Tak ada obrolan lain, Mama mengupas apel dan menyuapi Stefy layaknya anak sendiri. "Aku keluar dulu Ma, sebentar, ini ada telpon dari orang kantor,"di pamitku. Mama mengangguk, aku tak bohong, memang ini ada panggilan masuk dari orang kantor, karena hari ini aku nggak ke kantor."Hallo Rafli, ada apa?""Semua perintah yang Bapak suruh sudah saya kerjakan semua. Semua hasilnya akan saya kirimkan lewat email," ucapnya."Oke, bagus, terimakasih. Nantin saya cek, saya sekarang lagi di rumah sakit.""Baik Pak, dan hari ini Pak Martino ada janji ketemu sama perusahaan Cahaya Makmur, Pak.""Dengan siapa dia bertemu mereka?" "Sendiri Pak.""Bukankah mereka sudah membatalkan rencana kerjasama dengan kita?" tanyaku lagi."Iya Pak, tapi Pak Martin tidak menyerah. Beliau, menerim tawaran untuk membayar lawyer untuk mempermudah perizinannya."Aku tercengang."Astaghfirullah, ini justru akan membahayakan perusahaan kita.""Di kantor nggak ada yang berani melawan Pak Martin, Pak."Aku memijit pel
"Bodoh! Kalian berdua memang tolol! Harusnya kemarin kalian habisi saja perempuan sialan itu sekalian! Sekarang dia sudah kembali, bahkan akan segera menikah dengan Abian!" "Ngurus satu cewek aja, Kalian nggak becus! Percuma saya bayar mahal kalian berdua!"Degh! Aku terkesiap. Siapa yang dia maksud? Brakk!Aku menendang pintu kamar rawat ini. Tak peduli jika pintunya rusak. Seketika membuat Stefy terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. Dimana kaki ini melangkah masuk."Mas Abi.""Siapa perempuan yang kamu maksud?" tanyaku seraya menatapnya tajam tepat di kedua matanya yang kini bergerak liar seolah bingung harus menjawab apa."Si–siapa apa maksud kamu Mas?""SIAPA?!" bentakku lagi. Aku masih menatap tajam wajah pucat Stefy seraya berjalan pelan mendekatinya, kini seakan darah di sekujur tubuhku mendidih hingga ke ubun-ubun."Siapa yang kamu maksud? Yang kamu bicarakan di telepon tadi? Hem?!"Wajah Stefy makin pias. Ia sampai gelagapan tak mampu menjawab. Aku merebut ponsel it
"Assalamualaikum, Pak Aditama," ucapku seraya mengetuk pelan pintu ruangan Pak Aditama."Masuk!" Terdengar suara dari dalam memintaku untuk masuk. Perlahan aku membuka pintu ruangan, dan langsung terlihat penampakkan sosok penuh wibawa tengah duduk di kursi kebesarannya. Sosok pemimpin yang sangat bijaksana menjadi panutan bagi semua karyawan. Disegani karena ketegasannya dalam memimpin."Duduk Bi."Aku meriah punggung tangan laki-laki yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Beliau selalu tersenyum hangat."Ada apa? Kayaknya ada hal yang sangat penting, sampai kamu harus datang kemari di saat jam kerja begini." Pak Aditama menatapku, seolah tahu ada hal penting yang akan disampaikan."Iya Pak. Ini memang hal yang sangat penting. Yaitu soal siapa dalang yang ada di balik penculikan Tyas.""Siapa? Kamu sudah dapat telpon dari polisi?""Saya bahkan mendengar sendiri dia berbincang dengan para penculik itu di telpon Pak. Dan saya langsung membuat laporan pada polisi saat itu juga.""
