"Sudah cukup, Bu. Ibu keterlaluan. Saya tidak ingin berkata kasar pada ibu. Saya permisi," ucap Frani. Dengan mata nanarnya dia kembali masuk. Sampai seburuk itu dirinya di mata orang-orang? Masalah laundry yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah perselingkuhan suaminya, membuat wanita itu tidak bisa lagi berkata-kata.
***"Mana Frani?" teriak Sarah dari luar toko.Frani dan Leni keluar bersamaan dan mendapati Sarah sudah berkoar-koar memanggil menantunya."Aku di sini, Bu," jawab Frani. Matanya sembab. Dia menangis tanpa suara."Kamu boleh bercerai dengan anak saya tapi saya akan menuntut harta gono-gini.""Harta gono-gini apa yang ibu maksud? Laundry ini adalah milikku.""Oh ya? Siapa yang bilang ini milik kamu? Kata Gani, separuh dari uang pembelian ruko ini adalah miliknya. Kamu jangan coba-coba membohongi ibu. Enak saja kamu mau keluar dari rumah ibu dan mengambil semua harta milik bersama. Serahkan sebagian uang penjualan ruko laundry ini pada Gani, dengan begitu kalian bisa bercerai.""Tidak akan pernah! Aku membeli ruko ini dengan uangku sendiri. Aku juga tidak berniat untuk menjualnya. Ibu jangan seenaknya mengakui apa yang bukan menjadi milik ibu. Aku tidak akan terima dan akan memperjuangkannya," tegas Frani. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang perlu digarisbawahi dalam kehidupan Frani."Berani kamu?"Sarah berlari menghampiri menantunya, menarik paksa rambut wanita itu hingga jeritan Frani terdengar. Permasalahan rumah tangga yang harusnya dibicarakan secara kekeluargaan malah menjadi tontonan banyak orang. Frani tidak sanggup melawan mertuanya karena dia bukan wanita kurang ajar.Hingga, Leni menengahi mereka dan menarik Frani menjauh. Kerumunan pejalan kaki dan pemilik ruko di samping kanan kiri membuat jalanan macet. Bayangkan betapa menariknya melihat mertua menarik rambut menantunya perkara harta gono-gini."Ikuti apa mau ibu atau kamu akan menyesal," ancam Sarah. Dia masih berusaha mengintimidasi lalu pergi.Frani memeluk Leni, terisak"Yang sabar, Bu," ucap Leni.***Kabar miring rentang perselingkuhan Frani mulai beredar luas. Kemanapun kakinya melangkah, orang-orang menggunjing dirinya. Padahal dia tidak melakukan apapun tapi seolah dirinya yang disalahkan. Usaha laundrynya juga terancam gulung tikar. Tidak ada lagi orang yang mau mempercayakan cuciannya pada mereka."Maaf karena saya harus memberhentikan kamu dari pekerjaan ini, Len. Kamu tahu sendiri bagaimana sepinya tempat ini. Saya tidak yakin bisa menggaji kamu dengan layak," ucap Frani pada akhirnya. Keputusannya itu sudah dipikirkan matang-matang sejak beberapa hari yang lalu.Leni menerima pemecatannya dengan tangan terbuka. Dia juga tidak mau menambah beban Frani, "Maafkan saya kalau selama bekerja di tempat ini saya sering melakukan kesalahan, Bu. Saya berharap ibu bahagia dengan keputusan yang akan ibu ambil ke depannya.""Terimakasih, Len.""Saya selalu siap menampung curahan hati ibu. Jangan hapus nomor saya ya?" Leni sedang berusaha berkelakar untuk membuat suasana hati Frani membaik.Frani mengiyakan. Perpisahan singkat itu akhirnya selesai dengan air mata yang mengalir.***"Siapa ya?"Ketika membuka rukonya seorang pria sedang menunggunya di luar pintu. Pria paruh baya itu membawa sebuah map dan tas kecil di bagian belt celananya. Kumis lebatnya membuat Frani bergidik.Keadaan wanita itu tidak baik-baik saja karena semalaman dia tidak bisa tidur. Bayangan suaminya yang sedang melakukan sesuatu dengan wanita lain tidak juga mau pergi dari kepalanya. Padahal dia sudah memutuskan untuk tidak lagi mencintai Gani. Tapi hati yang selama lima tahun hanya terpaut pada Gani tentu tidak akan mudah melupakannya."Cari siapa?" tanya Frani bingung.Pria itu tanpa permisi masuk ke dalam ruko untuk melihat-lihat. Dengan menyentuh ujung kumisnya, dia mengangguk santai. Apa yang sedang dia pikirkan?Frani dengan gelisah menghampirinya, "Bapak siapa? Kenapa main nyelonong? Ini ruko saya.""Tapi ibu Sarah meminta saya untuk melihat-lihat tempat ini. Saya berani membayar harga di atas rata-rata karena tempat ini masih terawat dengan baik. Oh ya, hampir lupa. Saya Solihin, makelar bangunan yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Tapi kalau kamu mau jadi istri saya, saya akan melipat gandakan menjadi dua kali lipat. Setuju?" Lirikan mata Solihin yang menilai penampilan Frani, terlihat menjijikkan. Dia bukan seperti makelar bangunan tapi mirip pemilik tempat malam."Jangan sembarangan kalau bicara, Pak!" Frani mundur beberapa langkah, mengamankan dirinya.Solihin tertawa, "Alah, bu Sarah saja sudah memberikan lampu hijau. Tidak apa-apalah bekas Gani yang penting masih kinclong. Dari pada kamu cari pria lain yang belum tentu kaya kan? Enakkan sama saya yang uangnya banyak.""Brengsek! Pergi dari sini! Sampai kapanpun saya tidak akan menjual ruko ini. Tolong sampaikan kata-kata saya pada mertua saya. Silahkan pergi sebelum saya berteriak!" ancam Frani tajam.Solihin tidak gentar sama sekali, "Kamu ini diberi hati malah minta kaki. Ya sudah. Saya akan pergi. Tapi saya akan kembali lagi dengan pembeli. Lagi pula surat-surat ruko sudah ada pada saya." Pria itu hanya mempermainkan Frani. Padahal surat-surat itu ada pada Sarah, disimpan aman di dalam almarinya."Apa? Dari mana bapak mendapatnya? Serahkan pada saya!" Frani nekad menarik tas Solihin untuk memastikan. Tapi dia kalah tenaga dari pria itu. Frani terpelanting dan bagian kepalanya membentur tembok.Karena tidak mau dituduh melakukan kekerasan, Solihin lari terbirit-birit. Sementara Frani mencoba untuk bangkit dan mencari surat kepemilikan ruko yang dia simpan di dalam tasnya.Baju-bajunya berserakan di lantai, tangan Frani bergerak cepat untuk mencari. Namun, tidak ada satupun yang berhasil dia temukan. Wanita itu terduduk lemas di antara keributan yang dia buat."Kenapa tidak ada?" gumamnya frustasi. Dia yakin sudah membawanya serta saat dirinya pergi dari rumah. Dia tidak ingat kenapa surat-surat itu bisa ada di tangan Sarah. Mendadak semua yang ada di kepalanya lenyap.Frani bangkit dengan susah payah. Helaan napas kasarnya terdengar menyesakkan. Dia bergumam, "Aku harus memintanya kembali pada ibu."***"Berikan surat ruko padaku, Bu. Aku pemilik sahnya. Kenapa ibu mengambil dariku tanpa seizinku? Itu namanya mencuri dan jual beli ruko itu tidak sah di mata hukum," cerca Frani.Sarah tampaknya tidak peduli dengan wanita yang akan segera menjadi mantan menantunya itu. Dia menikmati pisang goreng yang masih suam-suam kuku dengan santai, "Siapa bilang? Pak Solihin berjanji akan memberikan harga yang pantas. Mau sah atau tidak, yang penting surat-suratnya ada. Meskipun dalam surat itu tertulis nama kamu, tetap saja ada orang yang berhak. Suami kamu.""Kenapa ibu mengusik apa yang menjadi milikku satu-satunya? Aku sudah berbakti pada ibu selama bertahun-tahun. Buka hati ibu, lepaskan ruko yang bukan milik ibu. Aku mohon," pinta Frani frustasi. Jika dengan keras kepala tidak mempan, Frani mencoba menggunakan cara yang lebih halus.Sarah meradang, "Ngaca kamu! Apa yang kamu dapatkan selama menikah dengan Gani adalah milik ibu. Pergi dari sini! Ibu muak melihat wanita sok kaya macam kamu.""Dasar tidak punya malu. Masih saja mengemis kebaikan hati ibu mertua," seloroh seseorang dari belakang. Wanita berpakaian cukup minim itu menatap Frani dengan seringaian sinis.***Frani merasa bodoh kalau harus mengemis surat-surat ruko pada Sarah. Apalagi ada Celia yang sedang mengejeknya. Dengan perubahan suasana hati, Frani mendekap dua lengannya ke depan, "Si pelakor ada di sini?""Pelakor? Berani benar kamu bicara begitu. Ibu, lihatlah wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan menantumu ini. Dia mengejekku," rengek Celia pada Sarah. Wanita itu menghampiri Sarah dan merajuk. Seringaian wajahnya terlihat memuakkan.Sarah turun tangan. Dia hendak menarik rambut Frani, tapi Frani berhasil menangkap tangan Sarah."Kamu berani melawan ibu?" bentak Sarah."Tentu kalau memang diperlukan. Aku sudah meminta baik-baik surat ruko milikku tapi ibu bersikeras untuk menjualnya silahkan! Lagi pula aku juga tidak suka tinggal dekat dengan kalian. Apalagi sama pelakor yang tidak punya malu. Aku pergi!"Celia tidak terima dikatakan pelakor. Dia berlari, memburu Frani ke depan. Frani sudah mengetahui gerakan Celia. Ketika wanita itu hampir menyentuh bahunya, Frani menghin
Rendi Irwansyah, pemilik pabrik sepatu 'Prima' yang masih single sampai detik ini terkenal sebagai pemimpin yang tegas. Usianya mungkin sudah mencapai tiga puluh tahun namun belum memikirkan pernikahan. Pria dengan wajah lokal, berkulit sawo matang dengan garis rahang keras, menjadi incaran banyak anak-anak bagian yang sama singlenya.Frani mengerut ketika matanya menangkap sorot ketidaksukaan Rendi. Yulia tersenyum sinis padanya karena ucapannya benar-benar terjadi. Dia yakin Frani akan mendapat teguran keras di hari pertamanya."Jangan takut!" ucap Septi dengan pengucapan tanpa suara.Frani mengangguk sekilas, tapi tetap tidak bisa sesantai itu. Dia mengikuti Rendi berjalan ke luar gedung cutting. Mereka melewati pelataran parkir dan ruang tamu terbuka yang berada di tengah-tengah gedung. Setelah berjalan cukup lama, Rendi berbelok ke lorong kanan menuju ruangannya.Frani melangkah dengan kepala tertunduk. Dia hanya melihat bagian belakang sepatu Rendi yang terlihat mengkilap. Penam
"Bapak demam?"Pertanyaan itu keluar dari mulut Frani karena ucapan atasannya benar-benar tidak masuk akal. Rendi masih memegang teguh raut wajahnya yang datar, "Kalau saya demam, saya tidak mungkin ada di sini. Saya juga sengaja menunggu kamu di jalan tadi supaya bisa bicara berdua dengan kamu."Frani tidak percaya. Hubungan apa yang mereka miliki sampai ajakan menikah itu terdengar, "Saya sudah punya suami, Pak."Rendi memang beranggapan demikian. Tapi kemarin, dia mendengar sendiri apa yang terjadi pada rumah tangga Frani. Septi dan Tanti tidak mungkin berbohong. "Saya tahu kamu dalam proses perceraian."Bola mata Frani membulat, "Bapak tahu dari mana?""Dari mana saja bukan hal yang perlu dibahas. Yang penting kita punya target yang sama untuk memiliki pasangan sebelum tahun ini berlalu. Perlu kamu tahu, saya punya list yang belum saya lakukan. Saya harus menikah tahun ini demi menyempurnakan iman saya."Frani tidak peduli dengan alasan Rendi. Baginya, ucapan Rendi bukan sesuatu
Rendi menghampiri Frani, menarik lengannya, "Salah ya kalau saya bicara sama kamu? Saya benar-benar merindukan kamu, Frani.""Lepas, Pak!" Frani celingukan melihat sepanjang jalan karena mereka masih berada di kawasan pabrik. Takut tiba-tiba Yulia memergoki mereka dan semakin menyudutkan dirinya."Ini tidak adil untuk saya, Frani. Salah saya kalau saya berjuang untuk mendapatkan hati kamu?" Tatapan Rendi berbeda dari sebelumnya. Tidak ada wajah datar atau tajam. Yang terlihat justru wajah gelisah dan takut. Pria itu tidak mau pergi dari Frani."Salah. Apapun yang bapak lakukan salah. Saya hanya mau tenang dalam bekerja. Saya harus menghidupi diri saya, Pak. Bapak lupa kalau saya ini janda?""Biarkan saya menghidupi kamu dan semua kebutuhan kamu. Saya bersedia bekerja banting tulang demi kamu, Frani. Saya menyukai kamu," ucap Rendi penuh tekad. Sejujurnya Frani merasa tersanjung. Dia benar-benar bisa merasakan ketulusan Rendi. Tidak! Frani belum berani membuka diri."Frani, mengertil
Frani tidak menyangka Tanti akan sedetail itu dalam memperhatikan sesuatu. Wanita itu sekarang tidak bisa berkutik. Apa yang harus dia lakukan? Dia harus mengajukan alasan yang jelas tapi apa?"Kamu ini terlalu banyak melihat sinteron. Tadi, pak satpam meminjamkan ini. Mungkin beliau nggak tahu kalau ini punya Pak Rendi karena yang aku lihat tadi bapaknya asal ambil," jelas Frani. Dia bicara seolah apapun yang melibatkan Rendi bukan hal penting. Tanti tidak mudah percaya. Matanya masih memicing. Berbeda dengan Septi yang menganggap remeh masalah itu. Dia meminta mereka semua untuk mandi dan bersiap untuk makan malam. Rencananya mereka akan membuat mie instan pedas dan beberapa toping. Mumpung cuaca juga mendukung."Aku mandi dulu ya," ucap Frani sembari melipat payung dan memasukkannya ke dalam rumah. Dia berpikir akan menyimpan payung itu di mana karena Tanti pasti sibuk mengorek informasi lagi. Yang paling aman hanya kamar. "Nantilah tunggu kering," ujarnya lagi yang kemudian mena
Sepasang manik mata itu mendelik mendapat serangan yang tidak terduga. Frani bahkan harus mencengkeram ujung jas Rendi karena tidak bisa mengelak.Kepala Frani yang pusing kini dipenuhi keinginan lain. Padahal dia sangat yakin belum mempunyai perasaan apapun pada Rendi. Dia juga belum resmi bercerai. Bayang-bayang perselingkuhan Gani masih tersisa di kepalanya. Lalu kenapa dia malah menerima kecupan itu?Tubuhnya bahkan condong ke belakang karena Rendi mencoba untuk merebahkannya. Pria itu mengarahkan telapak tangannya pada tengkuk Frani. Sentuhan bibir yang membuat nyaman tidak berhenti sampai di sana. Dua orang itu telah diselimuti oleh keinginan dari dalam diri. Mungkin sudah lama tidak tersentuh makanya mereka melampiaskannya sekarang.Hingga pada akhirnya Rendi memutuskan untuk mengakhiri kecupan mereka. Kepalanya terangkat dengan muka merah yang luar biasa. Belum lagi bibir basah yang menjadi pertanda.Frani menunduk malu, kesadarannya sudah menguasai. "Maaf, Pak. Mungkin efek
"Saya lebih baik pergi kalau bapak bicara ngawur. Dari tadi bapak tidak bisa menjaga lisan. Saya ini janda, Pak. Saya pikir bapak perlu tahu itu kalau-kalau bapak lupa," ucap Frani kesal. Dia memang tergiur oleh bibir Rendi sekali tapi dia tidak mau dibutakan pada hal-hal abstrak. Wanita itu menghela napas lelah, "tidak ada yang mudah bagi janda. Apapun yang saya lakukan pasti buruk di mata orang lain. Kalau bapak benar-benar serius, tunggu saya selesai masa Iddah lalu datanglah melamar saya dengan orangtua bapak. Saya tidak akan pergi jauh dari tempat tinggal saya. Setelah kita resmi menikah, saya sendiri yang akan membuka diri di atas ranjang seperti yang bapak inginkan."Rendi speechless. Mulutnya terkunci. Dia tidak tahu kalau Frani punya pemikiran begitu. Tapi sebagai laki-laki dia mengakui bahwa dirinya keterlaluan. Sejenak dia dibutakan oleh keinginan untuk memenangkan hati Frani. Senyum simpulnya terbit. Rendi mengangguk cepat, "Saya akan melakukannya sesuai permintaan kamu,
