Di belahan negara lain, gadis kecil sedang menangis di depan kamar ayahnya sembari mengetuk pintu besar itu tiada henti.
Negan yang masih merapikan diri segera membuka pintu kamarnya."Ada apa, Celine?" tanya Negan sembari berjongkok menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan gadis itu."Tante Dina memarahiku, Ayah," ucap Celine lalu memeluk ayahnya.Terlihat Dina memandang sinis pada bocah berumur empat tahun itu, seraya mengomel tidak jelas."Ada apa lagi, Din?" Negan mendekat ke arah adiknya."Lihatlah kelakuan anakmu, Mas."Dina menunjuk lantai yang kotor karena sayur yang ditumpahkan oleh Celine. Untung saja, hanya dari sebuah mangkuk kecil yang Dina ambil khusus untuk gadis cilik itu."Ya ampun, Din. Kamu kan tak perlu memarahinya sampai seperti itu," ujar Negan dengan halus.Empat tahun ini membuat perubahan yang sangat besar untuk Negan. Pria itu lebih pandai mengelola emosi dan bersikap lebih bijak, semua demi anaknya."Sudah ku katakan b"Ayo, segera selesaikan belanja kita, Papi kesayanganmu sudah menyuruh untuk segera pulang," ujar Damaira pada anaknya.Damaira melanjutkan aktivitasnya memilah dan memilih barang yang akan dibeli. Setengah jam kemudian, Damaira dan Ezra telah sampai di rumah.Isa terlihat sedang bersantai di depan laptop kesayangannya. “Ezra, kamu ganti baju lebih dulu, Mama akan merapikan ini.” Damaira menunjukkan belanjaan yang dia bawa.“Siap, Mama.”Bocah kecil itu tak lupa menyapa pamannya yang sedang serius, seperti biasa keduanya berbincang Dan bercanda, hingga terdengar suara deheman dari sang ibu, dengan cemberut Ezra bergegas pergi ke kamarnya."Mama mengganggu urusan pria," gerutu Ezra.“Kamu ingin membicarakan tentang apa, seperti serius?” Damaira meletakkan tiga minuman dingin dan kudapan di atas meja.“Kita akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat!”“Ha? Memangnya ada apa? Ayah atau Ibu sakit?”“Iya, Ayah sakit. Dewa baru saja memberi kabar.
Ezra yang kepergok tidak mematuhi perintah ibunya, hanya tersenyum menunjukkan gigi-gigi putihnya, lalu menunjukkan dua minuman yang ada dalam pelukannya, berharap ibunya tak akan memarahinya."Nah, itu dia Mamaku, Paman."Ezra menunjuk ke arah ibunya, sayangnya fokus pria itu sudah tertuju pada Damaira.'Anak kecil ini, anak Damaira? Kebetulan macam apa ini? Kenapa dunia sempit sekali,' monolog Mahesa dalam hati."Paman!" Seruan Ezra membubarkan fokus Mahesa."Ah, iya?" Mahesa tergagap."Sudah ku katakan Mamaku sangat cantik, Paman sampai tak berkedip melihatnya," oceh Ezra.Mahesa merasa malu karena ketahuan mengagumi Damaira, tanpa sadar dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan kembali melihat ke arah wanita itu dengan sedikit canggung.Damaira tersenyum lalu mengangguk, lantas menyuruh anaknya untuk mendekat padanya."Jangan memarahi ku, Mama. Aku hanya ingin membeli susu ini, tapi mesin besar itu tak tidak ramah untuk ukuran anak kecil
Zivan melajukan kendaraan miliknya menuju ke rumah Damaira. “Hai, Tampan. Ternyata kamu lebih tampan aslinya,” puji Dinda seraya menggoda Ezra. Bocah cilik itu hanya paham kata ‘tampan’, dia kemudian melirik pada sang ibu berharap bisa memberi tahu artinya.“Tante Dinda bicara, kamu lebih tampan aslinya,” ucap Damaira.Karena efek jet lag, bocah itu hanya mengucapkan terima kasih tanpa ekspresi. Biasa Ezra akan membanggakan diri seperti ayahnya.Mengingat ayah Ezra, membuat dada Damaira terasa nyeri. Kenangan pahit bersama pria itu dan juga video mesumnya dengan Sita begitu berbekas di benak dan hati Damaira.Tanpa sadar Damaira menghela nafas panjang. Kemungkinan tidak bertemu dengan Negan pasti kecil, terlebih dia berniat memegang kembali The Moonlight Bakery.Suasana di dalam mobil itu begitu hening, hingga mereka sampai di rumah. Zivan dan Dinda seakan paham, ada Ezra di di antara mereka, tidak mungkin mereka membahas tentang kebersamaan Damaira de
'Menikah lagi, ya?' batin Damaira, dia pun larut dalam pikirannya.Seketika lamunan Damaira buyar karena sebuah pertanyaan dari sahabatnya."Ah, apa, Din?""Kamu tak ingin mendengar kabar tentang mantan suamimu?" Dinda mengulang pertanyaannya.Belum sempat Damaira menjawab pertanyaan itu, suara rengekan Ezra terdengar dari arah tangga.Anak itu menangis, "Mama kenapa meninggalkanku? Aku takut," ucap Ezra di tengah tangisnya. Damaira menggendong Ezra turun ke ruang tengah."Kenapa takut? Mama tidak kemana-mana.""Rasanya aku masih melayang-layang, Ma," keluh anak itu.Damaira menenangkan anaknya dalam pelukan."Kamu mau es krim, Ez. Tante tadi beli es krim, tapi tidak mungkin Tante berikan saat kamu belum makan. Mamamu pasti akan mengomeli, Tante."Meski tidak antusias, Ezra menerima tawaran Dinda.Dinda dan Ezra menikmati es krim bersama, Damaira tak begitu tertarik dengan makanan manis tersebut."Din, wifi passwordnya apa?"
Dua minggu telah berlalu, Damaira berada di rumah kedua orang tuanya. Isa baru saja tiba di sana setelah menyelesaikan semua urusannya di Jerman.Dia datang lalu bersimpuh di kaki sang ibu, memohon ampun atas segala kesalahan dan dosa yang telah dia perbuat, hal yang sama juga dia lakukan pada sang ayah.Semua itu Isa lakukan karena kepergiannya dan meninggalkan orang kedua orang tua dalam waktu yang lama.Isa juga memeluk adik bungsunya–Dewa– yang telah menjadi pria dewasa. Dia pria yang selalu ada untuk kedua orang tuanya."Terima kasih, Dewa. Kamu telah menjaga Ayah dan Ibu dengan baik. Maafkan aku yang menaruh beban berat di pundakmu, padahal kamu juga pasti ingin mengejar cita-citamu.""Kamu tenang saja, Mas. Aku Tak kurang sesuatu apapun. Kuliah, kerja, serta kebahagiaan Ayah dan Ibu. Semua berkatmu." Keduanya berpelukan.Sasana rumah itu mendadak mengharu-biru. Tanpa terasa Lestari dan Damaira menitikan air mata.Sore menjelang, Damaira sibuk memas
Ezra berpamitan pada sang ibu untuk masuk ke dalam kelas."Semangat ya, Sayang.""Mama hati-hati saat pulang."Damaira mencium kening Ezra penuh kasih sayang."Aku tak menyangka jika kamu akan kembali dengan seorang anak, Ra. Aku senang kamu sudah kembali." Damaira tersenyum, tapi matanya berkaca."Ah, maafkan aku, Ira. Aku terlalu banyak bicara," ucap kepala sekolah itu merasa tidak enak.Damaira menggeleng, "Tidak apa-apa, Tante. Ira juga tidak menyangka, Tante akan jadi mertua Dinda.""Jodoh tak ada yang tahu."Setelah berbincang cukup lama, Damaira segera mengakhiri percakapan mereka, takut mengganggu pekerjaan kepala sekolah.Kembali pada Ezra yang berjalan menuju kelasnya bersama Bu Linda–wali kelasnya.Bu guru itu meminta perhatian murid-muridnya lalu memperkenalkan Ezra pada calon teman-temannya.Anak-anak itu tampak menyambut Ezra dengan gembira.Kemudian Bu Linda menyebutkan satu per satu nama anak-anak di kelas itu. Ezra dengan mudah mengingat anak-anak yang berjumlah 21 ora
Damaira melajukan mobilnya menuju sebuah restoran, dia akan bertemu dengan Zivan dan orang kepercayaan keluarganya untuk membicarakan tentang The Moonlight Bakery. Dia berencana akan kembali mengelola toko roti itu. Damaira bersyukur toko itu masih berdiri tegak meski saingan semakin ketat. Mempertahankan produk-produk andalan sejak lima tahun yang lalu. Dia harus mulai membuat inovasi baru untuk memberi perubahan pada toko rotinya. Dia sudah mengeksplor beberapa informasi terbaru tentang segala sesuatu yang sedang menjadi topik hangat belakangan ini, siapa tahu dia akan mendapat inspirasi dari sana. Damaira memarkir mobilnya, dia menatap bangunan dua lantai tersebut sebelum keluar dari mobil. Tak banyak perubahan dari restoran tersebut, lima tahun lalu, di sini dia melepas segala hal tentang kehidupannya yang begitu pahit. Tak ingin terus meratapi masa lalu, Damaira melangkah dengan pasti memasuki restoran. Di ruang privat Zivan dan orang keperayaan keluarganya sudah menunggu. “M
Damaira masuk ke dalam kamar lantas mengunci pintu balkon. Segera turun ke lantai satu. Sebelum membuka pintu utama, Damaira lebih dulu mengintip melalui jendela, siapa gerangan yang datang bertandan semalam ini.Hanya dua orang yang kemungkinan melakukan hal tersebut, Dinda atau Isa. Dan jawabannya adalah saudara kesabarannya sendiri.Damaira segera keluar, membukakan pintu gerbang untuk pria dingin itu.“Isa, kamu membuatku jantungan, kenapa kamu datang selarut ini tanpa mengabari lebih dulu," tanya Damaira setelah pria itu keluar dari mobilnya.Isa mengerutkan keningnya, “Sepertinya kau tak membaca pesanku.""Sepertinya seperti itu, aku dari tadi sore tak menyentuh benda itu sama sekali. Aku bahkan lupa di mana meletakkan benda itu. Masuklah!"Damaira kembali mengunci pintu."Di mana kamarku?” Isa meletakkan dua kardus besar yang dia bawa di meja makan. Sepertinya itu oleh-oleh dari ibunya.Damaira mengantar saudara kembarnya ke kamar yan