"Kalian bertengkar?" tanya Septi di ujung telepon. Dia iseng menghubungi Frani tapi malah mendengar suara tidak biasa dari sahabatnya itu."Nggak kok. Kenapa kamu telepon? Ada masalah?" elak Frani. Dia selalu bisa menyembunyikan permasalahan dalam rumah tangganya."Yakin nggak apa-apa?""Yakin, Sep.""Oke kalau begitu. Aku telepon hanya ingin tanya apa kamu ingin sesuatu?""Sesuatu?" tanya Frani bingung."Hm. Sesuatu. Siapa tahu bumil ingin makan sesuatu."Frani sedang tidak berselera makan. Sejak Rendi pergi, dia hanya diam di dalam kamarnya. Bahkan ketukan di pintu yang memintanya untuk makan malam tidak dihiraukan. "Aku nggak ingin apa-apa, Sep. Thanks ya perhatiannya," ucap Frani pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Kalau kamu butuh apa-apa bicara saja padaku. Kalau aku bisa, aku pasti belikan.""Iya. Selamat malam.""Malam."Frani menghembuskan napas dengan gelisah. Dia merindukan Rendi. Padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Hanya saja rasa rindu itu t
Gani mendesis, "Nggak. Aku lihat lowongan pekerjaan ini di media sosial. Aku juga nggak tahu kalau laundry ini milik kamu, Fran."Frani tidak ingin percaya tapi memang benar dia membuka lowongan pekerjaan di media sosial. Lantas siapa yang harus disalahkan? Gani hanya berjuang untuk menghidupi hidupnya. Sementara Frani, dia juga membutuhkan karyawan baru. Untuk sementara ini, Frani tidak akan mengusik Gani."Ini camilan untuk kalian, Pak kurir yang baik," ucap Tanti sembari meletakkan beberapa bungkus makanan di meja kecil di pojok ruangan. Frani tergagap, dia buru-buru pergi dari sana sebelum Tanti mengetahui dia bertemu dengan pria lain. Apa dia perlu menceritakannya pada Rendi? Kira-kira respon apa yang akan diperlihatkan suaminya? Ya Tuhan, Frani takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.°°°Gani membawa helm miliknya ke meja ruang tamu, dia duduk di sana dengan perasaan tidak karuan. Lelah rasanya. Bukan pekerjaan yang melelahkan tapi bertemu dengan Frani yang membuat dia e
"Secara nggak langsung aku memang khawatirkan keadaan kamu, Gani. Dari awal menikah kita selalu berjuang untuk membahagiakan orang tua kamu tapi mereka nggak pernah sekalipun mengerti bahwa kamu juga butuh untuk dibahagiakan. Mungkin jika sekarang aku masih menjadi istri kamu, aku nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebebas ini," ucap Frani lemah. Jeda sejenak kemudian dia melanjutkan, "bukan karena aku sudah memiliki Mas Rendi dan harta yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya, tapi lebih pada bersyukur karena orang-orang di sekitarku nggak pernah memaksaku untuk bekerja keras. Mereka menghargaiku meskipun statusku, ya kamu pasti tahu. Terkadang aku berfikir, mungkin benar kebahagiaan akan datang setelah kita larut dalam kesedihan. Tuhan itu adil dan aku yakin kamu juga akan mendapatkan keadilanNya."Gani merasa dirinya menjadi suami yang paling bodoh sedunia karena tidak memahami kesulitan Frani selama menikah dengannya. Pria itu menundukkan kepalanya, sebelum air matan
"Aduh, pakai acara lupa lagi!" keluh Frani dengan penampilan yang sudah kusut di sana-sini. Karena sedari tadi sibuk mengasah tangannya untuk membereskan cucian orang-orang, wanita berusia dua puluh tujuh tahun sampai lupa membawa kunci laci berisi pendapatan laundry. Bukannya dia tidak percaya pada dua karyawannya yang sekarang, tetapi dulu Frani sempat kecewa dengan karyawan pertamanya yang mencuri hampir seluruh uangnya dan kabur. Jadi, dia berjanji untuk selalu membawa kunci laci. Terlebih, Frani harus menabung untuk progam hamil lagi.Mengingat program hamil, wanita itu lantas teringat Gani, sang suami. "Gimana caranya kita bisa punya anak kalau kamu sibuk? Aku saja berkorban untuk tidak lagi bekerja di pabrik hanya untuk lebih sering bersama dengan kamu, Frani."Ucapan sang suami setelah lima bulan menikah kembali terngiang di kepala Frani. Segera, wanita itu berjalan kembali ke toko laundry miliknya yang dia bangun setelah menikah. Dulu, Frani adalah karyawan kantor biasa.
"Kenapa kamu dari tadi diam, Frani? Ada apa? Tidak suka makanannya?" tanya Gani dengan raut wajah khawatir. Mereka duduk berdua, menikmati sarapan pagi seadanya. Oseng tempe kecap dan sambal. Hanya itu yang bisa Frani sajikan dengan sisa uang laundry yang tidak seberapa.Semalaman Frani tidak bisa tidur, kepalanya pusing. Dia bahkan berpindah ke sofa karena tidak bisa menghadapi suaminya. Bayangan buruk itu terus menghantuinya. Frani tersenyum kecut, "Tidak apa-apa, Mas."Mas? Frani jijik mendapati dirinya memanggil Gani begitu."Istirahatlah kalau capek.""Kalau begitu, uang untuk promil besok uang kamu ya, Mas? Selama ini kan aku jarang minta uang."Wajah manis Gani tiba-tiba berubah, "Maksudnya sekarang kamu perhitungan?""Bukan, Mas. Uang laundry sudah terpakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan ibu bapak. Belum lagi mesin cuci yang rusak kemarin. Gaji karyawan dan beli makanan mereka. Aku tidak pernah minta uang sama kamu meskipun aku kekurangan dana, Mas. Promil yan
"Hilang? Cari lagi, Len. Tidak mungkin bisa hilang kan kita berdua yang ada di sini," tukas Frani panik. Ada satu pelanggan yang sangat mewanti-wanti baju mahalnya agar tidak rusak saat dicuci. Tapi sekarang malah hilang.Leni mengobrak-abrik isi ruangan tempat penyimpanan cucian yang telah kering untuk melalui proses penyetrikaan, dengan perasaan bersalah. Dia ingat kemarin dia yang mencucinya dan Celia yang melakukan tugas akhir. "Coba saya tanya sama Celia dulu, Bu. Soalnya kemarin kan dia yang mempacking barang," ucap Leni pada Frani. Dia berjalan meja nakas yang memiliki lima laci sebagai tempat penyimpanan barang-barang karyawan.Leni mengeluarkan ponselnya dari dalam sana dan segera menghubungi Celia. Namun percobaan hingga tiga kali tidak ada jawaban. Leni menatap lesu pada Frani, "Tidak dijawab, Bu."Frani memiliki firasat buruk. Kenapa disaat dia mencurigai wanita itu, timbul lagi masalah lain. Frani yakin dia juga melihat pakaian itu dicuci oleh Leni dan dia sendiri yang m
"Sudahlah, kamu jangan mendramatisir suasana," ucap Sarah ketika Frani mengadukan perselingkuhan suaminya pada ibu mertuanya. Wanita itu sedang mencoba pakaian barunya dan tidak peduli dengan ucapan Frani.Frani menekan perasaannya yang kacau, "Ibu membela Mas Gani?" Harusnya dia sudah tahu itu.Dengan tajam, Sarah menatap Frani, "Gani tidak bersalah. Kamu yang bersalah karena tidak bisa memberikan anak. Bukan salah Gani kalau dia mencari wanita lain yang bisa memberikan anak. Ibu setuju kalau dia menikah lagi. Apalagi Celia wanita yang sangat cantik dan penampilannya jauh lebih sempurna daripada kamu. Ibu yakin kalau Celia bisa memberikan keturunan pada keluarga ini."Air mata yang ditahan oleh Frani akhirnya luruh juga. Wanita itu menangis, mendengar pembelaan dari Sarah, "Tidakkah ibu tahu bahwa ibu juga wanita? Apa ibu tidak peduli dengan perasaanku? Seumur hidup aku tidak pernah mendapat penghinaan semacam ini. Aku juga tidak akan pernah mengizinkan pernikahan kedua suamiku terja
"Sudah cukup, Bu. Ibu keterlaluan. Saya tidak ingin berkata kasar pada ibu. Saya permisi," ucap Frani. Dengan mata nanarnya dia kembali masuk. Sampai seburuk itu dirinya di mata orang-orang? Masalah laundry yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah perselingkuhan suaminya, membuat wanita itu tidak bisa lagi berkata-kata.***"Mana Frani?" teriak Sarah dari luar toko.Frani dan Leni keluar bersamaan dan mendapati Sarah sudah berkoar-koar memanggil menantunya."Aku di sini, Bu," jawab Frani. Matanya sembab. Dia menangis tanpa suara. "Kamu boleh bercerai dengan anak saya tapi saya akan menuntut harta gono-gini.""Harta gono-gini apa yang ibu maksud? Laundry ini adalah milikku.""Oh ya? Siapa yang bilang ini milik kamu? Kata Gani, separuh dari uang pembelian ruko ini adalah miliknya. Kamu jangan coba-coba membohongi ibu. Enak saja kamu mau keluar dari rumah ibu dan mengambil semua harta milik bersama. Serahkan sebagian uang penjualan ruko laundry ini pada Gani, dengan begitu kalian bisa be