"Minder Kenapa? Hem? Memangnya aku kenapa?" tanyaku seraya menarik pelan pinggang ramping itu, dan membalikkan tubuhnya. Kini posisi kami saling berhadapan. Aku menahan tubuhku dengan berpegangan pagar balkon, dan dengan lembut kedua telapak tangannya membelai dada bidangku yang masih tertutup kemeja."Kamu itu banyak di kejar wanita, dari mulai Amel, Stefy, terus siapa lagi itu, karyawan kamu yang di Bandung."Bibir mungil berwarna merah ceri itu mengerucut. Membuatku gemas dan ingin sekali aku mengecupnya. Tapi aku tak ingin terlalu terburu-buru. Aku ingin kami berdua menikmati masa-masa seperti ini, saling bicara dari hati ke hati."Ya itu sudah resiko jadi orang ganteng. Memang di kejar banyak wanita, kau harus memaklumi itu."Tyas melirikku dengan alis bertaut. Aku tersenyum."Kenapa? Memang benar kan? Kalau suamimu ini ganteng jadi wajar lah banyak yang suka. Tapi kamu nggak perlu cemburu, sebanyak apapun wanita di luar sana yang mengantri, dan menggodaku. Di hatiku hanya ada k
"Maaf, aku sedang datang bulan, Bi."Seketika aku menjatuhkan kepalaku di atas ranjang dan menutupi wajahku dengan bantal.Haduh!"Tapi, bukannya siang tadi kamu salat?" Aku mengangkat bantal yang menutupi wajahku sesaat.Tyas mengangguk."Baru datang tamunya tadi," jawabnya sambil tersenyum."Yah! Aku harus puasa dulu dong, ini!" Kembali aku menutupi wajah ini dengan bantal. Tyas mengangguk kemudian tertawa, seolah ini adalah hal yang sangat lucu baginya.Haduh, nasib, nasib!Padahal aku sudah sangat menunggu momen ini sejak tadi. Hasrat dalam diri memuncak seketika kala mata dan tubuh ini di beri suguhan wanita cantik yang sudah halal untuk disentuh.Aku laki-laki normal, dan kini harus bersabar sampai tamu bulanannya selesai. Tahu kan, bagaimana tersiksanya jadi aku."Bi, kamu kenapa?" tanyanya sambil kembali tertawa."Nggak! Aku nggak apa-apa!" sungutku."Bener nggak apa-apa?" ledeknya, seraya membuka bantal yang menutupi wajahku. Aku merengut menanggapi pertanyaannya. Namun Tyas
Tyas Pov.Acara pernikahanku dengan Abian berjalan lancar, meski sebenarnya ada yang mengganjal di hati ini karena Amel tak datang. Meski aku tahu dia tak kan datang, tapi mengapa aku masih menunggunya?Sampai acara selesai Amel benar-benar tak datang. Apa dia benar-benar sudah tak ingin mengenal aku lagi?Sesekali Abian melirikku, kemudian tersenyum, seakan meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa kehadiran Amel.Apa yang ia pikirkan tentu saja berbeda dengan apa yang ada di pikiranku.Amel sudah seperti saudara bagiku, kedekatan kami lebih dari seorang temandan kini hubungan kami benar-benar harus berakhir karena cinta segitiga.Sesak. Sungguh dada ini terasa sesak memikirkan itu.Hingga malam hari kami menghabiskan waktu bersama dengan status yang berbeda. Aku bisa melihat sisi lain yang berbeda dari diri Abian. Caranya mengungkapkan perasaannya. Caranya memperlakukan aku. Membuatku bahagia. Aku merasa sangat beruntung memiliknya.Sayangnya malam ini aku tak bisa
"Hasna!" "Mbak Tyas! Pak Abi!" Gadis itu terkejut melihat kami."Ya Allah Hasna! Kamu nggak apa-apa?!" Aku langsung jongkok untuk melihat Hasna lebih dekat, adakah luka serius di tubuhnya atau tidak."Oh ternyata saling kenal?""Oh, temannya.""Ya, bagus deh."Suara beberapa orang yang melihat kejadian ini."Iya Pak, dia teman kami, terimakasih semuanya, kami akan bertanggung jawab penuh, kok. Akan bawa gadis ini ke rumah sakit. Terimakasih ya semuanya!" ucap Abian kepada beberapa orang yang tengah mengelilingi kami."Apa.ada yang sakit? Ada yang luka! Ya Allah, sekali lagi maafkan kami ya Hasna!" Aku khawatir sekali. "Nggak apa-apa Mbak. Aku nggak apa-apa." "Ayo Mbak bantu, kita ke rumah sakit atau klinik terdekat ya, Na." Aku membantu Hasna untuk bangun."Nggak usah Mbak, nggak perlu ke Klinik, aku nggak apa-apa kok, cuma lecet sedikit ini.""Tapi untuk memastikan, kita harus ke klinik ya! Mbak nggak tenang, takut kamu kenapa-kenapa Hasna, Mbak benar-benar minta maaf nggak sengaj
Mas Abi, menarik lenganku keluar dari kantor polisi. Hasna masih di dalam berusaha menenangkan Iqbal."Kamu nggak apa-apa Sayang?" Aku hanya menggeleng pelan. Ucap Mas Abi begitu kami sampai di mobil."Benar-benar gila si Iqbal. Dia yang salah, tapi justru tak merasa. Di hukum di bui bukannya sadar akan kesalahannya, tapi justru semakin parah." Mas Abi menggelengkan kepala."Kita pulang sekarang?" tawarnya."Tapi Hasna, Mas?""Biar nanti dia pulang dengan ojeg online. Sekarang kita pulang, kamu istirahat. Sudah jangan dipikirkan kata-kata Iqbal tadi, Ya!" Mas Abi menarikku dalam pelukannya. Lalu mengecup lembut pucuk kepalaku.Aku masih tak mengerti mengapa Mas Iqbal masih menyalahkan aku atas semua kejadian yang menimpa keluarganya.Padahal itu adalah akibat dari ulahnya sendiri.Mas Abi melajukan mobil ke arah pulang."Mau mampir beli es krim?" tanyanya. Sekarang dia tahu kalau aku sedang badmood atau sedang gundah, aku biasanya membeli es krim untuk mendinginkan kepalaku. Rasa mani
Abian POV.Pernikahanku dengan Tyas menjadi babak baru yang penuh kebahagiaan. Hari-hari yang kami habiskan setelah pernikahan dipenuhi dengan tawa dan canda, hidup ini terasa sangat sempurna.Setiap hari terasa indah, setiap pagi, kala kubuka mata ini, maka yang pertama kali kulihat adalah senyumannya. Belaian lembut tangannya di pipiku.Setiap detik setiap menit yang berlalu, aku ingin selalu mendekapnya. Terimakasih Ya Allah. Engkau limpahkan segala rasa bahagia ini. Jadikan kami menjadi insan yang selalu bersyukur.Aku akan selalu menjaganya, membahagiakannya, semampu yang aku bisa. Tak 'kan aku menyakitimu. Itu janjiku padamu, Sayang.*"Mas kok bengong? Ayo cepet, mandi, aku tunggu," ucapnya. Membuatku tersenyum. Malam tadi aku menyentuhnya untuk pertama kalinya. Kami berhasil mereguk madu cinta, semoga benihku di dalam sana, segera tumbuh, dan menjadi Abian junior."Ih, malah senyum-senyum!" cetusnya lagi dengan kedua pipi merona. Tyas sudah mengenakan gamis berwarna Baby pink
Pagi ini, aku berkendara sendirian menuju desa tempat Pak Bambang tinggal. Jalan menuju sana berkelok-kelok dan sepi.Aku memastikan kembali alamat yang diberikan Andi. Benar memang jalannya ke sini.Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya aku menemukan rumah Pak Bambang. Aku turun dari mobil, sejenak memandangi rumah sederhana.Setelah beberapa saat, seorang pria tua muncul di balik pintu. Tapi aku bisa mengenalinya—dia adalah Pak Bambang, supir yang selalu setia pada ayahku.Laki-laki itu terpana melihatku ada di sini. Aku langsung melangkah mendekat. "Pak Bambang," sapaku. Dia terlihat terkejut melihatku."Mas Abian ..." suaranya serak, seakan-akan tak percaya melihatku di depan pintu rumahnya."Kenapa Pak Abi, bisa sampai di sini?""Aku perlu bicara, Pak. Tentang ayah."Wajah Pak Bambang pun langsung berubah. Pucat. Seakan ada ketakutan yang melintas di matanya. Dia mempersilakan aku masuk. Setelah kami duduk di ruang tamunya yang sederhana, aku langsung ke po
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang