Tyas Pov.Acara pernikahanku dengan Abian berjalan lancar, meski sebenarnya ada yang mengganjal di hati ini karena Amel tak datang. Meski aku tahu dia tak kan datang, tapi mengapa aku masih menunggunya?Sampai acara selesai Amel benar-benar tak datang. Apa dia benar-benar sudah tak ingin mengenal aku lagi?Sesekali Abian melirikku, kemudian tersenyum, seakan meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa kehadiran Amel.Apa yang ia pikirkan tentu saja berbeda dengan apa yang ada di pikiranku.Amel sudah seperti saudara bagiku, kedekatan kami lebih dari seorang temandan kini hubungan kami benar-benar harus berakhir karena cinta segitiga.Sesak. Sungguh dada ini terasa sesak memikirkan itu.Hingga malam hari kami menghabiskan waktu bersama dengan status yang berbeda. Aku bisa melihat sisi lain yang berbeda dari diri Abian. Caranya mengungkapkan perasaannya. Caranya memperlakukan aku. Membuatku bahagia. Aku merasa sangat beruntung memiliknya.Sayangnya malam ini aku tak bisa
"Hasna!" "Mbak Tyas! Pak Abi!" Gadis itu terkejut melihat kami."Ya Allah Hasna! Kamu nggak apa-apa?!" Aku langsung jongkok untuk melihat Hasna lebih dekat, adakah luka serius di tubuhnya atau tidak."Oh ternyata saling kenal?""Oh, temannya.""Ya, bagus deh."Suara beberapa orang yang melihat kejadian ini."Iya Pak, dia teman kami, terimakasih semuanya, kami akan bertanggung jawab penuh, kok. Akan bawa gadis ini ke rumah sakit. Terimakasih ya semuanya!" ucap Abian kepada beberapa orang yang tengah mengelilingi kami."Apa.ada yang sakit? Ada yang luka! Ya Allah, sekali lagi maafkan kami ya Hasna!" Aku khawatir sekali. "Nggak apa-apa Mbak. Aku nggak apa-apa." "Ayo Mbak bantu, kita ke rumah sakit atau klinik terdekat ya, Na." Aku membantu Hasna untuk bangun."Nggak usah Mbak, nggak perlu ke Klinik, aku nggak apa-apa kok, cuma lecet sedikit ini.""Tapi untuk memastikan, kita harus ke klinik ya! Mbak nggak tenang, takut kamu kenapa-kenapa Hasna, Mbak benar-benar minta maaf nggak sengaj
Mas Abi, menarik lenganku keluar dari kantor polisi. Hasna masih di dalam berusaha menenangkan Iqbal."Kamu nggak apa-apa Sayang?" Aku hanya menggeleng pelan. Ucap Mas Abi begitu kami sampai di mobil."Benar-benar gila si Iqbal. Dia yang salah, tapi justru tak merasa. Di hukum di bui bukannya sadar akan kesalahannya, tapi justru semakin parah." Mas Abi menggelengkan kepala."Kita pulang sekarang?" tawarnya."Tapi Hasna, Mas?""Biar nanti dia pulang dengan ojeg online. Sekarang kita pulang, kamu istirahat. Sudah jangan dipikirkan kata-kata Iqbal tadi, Ya!" Mas Abi menarikku dalam pelukannya. Lalu mengecup lembut pucuk kepalaku.Aku masih tak mengerti mengapa Mas Iqbal masih menyalahkan aku atas semua kejadian yang menimpa keluarganya.Padahal itu adalah akibat dari ulahnya sendiri.Mas Abi melajukan mobil ke arah pulang."Mau mampir beli es krim?" tanyanya. Sekarang dia tahu kalau aku sedang badmood atau sedang gundah, aku biasanya membeli es krim untuk mendinginkan kepalaku. Rasa mani
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er
Bab 3. Ibu mertua "Aaauuuu!" Amanda berteriak kesakitan. Aku menarik kuat-kuat rambut hitamnya yang tergerai itu. Lalu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Jadilah dia terhuyung jatuh ke lantai. "Dasar pelakor!" umpatku padanya. Teriakan wanita itu sukses mencuri perhatian Mas Iqbal yang sejak tadi sibuk mengincar ponsel milik Amel. Tapi tak juga mendapatkannya. Pintar juga Amel berkelit. Di saat posisi Amel kian terdesak karena Mas Iqbal berhasil mengunci pergerakan tangan Amel, dan hampir saja ia mendapatkan ponsel Amel tapi karena teriakan Amanda, Mas Iqbal jadi menoleh, fokusnya terbagi, dan ini menjadi kesempatan bagi Amel untuk lolos darinya. "Amanda, kamu nggak apa-apa?" Mas Iqbal terlihat khawatir dan buru-buru membantu gundiknya untuk bangun. Dengan cepat Mas Iqbal mengambilkan baju-baju perempuan itu yang tercecer dan memberikan padanya. Membuat perutku terasa mual. Menjijikan. "Amel, ayo kita pulang. Lama-lama di sini aku bisa muntah karena menyaksikan pasangan mesum."
"Tyas!" Ibu kembali memanggil kali ini suaranya sangat nyaring terdengar. Jika biasanya aku akan langsung menyusul ke dapur dan melakukan apapun supaya beliau berhenti mengomel, mendengarkan semua nasihat darinya untuk hidup hemat supaya bisa punya banyak tabungan. Tapi sekarang aku enggan menyusulnya ke dalam. Biarkan saja dia mengomel sampai puas. Aku sedang tidak ingin berdebat, sudah cukup kelakuan anaknya yang membuatku sakit, tak ingin aku bertambah pusing karena ocehannya. Ibu mertuaku sebenarnya baik, hanya saja beliau sedikit pelit. Terutama soal makan. Beliau rela makan hanya pakai ikan asin asal bisa nabung. Uangnya sebenarnya banyak, tapi dia jarang membelanjakan untuk urusan perut. Terkadang untuk makan sendiri saja dia sangat irit sekali dengan dalih berhemat. Dia lebih suka menyimpan uangnya untuk membeli tanah atau emas, daripada menggunakannya untuk makan enak apalagi jalan-jalan. Terbukti prinsipnya itu berhasil, ibu mertuaku punya beberapa tanah, dan rumah. Rumah
Bab 5. Mulai mengambil langkah. "Oke, kalau gitu kamu pilih aku atau dia Mas?" tanyaku dengan suara bergetar, menahan sesak yang menghimpit dada ini. Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tak sampai tumpah sekarang. "Aku nggak mungkin ninggalin dia, Yas!" "Segitu berartinya dia untuk kamu Mas?! Lalu selama ini pernikahan kita kamu anggap apa?!" sentakku tajam. "Sebenarnya kami ... Ka.i sudah menikah siri seminggu yang lalu. Bagai tersambar petir di siang bolong. Ternyata sudah sejauh itu hubungan mereka. Aku menatapnya dengan pandangan mulai berkabut. "Dan sekarang, dia sedang hamil anakku." Lagi-lagi tubuhku seperti di timpa godam yang teramat berat. Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang kudengar. "Aku laki-laki. Apanya yang salah? Laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu. Bukankah itu Sunnah, dan bagimu jaminannya syurga." Aku menggeleng tak terima. Sunnah yang di maksud dalam berpoligami tentu bukan seperti ini. Posisi Mas Iqbal jelas dia menikahi Amanda karena