"Udah ya Ma, sekarang Abi harus kembali ke kantor, ada banyak kerjaan di kantor yang terbengkalai dari sejak kejadian Tyas di culik. Abian jadi nggak fokus kerja," pamitku, kemudian meraih punggung tangan Mama dan menciumnya takzim."Ya sudah, kamu hati-hati ya.""Iya Ma."Baru saja aku hendak beranjak. Tiba-tiba saja terdengar suara teriakkan dari luar."Abi! Keluar kamu! Abian! Kamu benar-benar nggak punya hati ya! Keterlaluan kamu!""Lho siapa sih, siang-siang begini teriak-teriak di rumah orang," gumamku"Mbakyu! Mana Abi Mbak!" Tiba-tiba saja Tante Melia datang ke rumah dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah.Wajahnya merah padam menandakan dia tengah diliputi emosi yang memuncak."Melia. Ada apa sih teriak-teriak begini, ada apa? Sini duduk dulu," pinta Mama meminta Tante Melia untuk duduk di sofa ruang keluarga."Halah sudahlah Mbakyu! Nggak usah pura-pura! Aku datang kesini cuma mau bicara sama Mbakyu dan terutama sama kamu Bi, kamu itu kan laki-laki kok ya, nggak punya s
Hari terus berganti, tanpa terasa seminggu bagi hari pernikahan kami. Semua sudah kami serahkan pada wedding organizer terbaik di negeri ini. Selebihnya Mama bantu mengurusnya.Segala persiapan sudah hampir 90% rampung, kartu undangan, sebagian sudah di sebar. Gedung, katering, semua sudah siap hingga gaun pun sudah siap.Aku yang tak sabar menunggu hari itu tiba, menjalani hari terasa begitu lama. Tyas pun tak diijinkan pergi sendiri, kemana-mana harus bersama Bodyguard. Dan sementara waktu dia tidak diijinkan untuk ke kantor sama Pak Aditama. Urusan pekerjaan, 100% di handle Pak Aditama dibantu oleh Nando.Stefy sudah resmi di tahan atas kasus penculikan dan penyekapan. Dia di jatuhi hukuman lima tahun penjara.Dan semenjak itu Tante Melia seolah menghindar dari keluarga kami. Mungkin dia sakit hati atau tak terima Stefy harus mendekam di bui, tapi memang itu kenyataan yang terjadi. Yang bersalah tentu harus di hukum. Hari berganti hari, kini tiba saat dimana aku bersama rombonga
"Minder Kenapa? Hem? Memangnya aku kenapa?" tanyaku seraya menarik pelan pinggang ramping itu, dan membalikkan tubuhnya. Kini posisi kami saling berhadapan. Aku menahan tubuhku dengan berpegangan pagar balkon, dan dengan lembut kedua telapak tangannya membelai dada bidangku yang masih tertutup kemeja."Kamu itu banyak di kejar wanita, dari mulai Amel, Stefy, terus siapa lagi itu, karyawan kamu yang di Bandung."Bibir mungil berwarna merah ceri itu mengerucut. Membuatku gemas dan ingin sekali aku mengecupnya. Tapi aku tak ingin terlalu terburu-buru. Aku ingin kami berdua menikmati masa-masa seperti ini, saling bicara dari hati ke hati."Ya itu sudah resiko jadi orang ganteng. Memang di kejar banyak wanita, kau harus memaklumi itu."Tyas melirikku dengan alis bertaut. Aku tersenyum."Kenapa? Memang benar kan? Kalau suamimu ini ganteng jadi wajar lah banyak yang suka. Tapi kamu nggak perlu cemburu, sebanyak apapun wanita di luar sana yang mengantri, dan menggodaku. Di hatiku hanya ada k
"Maaf, aku sedang datang bulan, Bi."Seketika aku menjatuhkan kepalaku di atas ranjang dan menutupi wajahku dengan bantal.Haduh!"Tapi, bukannya siang tadi kamu salat?" Aku mengangkat bantal yang menutupi wajahku sesaat.Tyas mengangguk."Baru datang tamunya tadi," jawabnya sambil tersenyum."Yah! Aku harus puasa dulu dong, ini!" Kembali aku menutupi wajah ini dengan bantal. Tyas mengangguk kemudian tertawa, seolah ini adalah hal yang sangat lucu baginya.Haduh, nasib, nasib!Padahal aku sudah sangat menunggu momen ini sejak tadi. Hasrat dalam diri memuncak seketika kala mata dan tubuh ini di beri suguhan wanita cantik yang sudah halal untuk disentuh.Aku laki-laki normal, dan kini harus bersabar sampai tamu bulanannya selesai. Tahu kan, bagaimana tersiksanya jadi aku."Bi, kamu kenapa?" tanyanya sambil kembali tertawa."Nggak! Aku nggak apa-apa!" sungutku."Bener nggak apa-apa?" ledeknya, seraya membuka bantal yang menutupi wajahku. Aku merengut menanggapi pertanyaannya. Namun Tyas
Tyas Pov.Acara pernikahanku dengan Abian berjalan lancar, meski sebenarnya ada yang mengganjal di hati ini karena Amel tak datang. Meski aku tahu dia tak kan datang, tapi mengapa aku masih menunggunya?Sampai acara selesai Amel benar-benar tak datang. Apa dia benar-benar sudah tak ingin mengenal aku lagi?Sesekali Abian melirikku, kemudian tersenyum, seakan meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa kehadiran Amel.Apa yang ia pikirkan tentu saja berbeda dengan apa yang ada di pikiranku.Amel sudah seperti saudara bagiku, kedekatan kami lebih dari seorang temandan kini hubungan kami benar-benar harus berakhir karena cinta segitiga.Sesak. Sungguh dada ini terasa sesak memikirkan itu.Hingga malam hari kami menghabiskan waktu bersama dengan status yang berbeda. Aku bisa melihat sisi lain yang berbeda dari diri Abian. Caranya mengungkapkan perasaannya. Caranya memperlakukan aku. Membuatku bahagia. Aku merasa sangat beruntung memiliknya.Sayangnya malam ini aku tak bisa