"Kenapa kamu dari tadi diam, Frani? Ada apa? Tidak suka makanannya?" tanya Gani dengan raut wajah khawatir. Mereka duduk berdua, menikmati sarapan pagi seadanya. Oseng tempe kecap dan sambal. Hanya itu yang bisa Frani sajikan dengan sisa uang laundry yang tidak seberapa.
Semalaman Frani tidak bisa tidur, kepalanya pusing. Dia bahkan berpindah ke sofa karena tidak bisa menghadapi suaminya. Bayangan buruk itu terus menghantuinya.Frani tersenyum kecut, "Tidak apa-apa, Mas."Mas? Frani jijik mendapati dirinya memanggil Gani begitu."Istirahatlah kalau capek.""Kalau begitu, uang untuk promil besok uang kamu ya, Mas? Selama ini kan aku jarang minta uang."Wajah manis Gani tiba-tiba berubah, "Maksudnya sekarang kamu perhitungan?""Bukan, Mas. Uang laundry sudah terpakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan ibu bapak. Belum lagi mesin cuci yang rusak kemarin. Gaji karyawan dan beli makanan mereka. Aku tidak pernah minta uang sama kamu meskipun aku kekurangan dana, Mas. Promil yang sudah-sudah juga uang laundry. Untuk besok aku hanya minta kamu buat talangi dulu. Kalau aku ada lebihan, aku ganti," jelas Frani panjang lebar. Dia membutakan mata hatinya karena demi apapun dia ingin punya anak. Apalagi tekanan dari keluarga Gani yang seolah-olah dirinya tidak bisa memberikan keturunan.Ada sebab kenapa pasangan suami istri belum diberi keturunan. Antara si istri yang bermasalah atau suami. Keduanya turut andil. Tapi kebanyakan yang disalahkan adalah wanita.Jika saja orangtua Frani masih ada, dia bisa berkeluh kesah. Dia hanya sebatang kara di dunia ini. Tapi dia bukan menumpang hidup dengan suaminya. Dia bisa berjuang sendiri. Dengan tangannya yang mungil, dia berhasil menghidupi dua keluarga.Salahkah dia meminta uang dari suaminya yang sekarang sudah beralih profesi sebagai ojek online?Gani tampaknya tidak terima, "Kamu seperti tidak tahu diri. Kamu tahu kan rumah ini hasil kerja keras siapa? Orangtuaku, Frani. Belum lagi bayar cicilan rumah yang menggunung. Jangan lupa motor juga. Semuanya dari aku dan keluargaku. Kamu hanya diminta membantu sedikit karena keuangan kami sedang down, tapi seolah kamu harus menanggung beban berat."Tentu saja berat!Satu tulang punggung harus membagi waktu untuk semua kebahagiaan keluarga. Padahal untuk program hamil dibutuhkan ketenangan pikiran dan juga tidak boleh terlalu lelah.Selalu itu saja yang diungkit oleh suaminya. Bayar cicilan rumah yang hanya dua tahun, lalu motor yang tidak pernah dia pakai sama sekali. Tapi dirinya? Lima tahun harus berjuang untuk membuat perut tetap terisi. Lalu gunanya suami apa?"Mas, yang aku bicarakan di sini bukan keluarga kamu, tapi kamu. Aku minta uang sama kamu. Apa salah?" tanya Frani kesal.Frani hanya minta keringanan. Di tengah pikirannya yang berkecamuk antara perselingkuhan suaminya dan program kehamilan, dia ingin suaminya mengambil alih.Watak Gani memang keras. Sebelum menikah Frani sudah mengetahuinya. Frani mencintai Gani dari sisi sifatnya karena dulu bapaknya tidak pernah bisa tegas jika ada masalah. Ibunya yang sering terkena imbasnya. Jadi bisa dibilang Frani menilai seseorang yang bertolak belakang dari orangtuanya.Tapi semakin ke sini, watak kerasnya tidak bisa dikendalikan."Aku belum punya uang."Singkat, padat dan teramat jelas.Frani menghela napas lelah. Dia menaruh sendoknya ke atas piring, menyudahi sarapan yang tidak berguna."Ya sudah, Mas. Kalau ada uang kita lakukan sesuai jadwal dokter, tapi kalau tidak ada kita undur saja.""Kamu kenapa bisa berpikir seperti itu? Kamu tidak mau punya anak?""Siapa yang tidak mau punya anak?" Tiba-tiba suara wanita menginterupsi.Frani sudah menduga jika mertuanya pasti akan datang disaat mereka sedang makan.Sarah, wanita yang terbilang masih muda karena belum menginjak usia setengah abad, duduk di kursi samping Gani, "Pagi-pagi sudah membahas masalah itu.""Ini, Bu. Frani mau menunda progam hamil. Matahari belum meninggi tapi sudah bahas uang dan uang. Dia mengungkit masalah ibu dan bapak makan di sini. Padahal rumah ini juga rumah kalian kan?" ucap Gani, cari muka.Keluarganya tinggal di sebelah rumah mereka. Lebih tepatnya satu rumah namun dibagi dua dengan alasan penghematan budget. Biaya listrik hanya Frani yang membayarnya. Mereka bersedia membayar hanya satu dua bulan saja selebihnya lepas tangan.Sarah menoleh sengit, "Oh, sudah mulai berhitung? Benar saja. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk seseorang menerima kebaikan orang lain. Kalau kamu jadi ibu, kamu pasti malu. Punya menantu tapi belum juga punya anak. Ibu dikatai menantu ibu mandul. Kalau kamu apa bisa terima? Kalau ibu jadi Gani, mending cari istri kedua yang bisa memberikan anak. Untuk apa lama-lama bertahan dengan satu wanita? Sudah tidak bisa menghargai suami dan jerih payah mertua, masih tidak mau berusaha program hamil. Maunya apa coba?"Dengan santainya Sarah mengambil nasi dan lauk di hadapan Frani. Manusia macam apa wanita itu? Menghina menantu sendiri dan mendukung anaknya menikah lagi. Dilihatnya Gani tampak tersenyum simpul menanggapi ucapan ibunya.Frani terjepit. Napasnya terasa menyiksa dirinya. Dia ingin menyumpahi mertuanya karena berpikir seperti itu. Baguslah lagi apa yang diinginkan akan segera terkabul. Tapi Frani belum punya bukti apapun agar dia tidak lagi disudutkan."Kamu harusnya bersyukur karena Gani masih mau menerima kamu. Kalau orang lain pasti sudah diceraikan. Jangan merasa paling benar. Ibu bicara begini demi kebaikan kalian," ucap Sarah kembali. Mulutnya sudah penuh makanan tapi dia sibuk berkomentar.Frani rasa dia tidak akan sanggup membela apapun. Dia harus menemui Celia, dia ingin tahu apa yang suaminya janjikan padanya sampai dia bisa menghalalkan segala cara. Wanita itu bangkit, "Aku ke toko dulu, Mas, Bu."Sarah melengos ketika Frani mengulurkan tangannya, "Kerja yang benar. Jangan main-main!"Luka hati yang tidak pernah bisa sembuh hanya dalam beberapa hari, kemungkinan besar akan semakin bertumbuh."Hari ini kamu mau mampir ke toko, Mas?" tanya Frani memastikan."Tidak. Untuk apa ke sana? Selama ini aku kan kerja lembur, tidak ada kesempatan untuk menjemput kamu. Atau kamu mau dijemput?"Frani lagi-lagi menelan pil pahitnya, "Tidak perlu, Mas."'Percuma karena yang kamu tuju juga bukan aku' batin Frani.***"Celia sudah datang?" tanya Frani pada Leni yang bersiap untuk membuka toko.Leni menggeleng, "Katanya libur hari ini, Bu. Ada kepentingan pribadi. Dia belum bilang pada ibu ya?""Belum," ucap Frani perlahan. Pikirannya berkelana kemana-mana. Mungkinkah Gani dan Celia bertemu di tempat lain? Apa mereka belum puas dengan semalam?Leni menatap Frani dengan ragu-ragu. Dia seperti ingin bicara tapi takut salah bicara. Frani tidak bisa melihat ekspresi kebingungan dari karyawannya itu karena dia sibuk mendata ulang barang yang masuk pagi ini."Kalau boleh saya tahu, apa Celia punya pacar? Usianya sudah hampir dua puluh tiga tahun, pasti punya seseorang yang dia suka," ucap Frani. Sebagai bos dia hanya ingin tahu, tidak lebih. Itulah yang ingin dia perlihatkan pada Leni."Ada, Bu. Kekasih gelap, sudah beristri. Hubungan mereka terlarang, Bu."Deg!Frani seakan digiring untuk