"Tapi aku maunya cuma sama kamu Mas. Aku rela jadi istri kedua kamu Mas. Aku janji akan akur dengan Tyas, berjanjilah setelah menikah dengan Tyas, kamu juga akan menikahiku Mas.""Astaghfirullah, Stefy! Kamu ini benar-benar konyol! Ayo Ma pulang! Abi udah nggak tahan Ma, Stefy benar-benar menguji kesabaran kita. Maaf Stefy, aku bukan benci atau tak suka sama kamu, aku sayang sama kamu, tapi rasa sayang sebagai Kakak pada adiknya. Aku mohon kamu jangan mengartikan yang berbeda! Aku mencintai Tyas, nggak mungkin aku juga menikahi kamu! Kamu jangan seperti ini!" ucapku tegas dengan deru napas memburu.Astaghfirullah! Aku hanya manusia biasa, mana mungkin aku bisa melakukan poligami. Sedangkan mimpiku sejak dulu, hanyalah aku ingin hidup bersama Tyas, sampai nanti menua bersama, membesarkan anak-anak kami bersama-sama kelak. Sebuah impian untuk merajut cinta setiap hari, menggapai ridho Allah, dan mencapai surga Allah bersama. Mana mungkin aku tega menghadirkan orang ketiga dalam rumah t
"Abian, ayo cepetan!" Pagi-pagi sekali Mama sudah mengetuk pintu kamarku mengajakku ke rumah sakit.Ya, Semalam Stefy mencoba mengiris pergelangan tangan kanannya dengan sebuah pisau.Benar-benar konyol!"Iya Ma, iya! Sebentar!" Aku dengan tergesa-gesa mengenakan kaos dan celana.Semalam aku memutuskan untuk tidur tanpa membuka pesan dari Tante Melia.Dan selepas subuh tadi Mama membangunkanku, menunjukkan sebuah foto Melia sudah tak sadarkan diri dengan kondisi pergelangan tangan kanannya berlumuran darah.Untung saja Tante Melia cepat mengetahui, kalau tidak sudah dipastikan Stefy bisa tak tertolong akibat kehabisan darah.Astaghfirullah! Dia benar-benar nekat. Dan hal ini bukan membuatku makin simpati, yang ada aku justru semakin muak dengan tingkahnya.Maksudnya apa? Dia mau bunuh diri? Begitu? Astaghfirullah, betapa dia sangat pendek sekali cara berpikirnya. Apa dia pikir dengan mengakhiri hidupnya, akan selesai semua masalah? Dia tak menyadari justru hal itu akan jadi titik awal
Tak ada obrolan lain, Mama mengupas apel dan menyuapi Stefy layaknya anak sendiri. "Aku keluar dulu Ma, sebentar, ini ada telpon dari orang kantor,"di pamitku. Mama mengangguk, aku tak bohong, memang ini ada panggilan masuk dari orang kantor, karena hari ini aku nggak ke kantor."Hallo Rafli, ada apa?""Semua perintah yang Bapak suruh sudah saya kerjakan semua. Semua hasilnya akan saya kirimkan lewat email," ucapnya."Oke, bagus, terimakasih. Nantin saya cek, saya sekarang lagi di rumah sakit.""Baik Pak, dan hari ini Pak Martino ada janji ketemu sama perusahaan Cahaya Makmur, Pak.""Dengan siapa dia bertemu mereka?" "Sendiri Pak.""Bukankah mereka sudah membatalkan rencana kerjasama dengan kita?" tanyaku lagi."Iya Pak, tapi Pak Martin tidak menyerah. Beliau, menerim tawaran untuk membayar lawyer untuk mempermudah perizinannya."Aku tercengang."Astaghfirullah, ini justru akan membahayakan perusahaan kita.""Di kantor nggak ada yang berani melawan Pak Martin, Pak."Aku memijit pel
"Bodoh! Kalian berdua memang tolol! Harusnya kemarin kalian habisi saja perempuan sialan itu sekalian! Sekarang dia sudah kembali, bahkan akan segera menikah dengan Abian!" "Ngurus satu cewek aja, Kalian nggak becus! Percuma saya bayar mahal kalian berdua!"Degh! Aku terkesiap. Siapa yang dia maksud? Brakk!Aku menendang pintu kamar rawat ini. Tak peduli jika pintunya rusak. Seketika membuat Stefy terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. Dimana kaki ini melangkah masuk."Mas Abi.""Siapa perempuan yang kamu maksud?" tanyaku seraya menatapnya tajam tepat di kedua matanya yang kini bergerak liar seolah bingung harus menjawab apa."Si–siapa apa maksud kamu Mas?""SIAPA?!" bentakku lagi. Aku masih menatap tajam wajah pucat Stefy seraya berjalan pelan mendekatinya, kini seakan darah di sekujur tubuhku mendidih hingga ke ubun-ubun."Siapa yang kamu maksud? Yang kamu bicarakan di telepon tadi? Hem?!"Wajah Stefy makin pias. Ia sampai gelagapan tak mampu menjawab. Aku merebut ponsel it
"Assalamualaikum, Pak Aditama," ucapku seraya mengetuk pelan pintu ruangan Pak Aditama."Masuk!" Terdengar suara dari dalam memintaku untuk masuk. Perlahan aku membuka pintu ruangan, dan langsung terlihat penampakkan sosok penuh wibawa tengah duduk di kursi kebesarannya. Sosok pemimpin yang sangat bijaksana menjadi panutan bagi semua karyawan. Disegani karena ketegasannya dalam memimpin."Duduk Bi."Aku meriah punggung tangan laki-laki yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Beliau selalu tersenyum hangat."Ada apa? Kayaknya ada hal yang sangat penting, sampai kamu harus datang kemari di saat jam kerja begini." Pak Aditama menatapku, seolah tahu ada hal penting yang akan disampaikan."Iya Pak. Ini memang hal yang sangat penting. Yaitu soal siapa dalang yang ada di balik penculikan Tyas.""Siapa? Kamu sudah dapat telpon dari polisi?""Saya bahkan mendengar sendiri dia berbincang dengan para penculik itu di telpon Pak. Dan saya langsung membuat laporan pada polisi saat itu juga.""
"Udah ya Ma, sekarang Abi harus kembali ke kantor, ada banyak kerjaan di kantor yang terbengkalai dari sejak kejadian Tyas di culik. Abian jadi nggak fokus kerja," pamitku, kemudian meraih punggung tangan Mama dan menciumnya takzim."Ya sudah, kamu hati-hati ya.""Iya Ma."Baru saja aku hendak beranjak. Tiba-tiba saja terdengar suara teriakkan dari luar."Abi! Keluar kamu! Abian! Kamu benar-benar nggak punya hati ya! Keterlaluan kamu!""Lho siapa sih, siang-siang begini teriak-teriak di rumah orang," gumamku"Mbakyu! Mana Abi Mbak!" Tiba-tiba saja Tante Melia datang ke rumah dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah.Wajahnya merah padam menandakan dia tengah diliputi emosi yang memuncak."Melia. Ada apa sih teriak-teriak begini, ada apa? Sini duduk dulu," pinta Mama meminta Tante Melia untuk duduk di sofa ruang keluarga."Halah sudahlah Mbakyu! Nggak usah pura-pura! Aku datang kesini cuma mau bicara sama Mbakyu dan terutama sama kamu Bi, kamu itu kan laki-laki kok ya, nggak punya s
Hari terus berganti, tanpa terasa seminggu bagi hari pernikahan kami. Semua sudah kami serahkan pada wedding organizer terbaik di negeri ini. Selebihnya Mama bantu mengurusnya.Segala persiapan sudah hampir 90% rampung, kartu undangan, sebagian sudah di sebar. Gedung, katering, semua sudah siap hingga gaun pun sudah siap.Aku yang tak sabar menunggu hari itu tiba, menjalani hari terasa begitu lama. Tyas pun tak diijinkan pergi sendiri, kemana-mana harus bersama Bodyguard. Dan sementara waktu dia tidak diijinkan untuk ke kantor sama Pak Aditama. Urusan pekerjaan, 100% di handle Pak Aditama dibantu oleh Nando.Stefy sudah resmi di tahan atas kasus penculikan dan penyekapan. Dia di jatuhi hukuman lima tahun penjara.Dan semenjak itu Tante Melia seolah menghindar dari keluarga kami. Mungkin dia sakit hati atau tak terima Stefy harus mendekam di bui, tapi memang itu kenyataan yang terjadi. Yang bersalah tentu harus di hukum. Hari berganti hari, kini tiba saat dimana aku bersama rombonga
"Minder Kenapa? Hem? Memangnya aku kenapa?" tanyaku seraya menarik pelan pinggang ramping itu, dan membalikkan tubuhnya. Kini posisi kami saling berhadapan. Aku menahan tubuhku dengan berpegangan pagar balkon, dan dengan lembut kedua telapak tangannya membelai dada bidangku yang masih tertutup kemeja."Kamu itu banyak di kejar wanita, dari mulai Amel, Stefy, terus siapa lagi itu, karyawan kamu yang di Bandung."Bibir mungil berwarna merah ceri itu mengerucut. Membuatku gemas dan ingin sekali aku mengecupnya. Tapi aku tak ingin terlalu terburu-buru. Aku ingin kami berdua menikmati masa-masa seperti ini, saling bicara dari hati ke hati."Ya itu sudah resiko jadi orang ganteng. Memang di kejar banyak wanita, kau harus memaklumi itu."Tyas melirikku dengan alis bertaut. Aku tersenyum."Kenapa? Memang benar kan? Kalau suamimu ini ganteng jadi wajar lah banyak yang suka. Tapi kamu nggak perlu cemburu, sebanyak apapun wanita di luar sana yang mengantri, dan menggodaku. Di hatiku hanya ada k
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang