Hari terus berganti, tanpa terasa seminggu bagi hari pernikahan kami. Semua sudah kami serahkan pada wedding organizer terbaik di negeri ini. Selebihnya Mama bantu mengurusnya.Segala persiapan sudah hampir 90% rampung, kartu undangan, sebagian sudah di sebar. Gedung, katering, semua sudah siap hingga gaun pun sudah siap.Aku yang tak sabar menunggu hari itu tiba, menjalani hari terasa begitu lama. Tyas pun tak diijinkan pergi sendiri, kemana-mana harus bersama Bodyguard. Dan sementara waktu dia tidak diijinkan untuk ke kantor sama Pak Aditama. Urusan pekerjaan, 100% di handle Pak Aditama dibantu oleh Nando.Stefy sudah resmi di tahan atas kasus penculikan dan penyekapan. Dia di jatuhi hukuman lima tahun penjara.Dan semenjak itu Tante Melia seolah menghindar dari keluarga kami. Mungkin dia sakit hati atau tak terima Stefy harus mendekam di bui, tapi memang itu kenyataan yang terjadi. Yang bersalah tentu harus di hukum. Hari berganti hari, kini tiba saat dimana aku bersama rombonga
"Minder Kenapa? Hem? Memangnya aku kenapa?" tanyaku seraya menarik pelan pinggang ramping itu, dan membalikkan tubuhnya. Kini posisi kami saling berhadapan. Aku menahan tubuhku dengan berpegangan pagar balkon, dan dengan lembut kedua telapak tangannya membelai dada bidangku yang masih tertutup kemeja."Kamu itu banyak di kejar wanita, dari mulai Amel, Stefy, terus siapa lagi itu, karyawan kamu yang di Bandung."Bibir mungil berwarna merah ceri itu mengerucut. Membuatku gemas dan ingin sekali aku mengecupnya. Tapi aku tak ingin terlalu terburu-buru. Aku ingin kami berdua menikmati masa-masa seperti ini, saling bicara dari hati ke hati."Ya itu sudah resiko jadi orang ganteng. Memang di kejar banyak wanita, kau harus memaklumi itu."Tyas melirikku dengan alis bertaut. Aku tersenyum."Kenapa? Memang benar kan? Kalau suamimu ini ganteng jadi wajar lah banyak yang suka. Tapi kamu nggak perlu cemburu, sebanyak apapun wanita di luar sana yang mengantri, dan menggodaku. Di hatiku hanya ada k
"Maaf, aku sedang datang bulan, Bi."Seketika aku menjatuhkan kepalaku di atas ranjang dan menutupi wajahku dengan bantal.Haduh!"Tapi, bukannya siang tadi kamu salat?" Aku mengangkat bantal yang menutupi wajahku sesaat.Tyas mengangguk."Baru datang tamunya tadi," jawabnya sambil tersenyum."Yah! Aku harus puasa dulu dong, ini!" Kembali aku menutupi wajah ini dengan bantal. Tyas mengangguk kemudian tertawa, seolah ini adalah hal yang sangat lucu baginya.Haduh, nasib, nasib!Padahal aku sudah sangat menunggu momen ini sejak tadi. Hasrat dalam diri memuncak seketika kala mata dan tubuh ini di beri suguhan wanita cantik yang sudah halal untuk disentuh.Aku laki-laki normal, dan kini harus bersabar sampai tamu bulanannya selesai. Tahu kan, bagaimana tersiksanya jadi aku."Bi, kamu kenapa?" tanyanya sambil kembali tertawa."Nggak! Aku nggak apa-apa!" sungutku."Bener nggak apa-apa?" ledeknya, seraya membuka bantal yang menutupi wajahku. Aku merengut menanggapi pertanyaannya. Namun Tyas
Tyas Pov.Acara pernikahanku dengan Abian berjalan lancar, meski sebenarnya ada yang mengganjal di hati ini karena Amel tak datang. Meski aku tahu dia tak kan datang, tapi mengapa aku masih menunggunya?Sampai acara selesai Amel benar-benar tak datang. Apa dia benar-benar sudah tak ingin mengenal aku lagi?Sesekali Abian melirikku, kemudian tersenyum, seakan meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa kehadiran Amel.Apa yang ia pikirkan tentu saja berbeda dengan apa yang ada di pikiranku.Amel sudah seperti saudara bagiku, kedekatan kami lebih dari seorang temandan kini hubungan kami benar-benar harus berakhir karena cinta segitiga.Sesak. Sungguh dada ini terasa sesak memikirkan itu.Hingga malam hari kami menghabiskan waktu bersama dengan status yang berbeda. Aku bisa melihat sisi lain yang berbeda dari diri Abian. Caranya mengungkapkan perasaannya. Caranya memperlakukan aku. Membuatku bahagia. Aku merasa sangat beruntung memiliknya.Sayangnya malam ini aku tak bisa
"Hasna!" "Mbak Tyas! Pak Abi!" Gadis itu terkejut melihat kami."Ya Allah Hasna! Kamu nggak apa-apa?!" Aku langsung jongkok untuk melihat Hasna lebih dekat, adakah luka serius di tubuhnya atau tidak."Oh ternyata saling kenal?""Oh, temannya.""Ya, bagus deh."Suara beberapa orang yang melihat kejadian ini."Iya Pak, dia teman kami, terimakasih semuanya, kami akan bertanggung jawab penuh, kok. Akan bawa gadis ini ke rumah sakit. Terimakasih ya semuanya!" ucap Abian kepada beberapa orang yang tengah mengelilingi kami."Apa.ada yang sakit? Ada yang luka! Ya Allah, sekali lagi maafkan kami ya Hasna!" Aku khawatir sekali. "Nggak apa-apa Mbak. Aku nggak apa-apa." "Ayo Mbak bantu, kita ke rumah sakit atau klinik terdekat ya, Na." Aku membantu Hasna untuk bangun."Nggak usah Mbak, nggak perlu ke Klinik, aku nggak apa-apa kok, cuma lecet sedikit ini.""Tapi untuk memastikan, kita harus ke klinik ya! Mbak nggak tenang, takut kamu kenapa-kenapa Hasna, Mbak benar-benar minta maaf nggak sengaj
Mas Abi, menarik lenganku keluar dari kantor polisi. Hasna masih di dalam berusaha menenangkan Iqbal."Kamu nggak apa-apa Sayang?" Aku hanya menggeleng pelan. Ucap Mas Abi begitu kami sampai di mobil."Benar-benar gila si Iqbal. Dia yang salah, tapi justru tak merasa. Di hukum di bui bukannya sadar akan kesalahannya, tapi justru semakin parah." Mas Abi menggelengkan kepala."Kita pulang sekarang?" tawarnya."Tapi Hasna, Mas?""Biar nanti dia pulang dengan ojeg online. Sekarang kita pulang, kamu istirahat. Sudah jangan dipikirkan kata-kata Iqbal tadi, Ya!" Mas Abi menarikku dalam pelukannya. Lalu mengecup lembut pucuk kepalaku.Aku masih tak mengerti mengapa Mas Iqbal masih menyalahkan aku atas semua kejadian yang menimpa keluarganya.Padahal itu adalah akibat dari ulahnya sendiri.Mas Abi melajukan mobil ke arah pulang."Mau mampir beli es krim?" tanyanya. Sekarang dia tahu kalau aku sedang badmood atau sedang gundah, aku biasanya membeli es krim untuk mendinginkan kepalaku. Rasa mani
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er