"Aduh, pakai acara lupa lagi!" keluh Frani dengan penampilan yang sudah kusut di sana-sini.
Karena sedari tadi sibuk mengasah tangannya untuk membereskan cucian orang-orang, wanita berusia dua puluh tujuh tahun sampai lupa membawa kunci laci berisi pendapatan laundry.
Bukannya dia tidak percaya pada dua karyawannya yang sekarang, tetapi dulu Frani sempat kecewa dengan karyawan pertamanya yang mencuri hampir seluruh uangnya dan kabur. Jadi, dia berjanji untuk selalu membawa kunci laci. Terlebih, Frani harus menabung untuk progam hamil lagi.Mengingat program hamil, wanita itu lantas teringat Gani, sang suami.
"Gimana caranya kita bisa punya anak kalau kamu sibuk? Aku saja berkorban untuk tidak lagi bekerja di pabrik hanya untuk lebih sering bersama dengan kamu, Frani."
Ucapan sang suami setelah lima bulan menikah kembali terngiang di kepala Frani. Segera, wanita itu berjalan kembali ke toko laundry miliknya yang dia bangun setelah menikah.
Dulu, Frani adalah karyawan kantor biasa. Namun, dia harus resign karena Gani tidak suka jika dia banyak menghabiskan waktu di kantor.
Frani yang sangat mencintai Gani pun tidak ingin mendebatkan masalah itu. Dengan sisa tabungan yang dia miliki, dia menyewa ruko dan membuka laundry kecil-kecilan. Yah, meskipun tidak sebanyak itu pendapatan seblumnya, dia tetap bersyukur.
Ting! Ting! Ting!
Alarm di ponsel Frani berbunyi.
Melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 19:00, Frani semakin tergesa-gesa dan mempercepat langkahnya menuju toko.
Begitu tiba di depan pintu toko yang berupa kaca bukannya pintu sliding yang berisik bunyinya itu, ia pun berhenti dan berusaha membukanya.
"Belum terkunci?" gumam Frani bingung, "ah, Celia pasti masih di dalam!"
Memang, Celia lembur hari ini karena Leni--salah satu karyawannya--izin ada acara di rumahnya. Bahkan, Frani pun pulang terlambat karena itu. Hanya saja, packing baju belum selesai, hingga Frani meminta wanita itu untuk mempacking sisanya karena dia harus pulang.
Tapi, dia malah lupa membawa kunci laci yang tidak boleh sampai tergantung dan terpaksa kembali!
"Cel?" panggil Frani pelan.
Namun, tidak ada jawaban.Frani beralih ke belakang kasir, sedikit berjongkok untuk membuka laci uang yang tidak seberapa besar jumlahnya. Dia tidak berniat mengambilnya dan hanya menarik kunci yang menggantung. Sayangnya, dia terkejut dengan apa yang dia dengar."Argh, Mas, cepatlah!"Desah memenuhi ruangan, hingga Frani menajamkan pendengarannya.'Apakah itu suara Celia?' batin Frani.
Namun, pikiran Frani menolak kemungkinan itu.
'Tidak! Celia tidak akan mendesah begitu,' pikir Frani lagi sampai suara desahan kembali terdengar."Arrgh ... ayo, Mas! Aku sudah hampir selesai. Benar-benar nikmat! Lebih semangat lagi, Mas!"Frani terpaku.Ini benar-benar suara Celia. Karyawannya itu seperti sedang melakukan sesuatu. Berani benar Celia melakukannya padahal dia belum menikah?!
Merasa perlu mengecek siapa yang menjadi lawan main Celia karena tempat yang mereka gunakan adalah toko miliknya, Frani pun mendekati asal suara.Dengan perasaan tidak karuan, wanita itu berjalan lebih masuk lagi.Memang, ada satu ruangan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan cucian yang telah selesai dipacking--bersebelahan dengan kamar mandi, tempat cuci, dan sisa ruangan tanpa sekat.
Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi karena di dalam ruangan mungkin Celia tidak mendengar panggilannya tadi."Mas, setiap malam bisa begini terus aku tidak keberatan," gumam Celia lagi.Frani terkejut Celia yang pendiam ternyata bisa mengutarakan hal yang di luar dugaan. Wanita itu semakin mendekat dan sampai di depan pintu yang terbuka.Untuk beberapa saat, wanita itu ingin berpura-pura tidak tahu karena Celia butuh pekerjaan. Kalau dia sampai memergoki mereka, Celia pasti malu dan memutuskan untuk resign.
'Apa aku pulang saja ya?' batin Frani bingung.Tiga detik kemudian, wanita itu berbalik. Dia akan memantau lebih jauh lagi. Siapa tahu kali ini Celia hanya salah jalan. Ya, manusia memang terkadang seperti itu. Harus salah jalan dulu baru mengerti arti kehidupan.Frani tersenyum simpul. Dia berniat melangkah tapi ..."Manis sekali kamu, Sayang. Sudah lama aku tidak merasakan hal yang luar biasa ini," balas seorang pria.Frani berhenti di tempatnya. Dia tahu suara siapa itu. Lima tahun hidup dengannya tidak mungkin dia bisa lupa. Sekujur tubuhnya membeku, bahkan tangannya bergetar hebat. Dia ingin mengelak, tapi itu suara suaminya. Gani. Dia sangat yakin.Untuk memastikan bahwa dia benar, Frani kembali berbalik. Antara takut dan tidak percaya, dia mengintip ke dalam. Dua manusia yang tidak lagi menggunakan pakaian yang pantas tengah melakukan hal yang di luar batas.Seketika tubuh Frani luruh. Dia masih bisa menggapai dinding untuk menghentikan laju gerakan tubuhnya. Sekilas, dia melihat bagaimana wajah suaminya yang menunjukkan kelegaan. Belum lagi keringat yang mengalir dari dahi suaminya. Padahal, Gani beralasan untuk lembur tadi!Sudah berapa kali mereka melakukannya di belakang Frani?Sejak kapan mereka menjadi dekat?
Gani jarang pergi ke toko apalagi berbicara dengan Celia. Mereka seperti orang asing yang tidak saling berkomunikasi.
Lalu kenapa bisa mereka berdua berlaku buruk di belakangnya? Salah Frani apa pada Celia? Salah apa dirinya pada Gani? Kenapa bisa?Wanita itu terlalu terkejut dengan fakta di depan matanya, hingga berbagai pertanyaan menggelayut di kepala Frani. Sayangnya, dia tidak kunjung mendapat jawaban.Lantas, dia pun memilih pergi diam-diam untuk menenangkan dirinya.
'Gani pasti salah mengira kalau Celia adalah dirinya karena mata minus pria itu. Pasti begitu!' gumam Frani dalam fase denial.
Sayangnya, berpikir positif bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Setelah Frani berusaha untuk merayap sampai ke rumah karena tenaganya telah terkuras habis, dia terduduk di tepi tempat tidurnya.
Dengan mata nanar dia menatap tempat peraduannya dengan Gani. Tempat yang menjadi saksi bisu percintaan mereka. Tidakkah Gani menyadari siapa yang dia ajak bercinta tadi?****Tiga puluh menit kemudian****Terdengar suara pintu terbuka. Frani terlalu lemah untuk berpikir. Dia masih tidak percaya apa yang terjadi. Jadi, dia memutuskan untuk diam
"Hei, Sayang. Kenapa belum tidur? Bukannya aku bilang lembur, ya?" ucap Gani yang seperti biasa mengecup bibir Frani.Pria itu pun duduk di samping istrinya.
Frani lantas menoleh pada sang suami. Namun, dia dapat mengendus bau parfum Celia yang lebih tajam dari parfumnya di tubuh Gani.Berarti ... Frani tidak salah lihat atau berhalusinasi, tadi.
"Mas, aku ingin malam ini," ucap Frani mendadak. Dia juga memberanikan diri untuk melihat mata Gani.Hanya saja, yang tersisa di sana adalah pandangan lembut yang selalu pria itu tunjukkan pada dirinya.
Ya, lembut--tidak ada perasaan bersalah dan cinta yang membara!
Benarkah itu cinta? Mendadak Frani tidak ingat mereka pernah saling mengungkapkan cinta setelah menikah."Oke. Aku mandi dulu, ya." Gani kemudian tersenyum simpul membuat perasaan Frani seketika mendidih."Aku maunya sekarang!" Frani tidak ingin Gani menghilangkan "bau" pengkhianatann itu.Lama, Gani tampak terdiam, bingung. Sampai akhirnya, dia terkekeh.
"Baiklah. Kamu kenapa tidak sabaran sekali?" Pria itu lantas membuka kemejanya yang terlihat kusut, lalu menggunakan kekuatan tangannya untuk melakukan tugasnya pada Frani.Ketika semuanya sudah siap, mendadak Frani mual melihat tubuh suaminya.Beberapa saat lalu, tubuh itu dijamah orang lain bahkan sisa-sisa percintaannya masih ada.
Dengan mata kepala sendiri, Frani menyaksikan kenikmatan yang sudah tidak lagi terlihat dalam hubungan mereka.
Frani seketika merasa mual. Sontak, ia membuang muka ketika Gani hendak mengecup bibirnya."Aku tidak ingin, Mas."
"Tiba-tiba?" tanya Gani bingung."Tiba-tiba. Aku mau mandi dulu."Gani menatap istrinya lama."Kenapa dengan dia? Lelah di toko? Salah sendiri kenapa buka toko laundry bukannya toko makanan kemasan yang tidak perlu repot sana-sini."
Dari dalam kamar mandi, Frani mendengar gerutuan suaminya itu. Sesak di dalam dadanya tidak bisa hilang begitu saja. Dia kecewa.Tangan wanita itu mengepal.
"Tega kamu, Mas!""Kenapa kamu dari tadi diam, Frani? Ada apa? Tidak suka makanannya?" tanya Gani dengan raut wajah khawatir. Mereka duduk berdua, menikmati sarapan pagi seadanya. Oseng tempe kecap dan sambal. Hanya itu yang bisa Frani sajikan dengan sisa uang laundry yang tidak seberapa.Semalaman Frani tidak bisa tidur, kepalanya pusing. Dia bahkan berpindah ke sofa karena tidak bisa menghadapi suaminya. Bayangan buruk itu terus menghantuinya. Frani tersenyum kecut, "Tidak apa-apa, Mas."Mas? Frani jijik mendapati dirinya memanggil Gani begitu."Istirahatlah kalau capek.""Kalau begitu, uang untuk promil besok uang kamu ya, Mas? Selama ini kan aku jarang minta uang."Wajah manis Gani tiba-tiba berubah, "Maksudnya sekarang kamu perhitungan?""Bukan, Mas. Uang laundry sudah terpakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan ibu bapak. Belum lagi mesin cuci yang rusak kemarin. Gaji karyawan dan beli makanan mereka. Aku tidak pernah minta uang sama kamu meskipun aku kekurangan dana, Mas. Promil yan
"Hilang? Cari lagi, Len. Tidak mungkin bisa hilang kan kita berdua yang ada di sini," tukas Frani panik. Ada satu pelanggan yang sangat mewanti-wanti baju mahalnya agar tidak rusak saat dicuci. Tapi sekarang malah hilang.Leni mengobrak-abrik isi ruangan tempat penyimpanan cucian yang telah kering untuk melalui proses penyetrikaan, dengan perasaan bersalah. Dia ingat kemarin dia yang mencucinya dan Celia yang melakukan tugas akhir. "Coba saya tanya sama Celia dulu, Bu. Soalnya kemarin kan dia yang mempacking barang," ucap Leni pada Frani. Dia berjalan meja nakas yang memiliki lima laci sebagai tempat penyimpanan barang-barang karyawan.Leni mengeluarkan ponselnya dari dalam sana dan segera menghubungi Celia. Namun percobaan hingga tiga kali tidak ada jawaban. Leni menatap lesu pada Frani, "Tidak dijawab, Bu."Frani memiliki firasat buruk. Kenapa disaat dia mencurigai wanita itu, timbul lagi masalah lain. Frani yakin dia juga melihat pakaian itu dicuci oleh Leni dan dia sendiri yang m
"Sudahlah, kamu jangan mendramatisir suasana," ucap Sarah ketika Frani mengadukan perselingkuhan suaminya pada ibu mertuanya. Wanita itu sedang mencoba pakaian barunya dan tidak peduli dengan ucapan Frani.Frani menekan perasaannya yang kacau, "Ibu membela Mas Gani?" Harusnya dia sudah tahu itu.Dengan tajam, Sarah menatap Frani, "Gani tidak bersalah. Kamu yang bersalah karena tidak bisa memberikan anak. Bukan salah Gani kalau dia mencari wanita lain yang bisa memberikan anak. Ibu setuju kalau dia menikah lagi. Apalagi Celia wanita yang sangat cantik dan penampilannya jauh lebih sempurna daripada kamu. Ibu yakin kalau Celia bisa memberikan keturunan pada keluarga ini."Air mata yang ditahan oleh Frani akhirnya luruh juga. Wanita itu menangis, mendengar pembelaan dari Sarah, "Tidakkah ibu tahu bahwa ibu juga wanita? Apa ibu tidak peduli dengan perasaanku? Seumur hidup aku tidak pernah mendapat penghinaan semacam ini. Aku juga tidak akan pernah mengizinkan pernikahan kedua suamiku terja
"Sudah cukup, Bu. Ibu keterlaluan. Saya tidak ingin berkata kasar pada ibu. Saya permisi," ucap Frani. Dengan mata nanarnya dia kembali masuk. Sampai seburuk itu dirinya di mata orang-orang? Masalah laundry yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah perselingkuhan suaminya, membuat wanita itu tidak bisa lagi berkata-kata.***"Mana Frani?" teriak Sarah dari luar toko.Frani dan Leni keluar bersamaan dan mendapati Sarah sudah berkoar-koar memanggil menantunya."Aku di sini, Bu," jawab Frani. Matanya sembab. Dia menangis tanpa suara. "Kamu boleh bercerai dengan anak saya tapi saya akan menuntut harta gono-gini.""Harta gono-gini apa yang ibu maksud? Laundry ini adalah milikku.""Oh ya? Siapa yang bilang ini milik kamu? Kata Gani, separuh dari uang pembelian ruko ini adalah miliknya. Kamu jangan coba-coba membohongi ibu. Enak saja kamu mau keluar dari rumah ibu dan mengambil semua harta milik bersama. Serahkan sebagian uang penjualan ruko laundry ini pada Gani, dengan begitu kalian bisa be
Frani merasa bodoh kalau harus mengemis surat-surat ruko pada Sarah. Apalagi ada Celia yang sedang mengejeknya. Dengan perubahan suasana hati, Frani mendekap dua lengannya ke depan, "Si pelakor ada di sini?""Pelakor? Berani benar kamu bicara begitu. Ibu, lihatlah wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan menantumu ini. Dia mengejekku," rengek Celia pada Sarah. Wanita itu menghampiri Sarah dan merajuk. Seringaian wajahnya terlihat memuakkan.Sarah turun tangan. Dia hendak menarik rambut Frani, tapi Frani berhasil menangkap tangan Sarah."Kamu berani melawan ibu?" bentak Sarah."Tentu kalau memang diperlukan. Aku sudah meminta baik-baik surat ruko milikku tapi ibu bersikeras untuk menjualnya silahkan! Lagi pula aku juga tidak suka tinggal dekat dengan kalian. Apalagi sama pelakor yang tidak punya malu. Aku pergi!"Celia tidak terima dikatakan pelakor. Dia berlari, memburu Frani ke depan. Frani sudah mengetahui gerakan Celia. Ketika wanita itu hampir menyentuh bahunya, Frani menghin
Rendi Irwansyah, pemilik pabrik sepatu 'Prima' yang masih single sampai detik ini terkenal sebagai pemimpin yang tegas. Usianya mungkin sudah mencapai tiga puluh tahun namun belum memikirkan pernikahan. Pria dengan wajah lokal, berkulit sawo matang dengan garis rahang keras, menjadi incaran banyak anak-anak bagian yang sama singlenya.Frani mengerut ketika matanya menangkap sorot ketidaksukaan Rendi. Yulia tersenyum sinis padanya karena ucapannya benar-benar terjadi. Dia yakin Frani akan mendapat teguran keras di hari pertamanya."Jangan takut!" ucap Septi dengan pengucapan tanpa suara.Frani mengangguk sekilas, tapi tetap tidak bisa sesantai itu. Dia mengikuti Rendi berjalan ke luar gedung cutting. Mereka melewati pelataran parkir dan ruang tamu terbuka yang berada di tengah-tengah gedung. Setelah berjalan cukup lama, Rendi berbelok ke lorong kanan menuju ruangannya.Frani melangkah dengan kepala tertunduk. Dia hanya melihat bagian belakang sepatu Rendi yang terlihat mengkilap. Penam