Rendi melihat layar ponsel yang dia asal pegang tadi. Dia pikir itu ponselnya karena bergetar tanpa henti. Ternyata dia salah terka. "Tanti," gumam Rendi tanpa sadar."Iya, Pak. Ini saya. Kenapa ponsel Frani ada pada bapak?" 'Astaga, aku salah ambil. Harusnya aku lihat dulu ponsel siapa' batin Rendi.Jalanan di depannya padat merayap karena ada pohon besar yang tumbang. Padahal sewaktu mengantar pulang Frani tadi belum ada insiden itu. Sialnya, ketika dia sibuk melihat keadaan, getar ponsel Frani membuat dirinya geram. Dia menerimanya tanpa pikir panjang."Ponsel Frani? Salah mungkin kamu," elak Rendi, jelas-jelas alasannya tidak masuk akal."Pak Rendi jangan bercanda ya. Kenapa ponsel milik Frani ada pada bapak? Bapak dan Frani berduaan dari semalam?" tuduh Tanti. Dia sungguh berani mengutarakan isi hatinya padahal Rendi adalah bosnya.Rendi mendengar Tanti menanyakan hal yang sama pada Frani. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, itu berarti salah dirinya. "Saya bisa jelaska
"Secara nggak langsung aku memang khawatirkan keadaan kamu, Gani. Dari awal menikah kita selalu berjuang untuk membahagiakan orang tua kamu tapi mereka nggak pernah sekalipun mengerti bahwa kamu juga butuh untuk dibahagiakan. Mungkin jika sekarang aku masih menjadi istri kamu, aku nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebebas ini," ucap Frani lemah. Jeda sejenak kemudian dia melanjutkan, "bukan karena aku sudah memiliki Mas Rendi dan harta yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya, tapi lebih pada bersyukur karena orang-orang di sekitarku nggak pernah memaksaku untuk bekerja keras. Mereka menghargaiku meskipun statusku, ya kamu pasti tahu. Terkadang aku berfikir, mungkin benar kebahagiaan akan datang setelah kita larut dalam kesedihan. Tuhan itu adil dan aku yakin kamu juga akan mendapatkan keadilanNya."Gani merasa dirinya menjadi suami yang paling bodoh sedunia karena tidak memahami kesulitan Frani selama menikah dengannya. Pria itu menundukkan kepalanya, sebelum air matan
Gani mendesis, "Nggak. Aku lihat lowongan pekerjaan ini di media sosial. Aku juga nggak tahu kalau laundry ini milik kamu, Fran."Frani tidak ingin percaya tapi memang benar dia membuka lowongan pekerjaan di media sosial. Lantas siapa yang harus disalahkan? Gani hanya berjuang untuk menghidupi hidupnya. Sementara Frani, dia juga membutuhkan karyawan baru. Untuk sementara ini, Frani tidak akan mengusik Gani."Ini camilan untuk kalian, Pak kurir yang baik," ucap Tanti sembari meletakkan beberapa bungkus makanan di meja kecil di pojok ruangan. Frani tergagap, dia buru-buru pergi dari sana sebelum Tanti mengetahui dia bertemu dengan pria lain. Apa dia perlu menceritakannya pada Rendi? Kira-kira respon apa yang akan diperlihatkan suaminya? Ya Tuhan, Frani takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.°°°Gani membawa helm miliknya ke meja ruang tamu, dia duduk di sana dengan perasaan tidak karuan. Lelah rasanya. Bukan pekerjaan yang melelahkan tapi bertemu dengan Frani yang membuat dia e
"Kalian bertengkar?" tanya Septi di ujung telepon. Dia iseng menghubungi Frani tapi malah mendengar suara tidak biasa dari sahabatnya itu."Nggak kok. Kenapa kamu telepon? Ada masalah?" elak Frani. Dia selalu bisa menyembunyikan permasalahan dalam rumah tangganya."Yakin nggak apa-apa?""Yakin, Sep.""Oke kalau begitu. Aku telepon hanya ingin tanya apa kamu ingin sesuatu?""Sesuatu?" tanya Frani bingung."Hm. Sesuatu. Siapa tahu bumil ingin makan sesuatu."Frani sedang tidak berselera makan. Sejak Rendi pergi, dia hanya diam di dalam kamarnya. Bahkan ketukan di pintu yang memintanya untuk makan malam tidak dihiraukan. "Aku nggak ingin apa-apa, Sep. Thanks ya perhatiannya," ucap Frani pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Kalau kamu butuh apa-apa bicara saja padaku. Kalau aku bisa, aku pasti belikan.""Iya. Selamat malam.""Malam."Frani menghembuskan napas dengan gelisah. Dia merindukan Rendi. Padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Hanya saja rasa rindu itu t
"Tanti? Kenapa sendirian?" tanya Rendi bingung. Dia tidak sengaja melihat Tanti yang terduduk di depan ruko dengan mata sembab. Wanita itu mendongak begitu melihat Rendi."Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak cari Frani, dia sudah pulang dari tadi," elak Tanti sembari mengusap air matanya yang masih mengalir pelan. Dia meyakinkan Rendi bahwa dirinya baik-baik saja."Terjadi sesuatu? Saya dengar Rio menikah dengan salah satu staff kantor. Apa itu benar?" Tanti mengangguk lemas, "Dia bahkan nggak memberi saya kabar berbulan-bulan lamanya, Pak. Saya datang ke rumahnya juga nggak diterima baik oleh orangtuanya. Alasannya Rio pergi ke luar kota karena ada pekerjaan di sana. Saya mencoba percaya. Saya nggak pernah berpikir bahwa dia menjauh dari saya. Ketika saya datang untuk kesekian kalinya demi memberimu kabar tentang keguguran saya, saya melihat Rio pergi dengan wanita lain. Maafkan saya, Pak, kalau saya tiba-tiba bicara melantur. Saya permisi dulu."Rendi merasa ada sesuatu yang salah kala
"Tan," panggil Frani pelan.Tanti menunduk sedih, "Aku masih bisa mempertahankan kehamilanku, Fran. Aku yakin kalau bayiku masih ada."Rendi menyingkir dari sana karena beranggapan bahwa dia tidak memiliki kuasa untuk mendengarkan mereka. Mereka memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Frani bangkit untuk duduk di sisi kanan Tanti. Dia menggenggam jemari Tanti, membiarkan Tanti mengerti apa yang dia khawatirkan. "Kata dokter gimana?"Begitu mendengar nama dokter disebut, air mata Tanti meluruh. Dia tidak yakin apakah dia sanggup menceritakan semuanya pada Frani. Beberapa jam lalu menjadi waktu yang paling menakutkan untuknya. Dia yang berharap semuanya akan indah harus merelakan bayinya pergi."Bayinya nggak bisa diselamatkan dan dia harus dikuret segera kalau nggak ingin ada bekas di dalam sana," seloroh Septi yang tidak sabar menunggu Tanti bicara."Kita harus lakukan prosedur itu, Tan," ucap Frani. Dia mempererat pelukan tangannya, "aku temani. Septi juga. Kita ha
"Kamu kenapa, Fran?" tanya Tanti cemas. Sejak berangkat ke pusat perbelanjaan, raut wajah Frani tidak sesantai itu. Ada sesuatu yang dipikirkan melihat bagaimana wanita itu menghela napas selama mereka sibuk memilih pakaian. Frani berusaha tersenyum, sungguh. Namun yang terlihat hanyalah seulas senyum tipis yang tidak berarti apa-apa. "Aku nggak apa-apa."Tanti meminta Frani untuk duduk lebih dulu di area sofa bundar yang digunakan untuk menjajal sepatu atau sandal di toko tersebut. Mereka sudah membeli banyak pakaian meskipun Tanti sudah menolaknya. Berbeda dengan Septi yang tidak bisa menjauhkan pandangan matanya dari barang-barang mahal itu.Tanti ikut duduk di samping Frani, lalu pertanyaan itu kembali muncul. "Ada apa? Kamu bertengkar dengan Pak Rendi gara-gara kami?"Frani agak terkejut karena Tanti sangat peka dengan keadaan. Kepalanya memberikan tanda penolakan. "Nggak. Siapa yang bilang? Kalau aku bertengkar mana mungkin aku bisa menemani kalian di sini?""Maaf ya kalau kami
Suasana di pemukiman yang padat penduduk itu berubah lebih ricuh dari biasanya. Para tetangga sibuk menimba air berusaha sekuat tenaga agar api tidak menyebar hingga rumah mereka. Mobil pemadam kebakaran sedang dalam perjalanan, begitu kendaraan merah itu datang, bunyi sirine benar-benar memekakkan telinga.Frani ingin beranjak dari tempatnya sekarang, tapi Rendi mewanti-wanti dirinya agar tetap di dalam mobil sementara suaminya sibuk menyelematkan teman-temannya. Jari-jari gemetar Frani saling bertautan, menunggu instruksi dari si pemilik untuk segera melakukan sesuatu. Arah pandang Frani tertuju pada gang. Jarak parkir mobilnya lumayan jauh dari sana, jadi dia kesulitan menerka. Hanya saja gang itu kini sudah beralih fungsi menjadi tempat tontonan warga. Jika saja gang tersebut tidak lebih besar dari mobil yang sedang dia tempati saat ini, pasti pemadam kebakaran akan kesulitan menangani situasi.Kalimat-kalimat doa yang tidak pernah putus diucapkan oleh wanita itu berbuah manis. S
Irwan mendengus, setiap kali istrinya mengadu pasti pada akhirnya ucapannya melantur kemana-mana. "Mama nggak berpikir kalau mama akhir-akhir sering plin-plan? Sebentar-sebentar baik pada Frani, menerimanya dengan lapang dada seolah Frani memang berhasil menjadi menantu yang baik. Beberapa hari kemudian berubah menjadi mertua yang jahat yang ingin mengusir menantunya. Lalu jadi baik lagi, belum juga beberapa bulan sudah kembali jahat. Memangnya kalau mama minta Rendi menceraikan Frani, anak kita akan terima? Apa mama nggak pernah berpikir kalau anak mereka nanti yang juga cucu kita, akan jadi bahan bully karena punya orangtua broken home? Apa mama nggak kasihan?"Hati Fitri tertohok begitu mendengar ucapan suaminya. "Tapi mama nggak bisa kalau harus berurusan dengan masa lalu Frani, Pa. Mama benci pada mantan mertuanya itu. Heran kenapa dia harus muncul di sana? Apa jangan-jangan dia membuntuti kita?"Irwan harus mulai menggunakan rayuannya agar Fitri mau berusaha lebih keras lagi unt
Suasana di kantor satpam tidak jauh berbeda. Mereka bukan bertikai secara fisik tapi dengan bibir. Adu mulut yang tidak lagi sekedar menyumpahi secara halus terdengar di sana-sini. Frani terkejut karena Fitri ternyata bisa menyumpahi orang. Dia pikir orang yang memiliki status tinggi tidak akan pernah mengutarakan hal buruk pada sembarang orang. Frani mungkin lupa bahwa dia pernah jadi bahan makian Fitri waktu itu. Kalau Sarah tidak perlu diragukan lagi. Dia lebih bisa menyalurkan emosinya dengan mulut ketimbang perbuatan. Makanya Frani tidak heran sama sekali. Justru yang heran dan tidak bisa berkata apa-apa adalah Rendi. Rendi datang karena Frani menelponnya. Frani tidak bisa mengatasi mereka sendiri. Supir mereka hanya bisa mengambil jalur tengah dengan mengorbankan tubuhnya untuk jadi kambing hitam, tapi yang namanya para wanita sedang menyalurkan bakat terpendam tidak akan mudah dialihkan. Ada-ada saja cara agar keduanya bisa saling menarik rambut lawan.Rendi mendekati mamanya,