Sebelum menentukan tanggal pernikahan, Damaira meminta Sita dan Negan untuk memberitahu ibu dari wanita itu lebih dulu.
Meski terkejut, ibu Sita memberi restu, lalu menentukan tanggal pernikahan. Pernikahan akan dilakukan 3 minggu dari sekarang.Damaira tak bisa memberi toleransi lebih lama lagi, sebab perutnya pasti akan segera terlihat.Siapa sangka Damaira telah membawa beberapa berkas yang akan digunakan untuk mendaftar pernikahan. Sita akan kembali esok hari untuk mengurus semua itu ke KUA.Tak ada percakapan di antara Damaira dan Negan selama dalam perjalanan pulang ke rumah setelah menemui Sita.Negan tahu meski nampak tegar, istrinya sangat terluka.'Maafkan aku, Ira.' Batin Negan.Hari pernikahan semakin dekat. Damaira mengajak suaminya untuk berbicara di kamar."Ini, Mas." Damaira memberikan sebuah amplop untuk suaminya."Apa itu?""Kamu lihat saja, itu hadiah pernikahan dariku."Negan membuka amplop tersebut, sebuah tiket pulangLima tahun kemudian.Berlin, Jerman.Di pagi hari, di musim gugur, Damaira sedang sibuk menyiapkan sarapan.Entah mengapa, pikirannya melayang entah kemana.Lima tahun hidup di Jerman bersama saudara kembarnya. Orang tuanya sempat syok karena mengetahui hal itu, terlebih lagi tahu tentang perceraiannya dengan Finnegan Cakrawala–suaminya.Rupanya Negan cukup mempunyai nyali untuk datang ke rumah orang tua Damaira untuk mencari keberadaannya. Tentu saja ayah Damaira tak tinggal diam, dari cerita sang ibu, mantan suaminya itu mendapat bogem dari ayahnya.Bagaimana keadaan pria itu saat ini, Damaira tak pernah tahu, lebih tepatnya dia tak pernah mencari tahu. Untuk apa? Dia pergi jauh karena memang ingin melupakan pria brengsek seperti Finnegan Cakrawala. "Mama, aku lapar!" seru anak kecil berumur empat tahun, membuat lamunan Damaira buyar.Damaira tersenyum pada pria kecil dan menggemaskan itu, bocah yang telah tiga tahun dia tunggu kehadirannya.Da
'Takdir macam apa ini, Tuhan!" Batin keduanya.Orang yang berada dalam mobil itu pun keluar, dengan senyum semringah dia mengulurkan tangan pada Damaira.Dengan ragu-ragu, Damaira membalas uluran tangan itu.Dengan meringis Damaira menunjuk ke arah mobil mereka."Astaga!" Mahesa menepuk keningnya."Maafkan aku, Ira."Damaira memeriksa keadaan mobilnya. Syukurlah mobil itu hanya lecet, tidak sampai parah. Sebab dia malas mendengar ocehan Isa yang akan memarahinya dari A hingga kembali ke A lagi."Hanya lecet," lirih Damaira."Mobilku hanya lecet, Pak Mahesa. Tidak perlu dipermasalahkan. Kalau begitu Saya permisi, mohon maaf telah menyita waktumu."Damaira membalikkan badan hendak menuju mobilnya, tapi tangannya dicekal oleh Mahesa."Aku sedang longgar, setidaknya beri aku waktu untuk meminta maaf, bagaimana kalau kita mengobrol sebentar."Damaira tampak berpikir, lalu menyetujui usulan Mahesa. Dia mengajak pria itu ke coffee shop yang menja
Di belahan negara lain, gadis kecil sedang menangis di depan kamar ayahnya sembari mengetuk pintu besar itu tiada henti.Negan yang masih merapikan diri segera membuka pintu kamarnya."Ada apa, Celine?" tanya Negan sembari berjongkok menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan gadis itu."Tante Dina memarahiku, Ayah," ucap Celine lalu memeluk ayahnya.Terlihat Dina memandang sinis pada bocah berumur empat tahun itu, seraya mengomel tidak jelas. "Ada apa lagi, Din?" Negan mendekat ke arah adiknya."Lihatlah kelakuan anakmu, Mas." Dina menunjuk lantai yang kotor karena sayur yang ditumpahkan oleh Celine. Untung saja, hanya dari sebuah mangkuk kecil yang Dina ambil khusus untuk gadis cilik itu."Ya ampun, Din. Kamu kan tak perlu memarahinya sampai seperti itu," ujar Negan dengan halus.Empat tahun ini membuat perubahan yang sangat besar untuk Negan. Pria itu lebih pandai mengelola emosi dan bersikap lebih bijak, semua demi anaknya."Sudah ku katakan b
"Ayo, segera selesaikan belanja kita, Papi kesayanganmu sudah menyuruh untuk segera pulang," ujar Damaira pada anaknya.Damaira melanjutkan aktivitasnya memilah dan memilih barang yang akan dibeli. Setengah jam kemudian, Damaira dan Ezra telah sampai di rumah.Isa terlihat sedang bersantai di depan laptop kesayangannya. “Ezra, kamu ganti baju lebih dulu, Mama akan merapikan ini.” Damaira menunjukkan belanjaan yang dia bawa.“Siap, Mama.”Bocah kecil itu tak lupa menyapa pamannya yang sedang serius, seperti biasa keduanya berbincang Dan bercanda, hingga terdengar suara deheman dari sang ibu, dengan cemberut Ezra bergegas pergi ke kamarnya."Mama mengganggu urusan pria," gerutu Ezra.“Kamu ingin membicarakan tentang apa, seperti serius?” Damaira meletakkan tiga minuman dingin dan kudapan di atas meja.“Kita akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat!”“Ha? Memangnya ada apa? Ayah atau Ibu sakit?”“Iya, Ayah sakit. Dewa baru saja memberi kabar.
Ezra yang kepergok tidak mematuhi perintah ibunya, hanya tersenyum menunjukkan gigi-gigi putihnya, lalu menunjukkan dua minuman yang ada dalam pelukannya, berharap ibunya tak akan memarahinya."Nah, itu dia Mamaku, Paman."Ezra menunjuk ke arah ibunya, sayangnya fokus pria itu sudah tertuju pada Damaira.'Anak kecil ini, anak Damaira? Kebetulan macam apa ini? Kenapa dunia sempit sekali,' monolog Mahesa dalam hati."Paman!" Seruan Ezra membubarkan fokus Mahesa."Ah, iya?" Mahesa tergagap."Sudah ku katakan Mamaku sangat cantik, Paman sampai tak berkedip melihatnya," oceh Ezra.Mahesa merasa malu karena ketahuan mengagumi Damaira, tanpa sadar dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan kembali melihat ke arah wanita itu dengan sedikit canggung.Damaira tersenyum lalu mengangguk, lantas menyuruh anaknya untuk mendekat padanya."Jangan memarahi ku, Mama. Aku hanya ingin membeli susu ini, tapi mesin besar itu tak tidak ramah untuk ukuran anak kecil
Zivan melajukan kendaraan miliknya menuju ke rumah Damaira. “Hai, Tampan. Ternyata kamu lebih tampan aslinya,” puji Dinda seraya menggoda Ezra. Bocah cilik itu hanya paham kata ‘tampan’, dia kemudian melirik pada sang ibu berharap bisa memberi tahu artinya.“Tante Dinda bicara, kamu lebih tampan aslinya,” ucap Damaira.Karena efek jet lag, bocah itu hanya mengucapkan terima kasih tanpa ekspresi. Biasa Ezra akan membanggakan diri seperti ayahnya.Mengingat ayah Ezra, membuat dada Damaira terasa nyeri. Kenangan pahit bersama pria itu dan juga video mesumnya dengan Sita begitu berbekas di benak dan hati Damaira.Tanpa sadar Damaira menghela nafas panjang. Kemungkinan tidak bertemu dengan Negan pasti kecil, terlebih dia berniat memegang kembali The Moonlight Bakery.Suasana di dalam mobil itu begitu hening, hingga mereka sampai di rumah. Zivan dan Dinda seakan paham, ada Ezra di di antara mereka, tidak mungkin mereka membahas tentang kebersamaan Damaira de
'Menikah lagi, ya?' batin Damaira, dia pun larut dalam pikirannya.Seketika lamunan Damaira buyar karena sebuah pertanyaan dari sahabatnya."Ah, apa, Din?""Kamu tak ingin mendengar kabar tentang mantan suamimu?" Dinda mengulang pertanyaannya.Belum sempat Damaira menjawab pertanyaan itu, suara rengekan Ezra terdengar dari arah tangga.Anak itu menangis, "Mama kenapa meninggalkanku? Aku takut," ucap Ezra di tengah tangisnya. Damaira menggendong Ezra turun ke ruang tengah."Kenapa takut? Mama tidak kemana-mana.""Rasanya aku masih melayang-layang, Ma," keluh anak itu.Damaira menenangkan anaknya dalam pelukan."Kamu mau es krim, Ez. Tante tadi beli es krim, tapi tidak mungkin Tante berikan saat kamu belum makan. Mamamu pasti akan mengomeli, Tante."Meski tidak antusias, Ezra menerima tawaran Dinda.Dinda dan Ezra menikmati es krim bersama, Damaira tak begitu tertarik dengan makanan manis tersebut."Din, wifi passwordnya apa?"
Dua minggu telah berlalu, Damaira berada di rumah kedua orang tuanya. Isa baru saja tiba di sana setelah menyelesaikan semua urusannya di Jerman.Dia datang lalu bersimpuh di kaki sang ibu, memohon ampun atas segala kesalahan dan dosa yang telah dia perbuat, hal yang sama juga dia lakukan pada sang ayah.Semua itu Isa lakukan karena kepergiannya dan meninggalkan orang kedua orang tua dalam waktu yang lama.Isa juga memeluk adik bungsunya–Dewa– yang telah menjadi pria dewasa. Dia pria yang selalu ada untuk kedua orang tuanya."Terima kasih, Dewa. Kamu telah menjaga Ayah dan Ibu dengan baik. Maafkan aku yang menaruh beban berat di pundakmu, padahal kamu juga pasti ingin mengejar cita-citamu.""Kamu tenang saja, Mas. Aku Tak kurang sesuatu apapun. Kuliah, kerja, serta kebahagiaan Ayah dan Ibu. Semua berkatmu." Keduanya berpelukan.Sasana rumah itu mendadak mengharu-biru. Tanpa terasa Lestari dan Damaira menitikan air mata.Sore menjelang, Damaira sibuk memas