"Bapak demam?"Pertanyaan itu keluar dari mulut Frani karena ucapan atasannya benar-benar tidak masuk akal. Rendi masih memegang teguh raut wajahnya yang datar, "Kalau saya demam, saya tidak mungkin ada di sini. Saya juga sengaja menunggu kamu di jalan tadi supaya bisa bicara berdua dengan kamu."Frani tidak percaya. Hubungan apa yang mereka miliki sampai ajakan menikah itu terdengar, "Saya sudah punya suami, Pak."Rendi memang beranggapan demikian. Tapi kemarin, dia mendengar sendiri apa yang terjadi pada rumah tangga Frani. Septi dan Tanti tidak mungkin berbohong. "Saya tahu kamu dalam proses perceraian."Bola mata Frani membulat, "Bapak tahu dari mana?""Dari mana saja bukan hal yang perlu dibahas. Yang penting kita punya target yang sama untuk memiliki pasangan sebelum tahun ini berlalu. Perlu kamu tahu, saya punya list yang belum saya lakukan. Saya harus menikah tahun ini demi menyempurnakan iman saya."Frani tidak peduli dengan alasan Rendi. Baginya, ucapan Rendi bukan sesuatu
Rendi menghampiri Frani, menarik lengannya, "Salah ya kalau saya bicara sama kamu? Saya benar-benar merindukan kamu, Frani.""Lepas, Pak!" Frani celingukan melihat sepanjang jalan karena mereka masih berada di kawasan pabrik. Takut tiba-tiba Yulia memergoki mereka dan semakin menyudutkan dirinya."Ini tidak adil untuk saya, Frani. Salah saya kalau saya berjuang untuk mendapatkan hati kamu?" Tatapan Rendi berbeda dari sebelumnya. Tidak ada wajah datar atau tajam. Yang terlihat justru wajah gelisah dan takut. Pria itu tidak mau pergi dari Frani."Salah. Apapun yang bapak lakukan salah. Saya hanya mau tenang dalam bekerja. Saya harus menghidupi diri saya, Pak. Bapak lupa kalau saya ini janda?""Biarkan saya menghidupi kamu dan semua kebutuhan kamu. Saya bersedia bekerja banting tulang demi kamu, Frani. Saya menyukai kamu," ucap Rendi penuh tekad. Sejujurnya Frani merasa tersanjung. Dia benar-benar bisa merasakan ketulusan Rendi. Tidak! Frani belum berani membuka diri."Frani, mengertil
"Secara nggak langsung aku memang khawatirkan keadaan kamu, Gani. Dari awal menikah kita selalu berjuang untuk membahagiakan orang tua kamu tapi mereka nggak pernah sekalipun mengerti bahwa kamu juga butuh untuk dibahagiakan. Mungkin jika sekarang aku masih menjadi istri kamu, aku nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebebas ini," ucap Frani lemah. Jeda sejenak kemudian dia melanjutkan, "bukan karena aku sudah memiliki Mas Rendi dan harta yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya, tapi lebih pada bersyukur karena orang-orang di sekitarku nggak pernah memaksaku untuk bekerja keras. Mereka menghargaiku meskipun statusku, ya kamu pasti tahu. Terkadang aku berfikir, mungkin benar kebahagiaan akan datang setelah kita larut dalam kesedihan. Tuhan itu adil dan aku yakin kamu juga akan mendapatkan keadilanNya."Gani merasa dirinya menjadi suami yang paling bodoh sedunia karena tidak memahami kesulitan Frani selama menikah dengannya. Pria itu menundukkan kepalanya, sebelum air matan
Gani mendesis, "Nggak. Aku lihat lowongan pekerjaan ini di media sosial. Aku juga nggak tahu kalau laundry ini milik kamu, Fran."Frani tidak ingin percaya tapi memang benar dia membuka lowongan pekerjaan di media sosial. Lantas siapa yang harus disalahkan? Gani hanya berjuang untuk menghidupi hidupnya. Sementara Frani, dia juga membutuhkan karyawan baru. Untuk sementara ini, Frani tidak akan mengusik Gani."Ini camilan untuk kalian, Pak kurir yang baik," ucap Tanti sembari meletakkan beberapa bungkus makanan di meja kecil di pojok ruangan. Frani tergagap, dia buru-buru pergi dari sana sebelum Tanti mengetahui dia bertemu dengan pria lain. Apa dia perlu menceritakannya pada Rendi? Kira-kira respon apa yang akan diperlihatkan suaminya? Ya Tuhan, Frani takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.°°°Gani membawa helm miliknya ke meja ruang tamu, dia duduk di sana dengan perasaan tidak karuan. Lelah rasanya. Bukan pekerjaan yang melelahkan tapi bertemu dengan Frani yang membuat dia e
"Kalian bertengkar?" tanya Septi di ujung telepon. Dia iseng menghubungi Frani tapi malah mendengar suara tidak biasa dari sahabatnya itu."Nggak kok. Kenapa kamu telepon? Ada masalah?" elak Frani. Dia selalu bisa menyembunyikan permasalahan dalam rumah tangganya."Yakin nggak apa-apa?""Yakin, Sep.""Oke kalau begitu. Aku telepon hanya ingin tanya apa kamu ingin sesuatu?""Sesuatu?" tanya Frani bingung."Hm. Sesuatu. Siapa tahu bumil ingin makan sesuatu."Frani sedang tidak berselera makan. Sejak Rendi pergi, dia hanya diam di dalam kamarnya. Bahkan ketukan di pintu yang memintanya untuk makan malam tidak dihiraukan. "Aku nggak ingin apa-apa, Sep. Thanks ya perhatiannya," ucap Frani pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Kalau kamu butuh apa-apa bicara saja padaku. Kalau aku bisa, aku pasti belikan.""Iya. Selamat malam.""Malam."Frani menghembuskan napas dengan gelisah. Dia merindukan Rendi. Padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Hanya saja rasa rindu itu t
"Tanti? Kenapa sendirian?" tanya Rendi bingung. Dia tidak sengaja melihat Tanti yang terduduk di depan ruko dengan mata sembab. Wanita itu mendongak begitu melihat Rendi."Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak cari Frani, dia sudah pulang dari tadi," elak Tanti sembari mengusap air matanya yang masih mengalir pelan. Dia meyakinkan Rendi bahwa dirinya baik-baik saja."Terjadi sesuatu? Saya dengar Rio menikah dengan salah satu staff kantor. Apa itu benar?" Tanti mengangguk lemas, "Dia bahkan nggak memberi saya kabar berbulan-bulan lamanya, Pak. Saya datang ke rumahnya juga nggak diterima baik oleh orangtuanya. Alasannya Rio pergi ke luar kota karena ada pekerjaan di sana. Saya mencoba percaya. Saya nggak pernah berpikir bahwa dia menjauh dari saya. Ketika saya datang untuk kesekian kalinya demi memberimu kabar tentang keguguran saya, saya melihat Rio pergi dengan wanita lain. Maafkan saya, Pak, kalau saya tiba-tiba bicara melantur. Saya permisi dulu."Rendi merasa ada sesuatu yang salah kala
"Tan," panggil Frani pelan.Tanti menunduk sedih, "Aku masih bisa mempertahankan kehamilanku, Fran. Aku yakin kalau bayiku masih ada."Rendi menyingkir dari sana karena beranggapan bahwa dia tidak memiliki kuasa untuk mendengarkan mereka. Mereka memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Frani bangkit untuk duduk di sisi kanan Tanti. Dia menggenggam jemari Tanti, membiarkan Tanti mengerti apa yang dia khawatirkan. "Kata dokter gimana?"Begitu mendengar nama dokter disebut, air mata Tanti meluruh. Dia tidak yakin apakah dia sanggup menceritakan semuanya pada Frani. Beberapa jam lalu menjadi waktu yang paling menakutkan untuknya. Dia yang berharap semuanya akan indah harus merelakan bayinya pergi."Bayinya nggak bisa diselamatkan dan dia harus dikuret segera kalau nggak ingin ada bekas di dalam sana," seloroh Septi yang tidak sabar menunggu Tanti bicara."Kita harus lakukan prosedur itu, Tan," ucap Frani. Dia mempererat pelukan tangannya, "aku temani. Septi juga. Kita ha
"Kamu kenapa, Fran?" tanya Tanti cemas. Sejak berangkat ke pusat perbelanjaan, raut wajah Frani tidak sesantai itu. Ada sesuatu yang dipikirkan melihat bagaimana wanita itu menghela napas selama mereka sibuk memilih pakaian. Frani berusaha tersenyum, sungguh. Namun yang terlihat hanyalah seulas senyum tipis yang tidak berarti apa-apa. "Aku nggak apa-apa."Tanti meminta Frani untuk duduk lebih dulu di area sofa bundar yang digunakan untuk menjajal sepatu atau sandal di toko tersebut. Mereka sudah membeli banyak pakaian meskipun Tanti sudah menolaknya. Berbeda dengan Septi yang tidak bisa menjauhkan pandangan matanya dari barang-barang mahal itu.Tanti ikut duduk di samping Frani, lalu pertanyaan itu kembali muncul. "Ada apa? Kamu bertengkar dengan Pak Rendi gara-gara kami?"Frani agak terkejut karena Tanti sangat peka dengan keadaan. Kepalanya memberikan tanda penolakan. "Nggak. Siapa yang bilang? Kalau aku bertengkar mana mungkin aku bisa menemani kalian di sini?""Maaf ya kalau kami
Suasana di pemukiman yang padat penduduk itu berubah lebih ricuh dari biasanya. Para tetangga sibuk menimba air berusaha sekuat tenaga agar api tidak menyebar hingga rumah mereka. Mobil pemadam kebakaran sedang dalam perjalanan, begitu kendaraan merah itu datang, bunyi sirine benar-benar memekakkan telinga.Frani ingin beranjak dari tempatnya sekarang, tapi Rendi mewanti-wanti dirinya agar tetap di dalam mobil sementara suaminya sibuk menyelematkan teman-temannya. Jari-jari gemetar Frani saling bertautan, menunggu instruksi dari si pemilik untuk segera melakukan sesuatu. Arah pandang Frani tertuju pada gang. Jarak parkir mobilnya lumayan jauh dari sana, jadi dia kesulitan menerka. Hanya saja gang itu kini sudah beralih fungsi menjadi tempat tontonan warga. Jika saja gang tersebut tidak lebih besar dari mobil yang sedang dia tempati saat ini, pasti pemadam kebakaran akan kesulitan menangani situasi.Kalimat-kalimat doa yang tidak pernah putus diucapkan oleh wanita itu berbuah manis. S
Irwan mendengus, setiap kali istrinya mengadu pasti pada akhirnya ucapannya melantur kemana-mana. "Mama nggak berpikir kalau mama akhir-akhir sering plin-plan? Sebentar-sebentar baik pada Frani, menerimanya dengan lapang dada seolah Frani memang berhasil menjadi menantu yang baik. Beberapa hari kemudian berubah menjadi mertua yang jahat yang ingin mengusir menantunya. Lalu jadi baik lagi, belum juga beberapa bulan sudah kembali jahat. Memangnya kalau mama minta Rendi menceraikan Frani, anak kita akan terima? Apa mama nggak pernah berpikir kalau anak mereka nanti yang juga cucu kita, akan jadi bahan bully karena punya orangtua broken home? Apa mama nggak kasihan?"Hati Fitri tertohok begitu mendengar ucapan suaminya. "Tapi mama nggak bisa kalau harus berurusan dengan masa lalu Frani, Pa. Mama benci pada mantan mertuanya itu. Heran kenapa dia harus muncul di sana? Apa jangan-jangan dia membuntuti kita?"Irwan harus mulai menggunakan rayuannya agar Fitri mau berusaha lebih keras lagi unt
Suasana di kantor satpam tidak jauh berbeda. Mereka bukan bertikai secara fisik tapi dengan bibir. Adu mulut yang tidak lagi sekedar menyumpahi secara halus terdengar di sana-sini. Frani terkejut karena Fitri ternyata bisa menyumpahi orang. Dia pikir orang yang memiliki status tinggi tidak akan pernah mengutarakan hal buruk pada sembarang orang. Frani mungkin lupa bahwa dia pernah jadi bahan makian Fitri waktu itu. Kalau Sarah tidak perlu diragukan lagi. Dia lebih bisa menyalurkan emosinya dengan mulut ketimbang perbuatan. Makanya Frani tidak heran sama sekali. Justru yang heran dan tidak bisa berkata apa-apa adalah Rendi. Rendi datang karena Frani menelponnya. Frani tidak bisa mengatasi mereka sendiri. Supir mereka hanya bisa mengambil jalur tengah dengan mengorbankan tubuhnya untuk jadi kambing hitam, tapi yang namanya para wanita sedang menyalurkan bakat terpendam tidak akan mudah dialihkan. Ada-ada saja cara agar keduanya bisa saling menarik rambut lawan.Rendi mendekati mamanya,