasti dua orang itu ikut." Aku menatap jengah mereka berdua. Papa hanya tersenyum geli melihatku."Ini demi kebaikan kamu Sayang. papa nggak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu, minimal dengan adanya mereka Papa bisa tenang."Aku mengangguk mengerti. Meski terkesan Papa sangat berlebihan, tapi aku bisa mengerti, ini semua karena Papa sayang sama aku."Iya Pa." Aku menyahut sambil tersenyum."Nah gitu dong."Selesai sarapan aku langsung pergi ke sebuah tempat yang, ya tak begitu jauh, masih di sekitar Jakarta. Sekedar melepas penat.Pantai. Tempat yang beberapa hari lalu sempat aku kunjungi bersama Abian. Kali ini aku kemari sedirian. Setelah hampir satu jam berjibaku dengan kemacetan Jakar
Aku menarik kuat lengan Abian yang terulur, Alhamdulillah akhirnya dia muncul di permukaan.Abian menggulingkan tubuhnya di atas dermaga, di tangan kanannya ada ponsel milikku berhasil ia dapatkan.Abian terengah-engah."Abian! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku yang masih di selimuti rasa khawatir.Abian tak menjawab, ia justru memejamkan matanya. Tak kupedulikan lagi ponsel milikku yang berhasil ia temukan di dasar laut.Menurutku yang dia lakukan ini sangat konyol, dia membahayakan nyawanya sendiri, demi untuk sebuah ponsel."Abian! Bangun!"Aku menggoyangkan tubuhnya, tapi dia diam tak bergeming.Ya ampun, Abian! Apa dia pingsan? Atau jangan-jangan dia meninggal kehabisan napas, karena cukup lama tadi dia di dalam air.Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa."Abian! Bangun Bi! Bangun!"Aku tekan-tekan perutnya, agar air yang masuk bisa keluar."Abian, bangun! Kamu harus bangun Bi, please!"Aku panik. Tanpa sadar air mataku merembes membasahi pipi."Abiiiii!" teriakku lan
"Dah ah aku mau pulang!" ketusku. Setelah tak berapa lama Riyan dan Yuda datang membawa satu stel baju ganti untuk Abian "Eh tunggu dulu dong! Kok pulang sih! Oh ya katanya mau ke Semarang, Ayo! Kapan?" tanyanya membuatku seketika menghentikan langkah dan menatap ke arahnya.Ini pasti Papa yang kasih tau Abi."Ke Semarang? Enggak! Nggak jadi.""Lho kenapa nggak jadi? Aku udah seneng banget padahal kalau aku dikenalin sama saudara-saudara kamu di sana. Minggu depan aku senggang kok. Gimana kalau Minggu depan kita kesana?""Ih Abian! Aku bilang enggak ya enggak! Ini pasti Papa kan yang bilang? Aku udah bilang nggak jadi ke sana!""Yah padahal aku udah seneng banget lho! Sekalian aku mau ke Solo, nengokin nenekku."Aku membuang napas kesal."Udah sana ganti baju kamu dulu, keburu masuk angin ntar kamu Bi!" pintaku. Sedari tadi bajunya Abian udah basah kuyup. "Aku ganti baju bentar, kamu jangan kemana-mana ya!""Hem!""Oke." Abian bergegas pergi untuk berganti baju.Aku sendiri menatap
"Abian! Kita mau kemana?""Ke KUA."Abian terus saja menarik lenganku hingga sampai ke mobil. Lalu dengan cepat ia melempar kunci motor sportnya pada Riyan. Dan dia sendiri langsung duduk di depan kemudi.Melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata."Kayaknya kamu kesambet setan dasar lautan Bi, main seret aja!" ketusku."Aku akan temui Pak Aditama, kalau kita akan segera menikah." Seketika netraku membelalak.Ternyata dia serius."Tapi Bi, aku nggak bisa. Kamu nggak bisa dong maksa aku gini!" sentakku."Kenapa? Gara-gara mikirin temen kamu itu?"Tiba-tiba Abian menepikan mobil, dan menatapku lekat.Aku terdiam."Aku yang akan bilang pada Amel.""Abian! Jangan gitu dong!" Aku keberatan."Terus kamu maunya kayak gimana?" tanya Abian terlihat putus asa.Abian kembali mengemudikan mobil setelah beberapa saat kami saling diam.Sampai mobil memasuki gerbang rumah, kami masih saling diam."Bi, jangan bilang apa-apa dulu sama Amel, nanti biar aku yang bilang sama dia."Abian diam tak