"Apa lagi? Bukankah utangnya sudah dilunasi! Lalu, kenapa masih menahanku?" jerit Luna, ia merasakan seluruh tubuhnya berdenyut nyeri.
"Beraninya kau berteriak dihadapanku!" Laki-laki tua itu geram, melayangkan tamparan yang membuat Luna tersungkur. Ia tidak suka saat Luna mencoba untuk melawan."Apa salahku? Aku merasa tidak memiliki kesalahan apa pun," rintihnya. Luna tidak merasa memiliki kesalahan pada laki-laki tua itu, selain dari hutang yang ditinggalkan orang tuanya.Laki-laki itu tersenyum licik, melihat Luna yang hanya bisa berlutut. 'Anak perempuan yang malang,' pikirnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Luna harus terbebani dengan masalah yang dibuat oleh kedua orang tuanya. Hutang yang ditinggalkan kedua orang tua Luna tidak dalam jumlah yang sedikit."Uang tadi hanya untuk membebaskan anak kecil itu," ujar laki-laki tua itu, "untuk utangmu, kau masih harus membayarnya."Laki-laki tua itu kembali diam, dia menampakkan mimik wajah berpikir selama beberapa saat. "Bagaimana dengan seratus juta? Itu sudah sangat sedikit, aku memberimu keringanan sekarang," lanjutnya, kembali menunjukkan senyum jenaka."Kau, laki-laki tua tidak tahu diri! Dasar licik!" teriak Luna, hendak menyerang laki-laki tua itu. Namun, tubuhnya lebih dulu ditarik dan dihempaskan ke lantai.Luna menggeram kesakitan, ia merasa kalau tubuhnya sebentar lagi akan hancur lebur. Luna bahkan kembali merasakan pengelihatannya yang berkunang-kunang. Tapi, Luna memaksakan diri agar tetap sadar. Luna tidak tahu, hal buruk apa yang akan terjadi jika ia sampai pingsan di sini."Beraninya kau! Mencoba melawan?" Laki-laki tua itu mendekat, mencengkeram pada bagian rahang Luna. Memaksa Luna agar melihatnya. Dan, lagi-lagi Luna hanya bisa memejamkan mata, merasa ngilu dan nyeri."Kau punya pria itu, kau bisa menggodanya. Dan bawakan uang yang banyak untukku," ujar laki-laki tua itu, menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan, membuat wajah Luna ikut bergerak."Lagi pula, apa lagi yang kau harapkan? Kau tidak memiliki siapa pun sekarang, jadi tidak perlu takut untuk menjual diri dan menjadi j****g," ujar laki-laki tua itu, melepaskan tangannya dari rahang Luna. Ia mengedipkan matanya, genit.Luna yang tidak tahan, menggerakkan tangannya. Menampar laki-laki tua dengan mulut yang kurang ajar itu. Luna merasakan napasnya yang memburu, ia tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan laki-laki tua itu."Kau!" geram laki-laki tua itu, menyentuh pipinya tepat pada bekas tamparan Luna."Baiklah, sepertinya kau mencoba untuk bermain-main. Kurung dia!" perintah laki-laki tua itu pada seluruh pengawal yang kemudian mendekati Luna.Luna hanya bisa berteriak saat tubuhnya ditarik. Luna dibawa ke dalam sebuah ruangan yang sangat gelap. Luna dikurung di sana, tanpa ada pencahayaan atau apa pun itu."Lepaskan aku!" teriak Luna terus menerus sembari memukul-mukul pintu yang terkunci dari luar.Hingga Luna mulai lelah melakukannya. Memilih untuk duduk di lantai, sudah pasrah. Luna tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan.Saat Luna sudah benar-benar menyerah akan semuanya, sebuah suara tidak sangaja tertangkap oleh indra pendengaran Luna."Siapa di sana?" gumam Luna, ia mendengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat.Luna tidak bisa melihat, semuanya gelap. Luna bahkan tidak tahu, ada apa saja yang ada dalam ruangan ini."Jangan membuatku takut, kau siapa?" Luna merasakan jantungnya terpompa dengan cepat, mulai meraba-raba yang ada di sekitarnya. Mencari perlindungan."Kau…." Luna nyaris berteriak, jika mulutnya tidak langsung dibekap."Jangan berisik, jika kau ingin selamat!"Luna diam, tidak lagi meronta. Ia mengenali suara bariton itu. Ia baru mendengarnya beberapa waktu yang lalu, suara bariton milik pria itu, Ayah Bintang."Bagaimana kau bisa ada di sini?" bisik Luna, diam-diam ia merasa bersyukur."Kau tidak perlu mengetahuinya," jawab Brian dingin. Ia menggenggam tangan Luna, menarik Luna agar mengikutinya."Berjalanlah pelan, ini merupakan tempat penyiksaan. Entah sudah berapa orang yang meninggal di ruangan ini," ujar Brian. Ia berjalan dengan cepat, membuat Luna kesulitan menyamakan langkahnya.Luna jadi merinding, ia semakin mendekat pada Brian. Luna bahkan mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Brian."Jangan membuatku takut, dan berjalanlah pelan. Aku tidak bisa menyamai langkah kakimu," bisik Luna. Mereka berjalan mengendap-endap dalam ruangan gelap itu. Meski begitu, langkah kaki Brian begitu lebar hingga terasa begitu cepat."Kita harus bergerak cepat, kita harus keluar dari sini sebelum polisi datang," desak Brian. Ia lalu menarik Luna agar berada di depannya."Naiklah ke punggungku," perintah Brian sembari membungkuk."Untuk apa?" tanya Luna, sedari tadi mereka berbicara dengan berbisik-bisik. Takut kalau ada yang menyadari keberadaan mereka."Naik saja, lalu keluar melalui jendela itu. Aku sudah menghilangkan kacanya," geram Brian saat Luna masih belum juga mengikuti perintahnya, sedangkan waktu mereka semakin menipis."Baiklah." Luna segera naik ke punggung Brian. Hanya dengan meraba-raba, Luna bisa mengetahui letak jendela yang dimaksud Brian.Luna segera berpindah, berpegang pada pinggiran jendela. Luna melihat keluar, namun sama saja. Sangat gelap. Luna bahkan mulai takut, ia tidak tahu seberapa tinggi ia berada saat ini."Aku takut turun, sepertinya ini sangat tinggi," ujar Luna pelan, ia melihat ke bawah tapi semuanya gelap."Kita sudah tidak punya waktu, cepatlah melompat. Aku juga harus keluar dari sini," desis Brian, memaksa Luna untuk melompat. Hingga Luna hampir saja jatuh.Luna yang tidak memiliki pilihan lain, memberanikan diri untuk melompat dengan memejamkan mata. Dan ternyata tidak seburuk yang ada dalam perkiraannya, jaraknya tidak begitu tinggi. Selain itu, ada rumput yang menjadi tempat pendaratannya.Setelah Luna, Brian juga ikut keluar. Dia melompat dan mendarat di sebelah Luna yang masih berjongkok. Brian segera berdiri, lalu menarik Luna agar kembali mengikutinya."Siapa di sana!"Luna mencengkeram tangan Brian, dia tidak bisa melihat karena gelap. Dia juga tidak tahu asal suara itu dari mana."Diamlah, mereka tidak berbicara dengan kita," ujar Brian, menenangkan Luna yang sudah panik. Brian masih berjalan dengan pelan, menarik Luna.Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, terdengar suara sirine polisi yang semakin dekat. Luna juga merasakan tangan besar Brian menggenggamnya semakin erat."Lari," ujar Brian dengan suara yang cukup besar, menarik tangan Luna agar ikut berlari.Luna baru menyadarinya, ternyata ada banyak derap langkah kaki yang ikut berlari. Sepertinya mereka bukanlah pengawal dari laki-laki tua itu, Karena mereka berlari ke arah yang sama.Setelah berlari sangat jauh, Luna jatuh terkulai karena merasa kehabisan tenaga. Mengatur napasnya, Luna akhirnya bisa melihat cahaya. Sebuah cahaya dari lampu jalan yang terpancar."Kau baik-baik saja?" tanya Brian , melihat Luna yang berbaring di tepi jalan yang sunyi, tidak ada kendaraan yang melalui jalan ini."Kita ada dimana?" gumam Luna, ia menyadari kalau inii seperti di tengah hutan, dan mereka baru saja keluar dari hutan belantara yang gelap gulita.Detak jantung Luna bahkan masih tidak beraturan, sehabis berlari. Luna juga merasakan kulitnya yang lengket karena keringat. Kakinya juga terasa pegal, Luna juga merasa perih pada beberapa bagian di kakinya, sepertinya tergores ranting saat mereka berlari."Cepatlah bangun, kita harus segera meninggalkan tempat ini," ucap Brian, menarik Luna untuk segera bangun. Mereka hanya memiliki beberapa waktu yang tersisa, bisa saja para pengawal dari laki-laki tua itu menyusul.Di depan mereka sudah ada tiga mobil. Luna juga melihat sekitarnya, ada banyak laki-laki dengan tubuh kekar yang berpakaian serba hitam.Saat mereka semua sudah masuk ke dalam mobil, tiga mobil itu kemudian melaju lebih dulu. Sedangkan di dalam mobil yang ditumpangi Luna hanya ada tiga orang, hanya ada Luna dan Brian. Juga seorang sopir."Minumlah." Brian memberikan air mineral kemasan botol pada Luna.Luna segera menerimanya, meminumnya hingga habis. Saat menoleh, Luna melihat rumah itu, rumah yang sekarang dikepung polisi. Bahkan mobil mereka ditahan oleh beberapa aparat kepolisian untuk diperiksa.Namun, saat melihat Brian yang duduk di sebelah Luna, pihak kepolisian kemudian membiarkan mereka untuk pergi."Terima kasih, sudah menyelamatkan aku," ujar Luna pelan. Ia melirik pada Brian yang duduk di sebelahnya."Kau berpikir kalau aku menyelamatkanmu?" tanya Brian, ia menatap Luna dengan senyum miring, "aku menyelamatkan uang tiga ratus juta yang aku keluarkan," lanjutnya, kali ini Brian menatap Luna yang cukup terkejut.Luna menunduk, ia pikir kalau pria ini sudah berbesar hati dan menyelamatkannya. Ternyata Luna salah. Tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. lagi pula, siapa yang akan ikut campur dalam masalah orang lain, jika itu tidak berkaitan dengan dirinya."Uang tiga ratus juta tidaklah sedikit, kau harus membayarnya," ujar Brian, mengalihkan pengelihatannya dari Luna. Ia bersandar dan memejamkan mata."Aku tidak memiliki apapun lagi, bagaimana aku harus membayarnya," gumam Luna. Sepertinya keberuntungan memang tidak pernah berpihak pada Luna, ada saja masalah yang dihadapinya, Luna seperti keluar dari kandang harimau dan masuk ke kandang singa."Menurutmu, kau bisa membayarnya dengan apa?" Brian mengangkat sebelah alisnya, menatap Luna yang juga menatapnya."Siapa?" suara Bariton milik Brian menginterupsi Luna yang sedang duduk melamun."Ha?" tanya Luna, bingung."Nama?" tanya Brian lagi, kini ia duduk di depan Luna, "aku Brian, Ayah Bintang," ujar Brian, memperkenalkan diri lebih dulu."Ah, aku Luna," jawab Luna yang baru mengerti kemana arah pembicaraan Brian.Saat ini, mereka berada di sebuah kantor yang diyakini Luna sebagai tempat kerja Brian. Ia bahkan sempat membaca papan nama yang ada di atas Meja kerja itu. CEO perusahaan, Brian Alferdo."Kau sudah memikirkannya? Cara untuk membayar tiga ratus juta itu," tanya Brian sembari menatap Luna yang menunduk dengan lesu, memainkan jari-jemarinya."Aku tidak memiliki apa pun, kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan," jawab Luna. Ia masih juga menunduk, tidak berani menatap Brian."Benarkah? Aku bisa sangat serakah," ujar Brian, meminta Luna untuk menatapnya, "lihat aku! Aku ada di sini, mengapa kau terus melihat ke bawah."Luna kemudian memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menat
"Hm, hm." Luna beberapa kali berdehem, rasa canggung menyelimutinya. Bintang masih berbaring, tertidur setelah meminum obat. Sedangkan di sebelahnya ada Brian yang tengah bersandar memijat kepalanya. Luna tidak tahu harus melakukan apa, seandainya ia menolak saja tadi, saat Brian memberinya tawaran untuk masuk dan melihat Bintang."Aku akan keluar," ujar Brian, ia bahkan sudah berdiri sembari melirik pada Luna. Namun, yang dilirik tidak juga paham, sehingga Luna hanya diam saja."Kau ingin makan apa?" tanya Brian saat tidak ada tanggapan dari Luna.Mendengar itu, Luna mendongak, melihat Brian yang sangat tinggi. Kenapa Luna seperti melihat Pangerang saja. Brian terlalu tampan dengan rambut hitam pekatnya, matanya yang berwarna kecoklatan sudah cukup untuk membuat para perempuan meleleh. Belum lagi bulu matanya yang lentik, serta alisnya yang tebal dan tertata dengan rapi.Luna bahkan sangat ingin menyentuh hidung Brian yang begitu mancung. Seandainya Luna tengah mengandung, ia pasti a
"Tidak, Bintang!" Brian berucap tegas, menolak hasil pemikiran konyol dari sang putri."Tapi, Bintang menginginkan Mama, Bintang ingin Mama," teriak Bintang, ia kembali rewel."Mengapa Bintang sangat ingin Mama? Selama ini Bintang hanya punya Papa dan semuanya baik-baik saja 'kan," ujar Brian, berhasil membuat Bintang diam.Berbeda dengan Luna, ia hanya duduk diam di tempatnya. Luna merasa tidak berhak untuk ikut campur antara Brian dan Bintang. Lagi pula, Luna dan Bintang juga baru mengenal, begitu pun dengan Brian. "Semua orang memiliki Mama, mengapa Bintang tidak memiliki Mama?" cicit Bintang, ia berujar sangat pelan, hingga terdengar suara isak tangis yang berusaha ditahannya."Bintang, kenapa menangis." Luna yang tidak tega segera menghampiri Bintang, menggendongnya. Sedangkan Brian, ia memilih untuk keluar. Meninggalkan Luna yang berusaha menenangkan Bintang. Kepalanya terasah berdenyut, pusing. Baru kali ini Bintang menginginkan sosok Mama. Dan hanya Luna, Bintang tidak mengin
"Aku mohon, jangan lakukan itu...." rintih Luna, berusaha meronta dengan sisa tenaganya yang semakin terkuras.Baju Luna nyaris terlepas dengan kedua tangan yang terikat. Ia tidak bisa lagi melakukan perlawanan, hanya bisa berteriak meminta tolong, meski suaranya terasa tercekat.Luna melihat dua laki-laki yang berbadan kekar itu, tergesa-gesa membuka pakaiannya. Luna menutup kedua matanya, menahan napas."Aku benci hidup ini!" batin Luna. Ia dapat merasakan, dadanya yang terasa sesak karena tidak ada pasokan oksigen. Tetes-tetes air mata Luna menjadi saksi, ia ingin mengakhiri hidupnya.Di sisi lain, Brian dengan cepat segera masuk ke dalam rumah. Saat ia menyadari, Luna sedang dalam bahaya. Meski begitu, Brian berusaha melangkah pelan untuk mencari keberadaan Luna.Hingga langkah kaki Brian terhenti, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Luna ada di hadapan Brian, berbaring di atas lantai dengan kedua tangan yang terikat. Pakaian Luna berantakan, nyaris tidak menutupi seluruh
"Apa yang Anda pikirkan? Semua masalah telah selesai. Kasus dengan para rentenir sudah diatasi, Luna sudah kembali sehat, Bintang juga mulai membaik," celetuk Adrian saat melihat Brian yang selama beberapa hari ini, tampak gelisah."Bukankah mereka benar-benar seperti ibu dan anak," gumam Adrian. Mengikuti arah pandang Brian yang terus tertuju pada Luna dan Bintang yang sedang bermain."Tidak perlu ragu, dia bisa Anda manfaatkan untuk merawat Bintang. Dia memiliki sertifikat sebagai perawat yang sudah cukup berpengalaman," ujar Adrian, "selain itu, hal tersebut juga akan lebih memudahkan Anda untuk menebus semuanya."Dalam diam, Brian membenarkan apa yang dikatakan oleh Adrian. Selain menepati janjinya pada Bintang, Luna juga bisa membantunya untuk merawat Bintang lebih khusus."Lagi pula, sebentar lagi Anda memasuki kepala tiga. Anda harus segera menikah untuk citra Anda juga, atau Anda akan kembali disorot oleh media dengan berita yang tidak berbobot," tutur Adrian, mengingat ia pern
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Luna pada Brian. Saat ini mereka hanya berdua, di taman belakang rumah yang sudah kembali bersih seperti semula. Tidak ada lagi hiasan yang menandakan bahwa baru saja dilangsungkan sebuah acara pernikahan.Rumah besar ini sudah kembali sepi, hanya ada pengawal yang berjaga di beberapa bagian. Itu pun, mereka tidak benar-benar terlihat.Sedangkan Adrian, ia mengantar Bintang kembali ke rumah sakit, dan Bibi Megan lebih memilih menginap di hotel. Serta para pengawal yang sempat datang menghadiri pernikahan, sudah kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugasnya.Pelaksanaan pernikahan yang begitu singkat, hanya sesaat. Setelah itu, semuanya selesai. Luna bahkan masih bingung, mereka seperti bermain-main saja, alih-alih melangsungkan pernikahan sungguhan."Ada apa, hm? Tanyakan saja jika ada yang mengganggu pikiranmu." Brian mengusap tengkuknya, merasa canggung saat hanya berdua dengan Luna. Duduk saling berdekatan, di sebuah bangku yang
"Aku akan menunjukkan kamarmu," ujar Brian sembari memegang tangan Luna. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Hingga mereka sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam."Ini kamarmu," ujar Brian, menggeser pintu tersebut hingga menampilkan nuansa kamar tidur yang sangat elegan, tidak banyak hiasan berlebihan. Namun, mampu membuat Luna menatap takjub."Di sebelah kamar ini adalah kamar Bintang," jelas Brian lagi.Luna hanya terus mengangguk saat Brian berbicara, menunjukkan semuanya pada Luna. Seperti kamar mandi, tempat berganti pakaian, dan juga segala keperluan Luna yang sudah tersedia.Hingga tatapan Luna tertuju pada sebuah foto, seorang perempuan yang tersenyum memamerkan giginya. Rambutnya pendek, seperti rambut Luna."Apa dia ibu Bintang?" Luna hendak mengambil foto yang berada di atas meja itu, namun belum juga Luna menyentuhnya, suara Brian lebih dulu menghentikan Luna."Jangan pernah menyentuh fotonya! Apa lagi kalau kau sampai menyingkirkannya!"Luna cukup
Luna mundur beberapa langkah, saat tangannya tidak sengaja mengenai sebuah foto yang membuat foto tersebut jatuh dan menghantam lantai yang keras. Bingkai kayu yang membungkusnya patah, kaca yang menjadi pelindungnya berhamburan menjadi serpihan-serpihan kecil. Luna tidak sengaja menjatuhkannya saat meletakkan semangkuk bubur di atas meja."Apa yang kau lakukan!"Luna yang berjongkok untuk memungut serpihan-serpihan keca itu, menoleh saat mendengar suara berat Brian yang tertahan.Brian menarik tangan Luna untuk berdiri, membuat serpihan kaca yang sudah ia kumpulkan di tangannya kembali jatuh berhamburan."Aku... aku tidak sengaja." Luna berucap gugup, tidak berani menatap Brian yang menggeram marah melihat foto Bella dengan serpihan-serpihan kaca di atasnya."Aku sudah memintamu untuk tidak menyentuhnya, bukan! Kau hanya harus melakukan tugasmu!" tekan Brian dengan amarah yang tertahan.Brian berjongkok untuk mengambil foto itu, lalu ia kembali berdiri dan berdiri menatap Luna yang ha
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden