"Maksud kamu bagaimana Iqbal?" sentak Ibu ketika aku menyampaikan kecemasanku terhadap Andra."Nomor Andra sulit sekali di hubungi, Iqbal hanya khawatir kalau-kalau dia bawa kabur uang itu," jelasku makin membuat wajah ibu memerah."Astaga, kok bisa! Memangnya kamu itu sudah kenal dia berapa lama sih?""Baru satu tahun ini aku mengenalnya, itupun karena kami sering ngobrol-ngobrol ketika aku servis mobil di bengkel langgananku."Dan kemarin nggak sengaja ketemu dia pas lagi mau jual mobil, dan dia cerita kalau dia sudah nggak kerja di bengkel itu lagi karena bosnya pelit katanya dan dia memilih resign. "Haduuhh Iqbal! Bagaimana kalau ternyata dia itu menipu kita, dan membawa kabur uang itu?" pekik ibu dengan wajah sudah sangat cemas.Aku tertunduk bingung. Sebenarnya pemikiranku pun sama seperti itu, hanya saja aku tak sampai mengungkapkanya secara langsung, karena takut hal itu benar-benar kejadian."Pokoknya Ibu nggak mau tahu, kamu harus cari dia sampai ketemu! Apapun itu caranya!
Tyas Pov.Terlihat gurat kekecewaan dan rasa tak terima ketika menerima surat pemutusan hubungan kerja yang aku sodorkan. Netra lelaki yang dulu selalu memandang penuh cinta kini semua telah musnah. Tergantikan dengan tatapan marah dan kecewa diantara kami.Kamu yang menabuh genderang perang diantara kita Mas, aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku memecatmu juga bukan serta merta tanpa alasan, tapi berdasarkan fakta di lapangan bagaimana kinerja kamu, memiliki jabatan, bukan membuatmu bersyukur dengan bekerja dengan sungguh-sungguh. Tapi justru membuatmu lalai akan apa-apa saja tuntutan perusahaan terhadap peranmu di sini.Aku membuang napas berat, menatap punggung laki-laki itu keluar dari ruangan ini.Mungkin ini memang jalan yang terbaik, aku sudah memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri, juga untuk bekerja lebih baik lagi ketika aku menempatkan kamu di bagian staf, tapi kamu justru semakin parah.*"Sudah jangan terlalu dipikirkan, insya Allah ini memang ke
Dering ponsel mengagetkanku yang tengah fokus di depan layar laptop.Abian."Ya Hallo Pak Abi," sapaku pada lawan bicaraku di seberang sana."Bu Tyas, ada yang ingin saya sampaikan.""Ya, katakan saja."Suara Abian di seberang sana terdengar berbeda. Sepertinya ada sesuatu hal yang penting yang ingin ia sampaikan.Beberapa saat ia terdiam. Membuatku menghentikan pekerjaan, dan memilih fokus untuk bicara dengan Abian."Hallo, Pak Abian! Apa ada masalah?" tanyaku lagi."Iya ada hal yang penting, dan ini sepertinya kita harus ketemu langsung supaya semuanya jelas."Aku mengangguk mengerti."Apa ini menyangkut soal perusahaan?""Ya!""Baiklah kalau begitu atur saja jadwal kita ketemu, Pak Abian.""Besok sore di Kafe dekat kantor, ehm tidak, biar aku saja yang datang ke kantor besok.""Oh, oke baiklah. Aku tunggu."Panggilan pun berakhir. Ada rasa penasaran yang menggelayut di dalam dada. Apa sebenarnya yang ingin Abian sampaikan, sampai-sampai harus ketemu untuk membahas ini.Besok juga
Abian bahkan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah laki-laki itu.Dan dengan santai laki-laki lawan bicaranya itu menurunkan pelan jari telunjuk Abian, sambil tersenyum penuh misteri dan tak lama kemudian ia terlihat pamit, menepuk pelan bahu Abian yang mematung, masih dengan ekspresi wajah marah. Menatap laki-laki itu berlalu meninggalkan area restoran ini.Aku memberanikan diri untuk menghampiri Abian."Ekhem! Pak Abian?" Abian terkejut, dan menoleh ke arahku."Bu–Bu Tyas! Ibu di sini?""Iya. Ada janji ketemu sama Pak Wiratama, beliau meminta untuk membahas mengenai kerjasama perusahaan kita di sini." Abian mengangguk paham."Ehm, maaf Pak Abian, tadi itu ....""Ehm tadi itu bukan siapa-siapa. Cuma seseorang yang sangat tidak penting sekali." jawab Adrian seraya tersenyum kaku.Aku menatapnya, terlihat netranya seperti menghindar, sepertinya ada yang di tutupi dariku. Ah mungkin itu urusan pribadinya. Tak seharusnya aku ikut campur urusan dia."Oh begitu. Maaf, soalnya
Pov Author.Sepanjang perjalanan pulang, Abian melirik ke arah spion motor yang tengah dikendarainya. Menatap wajah putih berseri dengan riasan natural. Alisnya tebal, bulu mata lentik dan hidung bangir, kedua mata indah berwarna kecokelatan.Sungguh, ciptaan Tuhan yang satu ini sangat indah. Sesekali Abian tersenyum sendiri menatap wajah Tyas yang duduk menikmati perjalanan sore itu. Hijab berwarna abu-abu muda berkibar tertiup angin, sesekali netra indah itu menyipit karena terpaan angin yang menyapa.Sesekali Abian memelankan laju kendaraannya, sekedar untuk sedikit mengulur waktu dan menikmati kebersamaan mereka kali ini.Sudah lama Abian menyimpan rasa pada Tyas, sejak kembalinya wanita itu dari Amerika kala itu, sebenarnya hati Abian sangat girang mendengar Tyas akan kembali aktif di kantor, karena dengan begitu, setiap hari ia bisa bersua dengan gadis pujaannya. Tapi baru beberapa bulan Tyas bergabung di perusahaan, Tiba-tiba Ia mendengar kabar Tyas telah menerima pinangan dar
"Jadi tuh aku denger-denger dari beberapa orang, katanya Iqbal abis kena tipu sama orang! Uangnya di bawa orang seratus juta atau berapa gitu!"Tyas ternganga mendengar berita yang dari Sarah. Pantas saja ibu mertuanya jadi seperti itu. Mengingat bagaimana sikap Bu Wina kalau soal uang. Apalagi uang dalam jumlah begitu besar, untuk sekedar membeli beberapa barang kebutuhan atau sesekali makan enak, Bu Wina sayang keluar duit, dan ia akan merepet tak henti-henti."Setiap hari Iqbal pergi kesana kemari katanya sih nyari temannya itu, dan udah lapor polisi juga tapi belum ada hasil. Mungkin ini karma buat mereka, karena udah jahatin kamu Yas!" timpal Sarah lagi turut prihatin melihat kondisi Iqbal dan keluarganya.Tyas hanya menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan."Gimana ceritanya Iqbal bisa ketipu segitu besar Rah?" tanya Tyas karena penasaran."Katanya sih mau usaha buka bengkel gitu, dan mau kerjasama sama temennya, uangnya udah di kasihkan ke temennya, buat belanja per
"Amanda, kamu itu sebagai menantu harusnya ikut menghibur Ibu, bukannya malah pergi keluyuran nggak jelas, ingat kamu lagi hamil loh!"Memangnya ada orang hamil di larang untuk keluar rumah jalan-jalan? Yang ada orang hamil itu nggak boleh, capek, nggak boleh stres! Kalau aku di rumah terus yang ada aku ikutan stres kayak ibu kamu itu!""Amanda! Jaga mulut kamu ya!" Iqbal tak terima ibunya dikatain wanita stres."Kalau bukan karena lagi hamil anak kamu, aku lebih milih pergi saja dari rumah ini Mas! Nyesel aku ngrebut kamu dari Tyas, berharap hidup enak jadi orang kaya, malah ternyata makin sengsara!"Iqbal tak menyangka wanita yang ia perjuangkan selama ini tak lebih dari wanita yang mata duitan, akan bersikap manis jika dirinya ada uang saja, kini saat dirinya tak ada uang, bahkan kondisi keluarganya sedang tidak baik, Amanda tega berkata demikian."Kenapa? Nggak usah kaget Mas, memang bener kok, aku lihat dulu kamu itu keren, punya jabatan, rumah gedong, kenapa ada setelah kita nik
"Darimana kamu Manda? Baru pulang?"Amanda baru saja memasuki rumah, tiba-tiba terdengar suara bariton Iqbal. Ternyata ia tengah duduk di sofa ruang tamu dekat pintu, pantas saja Amanda tak melihatnya ketika masuk rumah tadi."Ehm, aku ....""Dari mana? Sampai semalaman nggak pulang!" bentaknya. Kali ini habis sudah kesabaran Iqbal menghadapi perempuan itu.Amanda berjingkat kaget, ia pejamkan matanya rapat-rapat, sebab kaget juga takut melihat wajah Iqbal yang merah padam, seakan siap untuk menelannya hidup-hidup."Aku nginep di rumah temen." Amanda menjawab singkat."Siapa?""Ehm, Elisa. Ya aku nginep di rumah Elisa, karena pas udah sore mau pulang tapi hujan, jadi Elisa memintaku untuk menginap saja," jelas Amanda, meski sebenarnya dia takut, tapi dia berusaha untuk tidak gugup."Kenapa sampai harus dimatikan hapenya? Kamu tahu nggak, aku khawatir! Kamu itu lagi hamil, Manda!" ucap Iqbal merasa gemas sekali, tapi di sisi lain ia juga sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya yang ada
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang