"Kamu itu harus didik istri kamu itu supaya bisa hemat! Jangan sukanya menghamburkan uang! Ibu dulu sering bawel sama Tyas soal ini, tapi Tyas masih mending mau dengerin ibu! Tapi Amanda itu enggak! Dia sama sekali nggak berubah! Entah dia paham atau enggak omongan Ibu!" tukas ibu seraya membuang napas kasar."Iqbal cinta sama Amanda Bu, dia itu sedang hamil anakku, cucu Ibu! Nggak tega aja kalau lihat dia sedih.""Sedih, sih sedih, tapi harus lihat kondisi juga Iqbal! Nggak harus apa-apa maunya di turuti! Masa depan juga harus dipikirkan!"Aku membuang napas berat."Sekarang dia minta aku untuk resign dari kantor, Bu!""Apa?!""Sampai segitunya? Terus kamu mau kerja apa?! Sekarang cari kerja itu susah loh!" pekik Ibu karena terkejut."Dia nggak mau aja aku kembali dekat sama Tyas!" Aku mengungkapkan alasannya.Ibu menggeleng."Justru Ibu penginnya kamu kembali lagi sama dia! Kalau saja dari dulu kita tahu Tyas itu anak orang kaya, anak pemilik perusahaan tempat kamu kerja! Sudah past
"Amanda Sayang, Mas berangkat dulu ya ke kantor!" pamitku menghampirinya di dalam kamar, ia tengah tiduran di kamar, wajahnya terlihat sedih, dan cemberut."Aku sakit hati banget ibu kamu ngomong gitu sama aku," adunya dengan wajah sendu."Sudah, nggak perlu di pikirkan, kamu kan tahu ibuku seperti apa, nggak perlu di masukin ke hati, Ya!" Aku menghiburnya dengan membelai lembut rambutnya yang panjang sebahu dengan warna kecokelatan."Tapi kamu percaya kan sama aku?" tanyanya seraya menatapku dalam.Aku mengangguk tersenyum. "Iya Sayang."Seketika sebaris senyum terukir di bibirnya, dan perlahan bibir itu mendekat dan mengecup lembut bibirku. Satu tangannya membelai lembut dan menari-nari di dadaku yang sudah rapi mengenakan kemeja."Sayang, udah ya, Mas keburu terlambat ini!" Aku melerai pelukan. Namun bukannya berhenti, Amanda makin menggila, ia terus menggerayangi tubuhku, membuatku tak mampu menahan gelanyar aneh yang tiba-tiba hadir dari dalam diri ini."Sehari ini aja ijin ngga
Beberapa hari kemudian ..."Pak Iqbal, Anda di minta ke ruangan Bu Tyas sekarang Pak." Tiba-tiba Bu Agustin menghampiri meja ke kerjaku, dan mengatakan itu."Baik, Bu." Aku menyahut menatapnya sekilas.Wanita berumur empat puluh tahunan itu hanya mengangguk menatapku datar.Aku pun meninggalkan sejenak pekerjaanku. Lalu beranjak menuju ke ruangan Tyas.Entah kenapa kali ini perasaanku tak enak. Aku melangkah dengan hati gelisah. Apa gerangan yang hendak Tyas sampaikan kali ini?Tak terasa aku telah sampai di depan pintu ruangannya. Aku mengetuk pintu sebanyak tiga kali, hingga terdengar suara sahutan dari dalam."Masuk!'Aku pun membuka pintu perlahan dan melangkah masuk dengan hati cemas."Silahkan duduk Pak Iqbal!" titahnya.Tyas masih fokus menekuri laptop di depannya. Kini Tyas-ku benar-benar sudah berubah, aura bos begitu sangat terpancar. Dari tatapan matanya, dari pemilihan kata yang keluar dari bibir ranumnya, mendadak aku menjadi rindu Tyas-ku yang dulu, yang selalu bersikap
Aku melangkah ngontai keluar dari ruangan Tyas. Sakit sekali rasanya, aku sekarang harus membereskan semua barang-barangku karena mulai besok aku sudah tidak bisa lagi bekerja di kantor ini."Weee, Pak Iqbal, lemes banget kayaknya, semangat dong!" celetuk Rivan yang kebetulan berpapasan denganku."Diem Lu!" balasku."Eh galak amat, Pak!" Rivan masih berusaha menghiburku dengan cara bercandanya seperti biasa. Tapi terdengar memuakkan di telingaku."Sabar! Aku sudah tahu, saya turut prihatin Pak!" ungkapnya kemudian, seraya menepuk pelan bahuku.Aku hanya mengangguk sekilas."Sekarang apa rencanamu?" tanyanya. Kini kami memilih untuk duduk di kantin."Entahlah Van! Aku bingung, tahu sendiri cari kerja jaman sekarang itu nggak gampang," keluhku.Terdengar helaan napas Rivan, walau dia itu sering bertingkah menyebalkan, tapi di saat seperti ini, justru dialah yang paling memahami kondisiku."Kamu ada kenalan atau info lowongan kerja di kantor lain mungkin?" Aku berharap, bisa mendapat in
"Amanda, dengerin Mas dulu! Daripada kita nggak mampu bayar cicilan dan akhirnya mobil itu di tarik ke leasing kan, mending kita jual, uangnya bisa untuk Mas buka usaha! Kamu sebagai istri harusnya dukung Mas dong!" Amanda membuang napas kesal."Pokoknya Aku nggak mau, kalau sampai mobil itu di jual Mas! Kamu berusaha cari aja kerjaan lah! Usaha buat cari kerja aja belum, kamu udah pesimis duluan! Buka usaha juga nggak gampang, kalau nggak benar-benar matang persiapan mental dan materilnya bisa rugi nanti! Dan aku nggak mau itu, Mas!"Amanda tetap bersikeras tak setuju kalau aku memulai usaha.Aku pun mengalah, percuma berdebat dengan dia di saat seperti ini, biarlah aku usaha cari kerja dulu, gimana nanti hasilnya semoga dia tidak lagi uring-uringan seperti ini."Oke, oke! Mas akan berusaha cari kerja sesuai mau kamu, tapi kalau belum juga dapat, mas mau mobil itu kita jual, dan uangnya buat Mas buka usaha! Apalagi kamu sebentar lagi mau lahiran, Manda, dan itu butuh uang banyak!"A
Sepucuk surat dari pengadilan agama tergeletak di atas meja. Aku termangu menatap benda tipis persegi panjang berwarna putih itu.Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Rasanya masih tak percaya kalau pernikahanku dengan Tyas benar-benar tidak bisa diselamatkan lagi dan harus bermuara pada perceraian."Mas! Kok bengong? Kenapa bingung?" tanya Manda yang tiba-tiba berdiri di dekatku."Atau Mas masih ragu untuk bercerai dari Tyas?" tanyanya lagi terdengar kurang mengenakkan di telingaku.Aku memilih diam. Seperti biasa Amanda akan terus mencecarku agar segera bercerai dengan Amanda, padahal hidup dengannya aku kurang bahagia. Ya aku sadari itu setelah aku benar-benar merasa kehilangan Tyas.Aku membuang napas kasar."Mas, apa kamu nggak percaya sama aku? Lepaskan Tyas, dengan begitu aku akan tenang, dan kamu bisa fokus dengan kebahagiaan aku, dan anak kita saja," ucapnya dengan suara melembut.Amanda memang cinta pertamaku sejak SMA dulu, ketika kami lulus SMA, dia
Aku sampai di rumah mendapati ibu tengah menangis tersedu. Sedangkan Ananda langsung masuk ke dalam kamar, bahkan dia seperti tak ada empatinya sama sekali melihat mertuanya sedih. Aku hanya menggeleng melihatnya melenggang masuk ke dalam."Ibu kenapa?" Ibu hanya menggeleng menatapku."Ibu hanya kangen sama Bapakmu, Bal.""Tumben," sahutku ketus.Lagi pula untuk apa menangisi orang yang sudah menyakiti hati ibu."Tadi Hasna pulang, dan dia cerita kalau dia habis ketemu Bapak di mall, dia bilang Bapak terlihat sangat bahagia bersama istri mudanya," jawab ibu dengan suara parau."Ya sudah biarkan saja lah Bu! Itu sudah jadi jalan kehidupan Bapak. Sekarang yang harus ibu pikirkan adalah kebahagiaan ibu, sebentar lagi ibu mau punya cucu, jadi ibu bisa sedikit melupakan masalah soal Bapak dengan menimang cucu." Aku berusaha menghiburnya."Tak semudah itu Iqbal.""Lalu ibu maunya bagaimana? Atau ibu mau urus perceraian saja dengan Bapak, biar ibu tenang karena status ibu sudah terlepas dar
"Dia Rendi, teman Mas, dia yang akan membeli mobil kita," ucapku pada Amanda. Seketika membuat netra Manda terbelalak.Dan dengan cepat, Amanda menggandeng cepat lenganku masuk ke dalam rumah."Kamu apa-apaan sih! Kenapa nggak ngomong dulu! Kan aku sudah bilang sejak awal, aku nggak mau mobil itu di jual! Kenapa kamu tiba-tiba bawa orang yang mau beli mobil itu kemari!" Amanda mencecarku."Mas nggak ada pilihan lain, itu jalan satu-satunya, dan hanya mobil itu yang kita punya, Mas sudah cari kerja kesana kemari tapi kamu lihat kan, aku belum juga dapat kerjaan, apa kamu mau aku nganggur selamanya? Pilihannya ada dua, jual mobil itu atau jual dulu perhiasan kamu untuk aku modal usaha."Amanda ternganga."Perhiasanku? Enggak, enggak! Enak aja! Perhiasanku ini murni milikku, kamu sudah memberikannya padaku, masak mau diambil lagi, enggak! Aku nggak mau!" Amanda memegang gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat sekali ia sangat menyayangi benda yang berkilau itu."Ya sudah