melihat ke arah sana. Apa jangan-jangan yang dimaksud adalah suaminya?"Sudah berapa lama mereka berhubungan? Apa tidak takut karma?" Suara Frani terdengar bergetar, tapi dia takut Leni menyadarinya. Wanita itu mencengkeram ujung bajunya karena tidak kuasa menahan diri."Tidak, Bu. Saya pernah bicara padanya tentang karma tapi dia malah tertawa. Ibu hati-hati saja. Takutnya dia juga melakukan hal yang sama pada Pak Gani." Leni menatap Frani dengan cara yang berbeda.Frani menekan dadanya yang terasa sakit. Selama itu mereka berhubungan di belakangnya tapi dia tidak pernah menyadarinya? Kenapa bisa? Apa yang Frani lakukan selama ini sampai tidak tahu apapun?Bodoh kamu, Frani! Manusia brengsek yang bermain dengan dua wanita tidak akan pernah mau punya anak.'Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?'***"Hilang? Cari lagi, Len. Tidak mungkin bisa hilang kan kita berdua yang ada di sini," tukas Frani panik. Ada satu pelanggan yang sangat mewanti-wanti baju mahalnya agar tidak rusak saat dicuci. Tapi sekarang malah hilang.Leni mengobrak-abrik isi ruangan tempat penyimpanan cucian yang telah kering untuk melalui proses penyetrikaan, dengan perasaan bersalah. Dia ingat kemarin dia yang mencucinya dan Celia yang melakukan tugas akhir. "Coba saya tanya sama Celia dulu, Bu. Soalnya kemarin kan dia yang mempacking barang," ucap Leni pada Frani. Dia berjalan meja nakas yang memiliki lima laci sebagai tempat penyimpanan barang-barang karyawan.Leni mengeluarkan ponselnya dari dalam sana dan segera menghubungi Celia. Namun percobaan hingga tiga kali tidak ada jawaban. Leni menatap lesu pada Frani, "Tidak dijawab, Bu."Frani memiliki firasat buruk. Kenapa disaat dia mencurigai wanita itu, timbul lagi masalah lain. Frani yakin dia juga melihat pakaian itu dicuci oleh Leni dan dia sendiri yang m
"Sudahlah, kamu jangan mendramatisir suasana," ucap Sarah ketika Frani mengadukan perselingkuhan suaminya pada ibu mertuanya. Wanita itu sedang mencoba pakaian barunya dan tidak peduli dengan ucapan Frani.Frani menekan perasaannya yang kacau, "Ibu membela Mas Gani?" Harusnya dia sudah tahu itu.Dengan tajam, Sarah menatap Frani, "Gani tidak bersalah. Kamu yang bersalah karena tidak bisa memberikan anak. Bukan salah Gani kalau dia mencari wanita lain yang bisa memberikan anak. Ibu setuju kalau dia menikah lagi. Apalagi Celia wanita yang sangat cantik dan penampilannya jauh lebih sempurna daripada kamu. Ibu yakin kalau Celia bisa memberikan keturunan pada keluarga ini."Air mata yang ditahan oleh Frani akhirnya luruh juga. Wanita itu menangis, mendengar pembelaan dari Sarah, "Tidakkah ibu tahu bahwa ibu juga wanita? Apa ibu tidak peduli dengan perasaanku? Seumur hidup aku tidak pernah mendapat penghinaan semacam ini. Aku juga tidak akan pernah mengizinkan pernikahan kedua suamiku terja
"Sudah cukup, Bu. Ibu keterlaluan. Saya tidak ingin berkata kasar pada ibu. Saya permisi," ucap Frani. Dengan mata nanarnya dia kembali masuk. Sampai seburuk itu dirinya di mata orang-orang? Masalah laundry yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah perselingkuhan suaminya, membuat wanita itu tidak bisa lagi berkata-kata.***"Mana Frani?" teriak Sarah dari luar toko.Frani dan Leni keluar bersamaan dan mendapati Sarah sudah berkoar-koar memanggil menantunya."Aku di sini, Bu," jawab Frani. Matanya sembab. Dia menangis tanpa suara. "Kamu boleh bercerai dengan anak saya tapi saya akan menuntut harta gono-gini.""Harta gono-gini apa yang ibu maksud? Laundry ini adalah milikku.""Oh ya? Siapa yang bilang ini milik kamu? Kata Gani, separuh dari uang pembelian ruko ini adalah miliknya. Kamu jangan coba-coba membohongi ibu. Enak saja kamu mau keluar dari rumah ibu dan mengambil semua harta milik bersama. Serahkan sebagian uang penjualan ruko laundry ini pada Gani, dengan begitu kalian bisa be
Frani merasa bodoh kalau harus mengemis surat-surat ruko pada Sarah. Apalagi ada Celia yang sedang mengejeknya. Dengan perubahan suasana hati, Frani mendekap dua lengannya ke depan, "Si pelakor ada di sini?""Pelakor? Berani benar kamu bicara begitu. Ibu, lihatlah wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan menantumu ini. Dia mengejekku," rengek Celia pada Sarah. Wanita itu menghampiri Sarah dan merajuk. Seringaian wajahnya terlihat memuakkan.Sarah turun tangan. Dia hendak menarik rambut Frani, tapi Frani berhasil menangkap tangan Sarah."Kamu berani melawan ibu?" bentak Sarah."Tentu kalau memang diperlukan. Aku sudah meminta baik-baik surat ruko milikku tapi ibu bersikeras untuk menjualnya silahkan! Lagi pula aku juga tidak suka tinggal dekat dengan kalian. Apalagi sama pelakor yang tidak punya malu. Aku pergi!"Celia tidak terima dikatakan pelakor. Dia berlari, memburu Frani ke depan. Frani sudah mengetahui gerakan Celia. Ketika wanita itu hampir menyentuh bahunya, Frani menghin
Rendi Irwansyah, pemilik pabrik sepatu 'Prima' yang masih single sampai detik ini terkenal sebagai pemimpin yang tegas. Usianya mungkin sudah mencapai tiga puluh tahun namun belum memikirkan pernikahan. Pria dengan wajah lokal, berkulit sawo matang dengan garis rahang keras, menjadi incaran banyak anak-anak bagian yang sama singlenya.Frani mengerut ketika matanya menangkap sorot ketidaksukaan Rendi. Yulia tersenyum sinis padanya karena ucapannya benar-benar terjadi. Dia yakin Frani akan mendapat teguran keras di hari pertamanya."Jangan takut!" ucap Septi dengan pengucapan tanpa suara.Frani mengangguk sekilas, tapi tetap tidak bisa sesantai itu. Dia mengikuti Rendi berjalan ke luar gedung cutting. Mereka melewati pelataran parkir dan ruang tamu terbuka yang berada di tengah-tengah gedung. Setelah berjalan cukup lama, Rendi berbelok ke lorong kanan menuju ruangannya.Frani melangkah dengan kepala tertunduk. Dia hanya melihat bagian belakang sepatu Rendi yang terlihat mengkilap. Penam
"Bapak demam?"Pertanyaan itu keluar dari mulut Frani karena ucapan atasannya benar-benar tidak masuk akal. Rendi masih memegang teguh raut wajahnya yang datar, "Kalau saya demam, saya tidak mungkin ada di sini. Saya juga sengaja menunggu kamu di jalan tadi supaya bisa bicara berdua dengan kamu."Frani tidak percaya. Hubungan apa yang mereka miliki sampai ajakan menikah itu terdengar, "Saya sudah punya suami, Pak."Rendi memang beranggapan demikian. Tapi kemarin, dia mendengar sendiri apa yang terjadi pada rumah tangga Frani. Septi dan Tanti tidak mungkin berbohong. "Saya tahu kamu dalam proses perceraian."Bola mata Frani membulat, "Bapak tahu dari mana?""Dari mana saja bukan hal yang perlu dibahas. Yang penting kita punya target yang sama untuk memiliki pasangan sebelum tahun ini berlalu. Perlu kamu tahu, saya punya list yang belum saya lakukan. Saya harus menikah tahun ini demi menyempurnakan iman saya."Frani tidak peduli dengan alasan Rendi. Baginya, ucapan Rendi bukan sesuatu
Rendi menghampiri Frani, menarik lengannya, "Salah ya kalau saya bicara sama kamu? Saya benar-benar merindukan kamu, Frani.""Lepas, Pak!" Frani celingukan melihat sepanjang jalan karena mereka masih berada di kawasan pabrik. Takut tiba-tiba Yulia memergoki mereka dan semakin menyudutkan dirinya."Ini tidak adil untuk saya, Frani. Salah saya kalau saya berjuang untuk mendapatkan hati kamu?" Tatapan Rendi berbeda dari sebelumnya. Tidak ada wajah datar atau tajam. Yang terlihat justru wajah gelisah dan takut. Pria itu tidak mau pergi dari Frani."Salah. Apapun yang bapak lakukan salah. Saya hanya mau tenang dalam bekerja. Saya harus menghidupi diri saya, Pak. Bapak lupa kalau saya ini janda?""Biarkan saya menghidupi kamu dan semua kebutuhan kamu. Saya bersedia bekerja banting tulang demi kamu, Frani. Saya menyukai kamu," ucap Rendi penuh tekad. Sejujurnya Frani merasa tersanjung. Dia benar-benar bisa merasakan ketulusan Rendi. Tidak! Frani belum berani membuka diri."Frani, mengertil
Frani tidak menyangka Tanti akan sedetail itu dalam memperhatikan sesuatu. Wanita itu sekarang tidak bisa berkutik. Apa yang harus dia lakukan? Dia harus mengajukan alasan yang jelas tapi apa?"Kamu ini terlalu banyak melihat sinteron. Tadi, pak satpam meminjamkan ini. Mungkin beliau nggak tahu kalau ini punya Pak Rendi karena yang aku lihat tadi bapaknya asal ambil," jelas Frani. Dia bicara seolah apapun yang melibatkan Rendi bukan hal penting. Tanti tidak mudah percaya. Matanya masih memicing. Berbeda dengan Septi yang menganggap remeh masalah itu. Dia meminta mereka semua untuk mandi dan bersiap untuk makan malam. Rencananya mereka akan membuat mie instan pedas dan beberapa toping. Mumpung cuaca juga mendukung."Aku mandi dulu ya," ucap Frani sembari melipat payung dan memasukkannya ke dalam rumah. Dia berpikir akan menyimpan payung itu di mana karena Tanti pasti sibuk mengorek informasi lagi. Yang paling aman hanya kamar. "Nantilah tunggu kering," ujarnya lagi yang kemudian mena
"Secara nggak langsung aku memang khawatirkan keadaan kamu, Gani. Dari awal menikah kita selalu berjuang untuk membahagiakan orang tua kamu tapi mereka nggak pernah sekalipun mengerti bahwa kamu juga butuh untuk dibahagiakan. Mungkin jika sekarang aku masih menjadi istri kamu, aku nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebebas ini," ucap Frani lemah. Jeda sejenak kemudian dia melanjutkan, "bukan karena aku sudah memiliki Mas Rendi dan harta yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya, tapi lebih pada bersyukur karena orang-orang di sekitarku nggak pernah memaksaku untuk bekerja keras. Mereka menghargaiku meskipun statusku, ya kamu pasti tahu. Terkadang aku berfikir, mungkin benar kebahagiaan akan datang setelah kita larut dalam kesedihan. Tuhan itu adil dan aku yakin kamu juga akan mendapatkan keadilanNya."Gani merasa dirinya menjadi suami yang paling bodoh sedunia karena tidak memahami kesulitan Frani selama menikah dengannya. Pria itu menundukkan kepalanya, sebelum air matan
Gani mendesis, "Nggak. Aku lihat lowongan pekerjaan ini di media sosial. Aku juga nggak tahu kalau laundry ini milik kamu, Fran."Frani tidak ingin percaya tapi memang benar dia membuka lowongan pekerjaan di media sosial. Lantas siapa yang harus disalahkan? Gani hanya berjuang untuk menghidupi hidupnya. Sementara Frani, dia juga membutuhkan karyawan baru. Untuk sementara ini, Frani tidak akan mengusik Gani."Ini camilan untuk kalian, Pak kurir yang baik," ucap Tanti sembari meletakkan beberapa bungkus makanan di meja kecil di pojok ruangan. Frani tergagap, dia buru-buru pergi dari sana sebelum Tanti mengetahui dia bertemu dengan pria lain. Apa dia perlu menceritakannya pada Rendi? Kira-kira respon apa yang akan diperlihatkan suaminya? Ya Tuhan, Frani takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.°°°Gani membawa helm miliknya ke meja ruang tamu, dia duduk di sana dengan perasaan tidak karuan. Lelah rasanya. Bukan pekerjaan yang melelahkan tapi bertemu dengan Frani yang membuat dia e
"Kalian bertengkar?" tanya Septi di ujung telepon. Dia iseng menghubungi Frani tapi malah mendengar suara tidak biasa dari sahabatnya itu."Nggak kok. Kenapa kamu telepon? Ada masalah?" elak Frani. Dia selalu bisa menyembunyikan permasalahan dalam rumah tangganya."Yakin nggak apa-apa?""Yakin, Sep.""Oke kalau begitu. Aku telepon hanya ingin tanya apa kamu ingin sesuatu?""Sesuatu?" tanya Frani bingung."Hm. Sesuatu. Siapa tahu bumil ingin makan sesuatu."Frani sedang tidak berselera makan. Sejak Rendi pergi, dia hanya diam di dalam kamarnya. Bahkan ketukan di pintu yang memintanya untuk makan malam tidak dihiraukan. "Aku nggak ingin apa-apa, Sep. Thanks ya perhatiannya," ucap Frani pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Kalau kamu butuh apa-apa bicara saja padaku. Kalau aku bisa, aku pasti belikan.""Iya. Selamat malam.""Malam."Frani menghembuskan napas dengan gelisah. Dia merindukan Rendi. Padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Hanya saja rasa rindu itu t
"Tanti? Kenapa sendirian?" tanya Rendi bingung. Dia tidak sengaja melihat Tanti yang terduduk di depan ruko dengan mata sembab. Wanita itu mendongak begitu melihat Rendi."Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak cari Frani, dia sudah pulang dari tadi," elak Tanti sembari mengusap air matanya yang masih mengalir pelan. Dia meyakinkan Rendi bahwa dirinya baik-baik saja."Terjadi sesuatu? Saya dengar Rio menikah dengan salah satu staff kantor. Apa itu benar?" Tanti mengangguk lemas, "Dia bahkan nggak memberi saya kabar berbulan-bulan lamanya, Pak. Saya datang ke rumahnya juga nggak diterima baik oleh orangtuanya. Alasannya Rio pergi ke luar kota karena ada pekerjaan di sana. Saya mencoba percaya. Saya nggak pernah berpikir bahwa dia menjauh dari saya. Ketika saya datang untuk kesekian kalinya demi memberimu kabar tentang keguguran saya, saya melihat Rio pergi dengan wanita lain. Maafkan saya, Pak, kalau saya tiba-tiba bicara melantur. Saya permisi dulu."Rendi merasa ada sesuatu yang salah kala
"Tan," panggil Frani pelan.Tanti menunduk sedih, "Aku masih bisa mempertahankan kehamilanku, Fran. Aku yakin kalau bayiku masih ada."Rendi menyingkir dari sana karena beranggapan bahwa dia tidak memiliki kuasa untuk mendengarkan mereka. Mereka memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Frani bangkit untuk duduk di sisi kanan Tanti. Dia menggenggam jemari Tanti, membiarkan Tanti mengerti apa yang dia khawatirkan. "Kata dokter gimana?"Begitu mendengar nama dokter disebut, air mata Tanti meluruh. Dia tidak yakin apakah dia sanggup menceritakan semuanya pada Frani. Beberapa jam lalu menjadi waktu yang paling menakutkan untuknya. Dia yang berharap semuanya akan indah harus merelakan bayinya pergi."Bayinya nggak bisa diselamatkan dan dia harus dikuret segera kalau nggak ingin ada bekas di dalam sana," seloroh Septi yang tidak sabar menunggu Tanti bicara."Kita harus lakukan prosedur itu, Tan," ucap Frani. Dia mempererat pelukan tangannya, "aku temani. Septi juga. Kita ha
"Kamu kenapa, Fran?" tanya Tanti cemas. Sejak berangkat ke pusat perbelanjaan, raut wajah Frani tidak sesantai itu. Ada sesuatu yang dipikirkan melihat bagaimana wanita itu menghela napas selama mereka sibuk memilih pakaian. Frani berusaha tersenyum, sungguh. Namun yang terlihat hanyalah seulas senyum tipis yang tidak berarti apa-apa. "Aku nggak apa-apa."Tanti meminta Frani untuk duduk lebih dulu di area sofa bundar yang digunakan untuk menjajal sepatu atau sandal di toko tersebut. Mereka sudah membeli banyak pakaian meskipun Tanti sudah menolaknya. Berbeda dengan Septi yang tidak bisa menjauhkan pandangan matanya dari barang-barang mahal itu.Tanti ikut duduk di samping Frani, lalu pertanyaan itu kembali muncul. "Ada apa? Kamu bertengkar dengan Pak Rendi gara-gara kami?"Frani agak terkejut karena Tanti sangat peka dengan keadaan. Kepalanya memberikan tanda penolakan. "Nggak. Siapa yang bilang? Kalau aku bertengkar mana mungkin aku bisa menemani kalian di sini?""Maaf ya kalau kami
Suasana di pemukiman yang padat penduduk itu berubah lebih ricuh dari biasanya. Para tetangga sibuk menimba air berusaha sekuat tenaga agar api tidak menyebar hingga rumah mereka. Mobil pemadam kebakaran sedang dalam perjalanan, begitu kendaraan merah itu datang, bunyi sirine benar-benar memekakkan telinga.Frani ingin beranjak dari tempatnya sekarang, tapi Rendi mewanti-wanti dirinya agar tetap di dalam mobil sementara suaminya sibuk menyelematkan teman-temannya. Jari-jari gemetar Frani saling bertautan, menunggu instruksi dari si pemilik untuk segera melakukan sesuatu. Arah pandang Frani tertuju pada gang. Jarak parkir mobilnya lumayan jauh dari sana, jadi dia kesulitan menerka. Hanya saja gang itu kini sudah beralih fungsi menjadi tempat tontonan warga. Jika saja gang tersebut tidak lebih besar dari mobil yang sedang dia tempati saat ini, pasti pemadam kebakaran akan kesulitan menangani situasi.Kalimat-kalimat doa yang tidak pernah putus diucapkan oleh wanita itu berbuah manis. S
Irwan mendengus, setiap kali istrinya mengadu pasti pada akhirnya ucapannya melantur kemana-mana. "Mama nggak berpikir kalau mama akhir-akhir sering plin-plan? Sebentar-sebentar baik pada Frani, menerimanya dengan lapang dada seolah Frani memang berhasil menjadi menantu yang baik. Beberapa hari kemudian berubah menjadi mertua yang jahat yang ingin mengusir menantunya. Lalu jadi baik lagi, belum juga beberapa bulan sudah kembali jahat. Memangnya kalau mama minta Rendi menceraikan Frani, anak kita akan terima? Apa mama nggak pernah berpikir kalau anak mereka nanti yang juga cucu kita, akan jadi bahan bully karena punya orangtua broken home? Apa mama nggak kasihan?"Hati Fitri tertohok begitu mendengar ucapan suaminya. "Tapi mama nggak bisa kalau harus berurusan dengan masa lalu Frani, Pa. Mama benci pada mantan mertuanya itu. Heran kenapa dia harus muncul di sana? Apa jangan-jangan dia membuntuti kita?"Irwan harus mulai menggunakan rayuannya agar Fitri mau berusaha lebih keras lagi unt
Suasana di kantor satpam tidak jauh berbeda. Mereka bukan bertikai secara fisik tapi dengan bibir. Adu mulut yang tidak lagi sekedar menyumpahi secara halus terdengar di sana-sini. Frani terkejut karena Fitri ternyata bisa menyumpahi orang. Dia pikir orang yang memiliki status tinggi tidak akan pernah mengutarakan hal buruk pada sembarang orang. Frani mungkin lupa bahwa dia pernah jadi bahan makian Fitri waktu itu. Kalau Sarah tidak perlu diragukan lagi. Dia lebih bisa menyalurkan emosinya dengan mulut ketimbang perbuatan. Makanya Frani tidak heran sama sekali. Justru yang heran dan tidak bisa berkata apa-apa adalah Rendi. Rendi datang karena Frani menelponnya. Frani tidak bisa mengatasi mereka sendiri. Supir mereka hanya bisa mengambil jalur tengah dengan mengorbankan tubuhnya untuk jadi kambing hitam, tapi yang namanya para wanita sedang menyalurkan bakat terpendam tidak akan mudah dialihkan. Ada-ada saja cara agar keduanya bisa saling menarik rambut lawan.Rendi mendekati mamanya,